Brawijaya V tercatat sebagai raja Majapahit yang paling besar menaruh perhatian pada perkembangan agama Islam. Perhatian yang besar dari seorang mahajara Majapahit pada agama Islam, merupakan faktor determinan yang menyebabkan Islam menyebar dengan luar biasa cepat di Nusantara. Pada masa inilah perkembanga Islam memasuki era keemasannya di Nusantara.
Agus Sunyoto dalam buku Atlas Wali Songo menyatakan bahwa nama Arya Damar dalam historiografi Nusantara memiliki jasa yang sangat besar pada Majapahit. Dalam cerita tutur Jawa-Bali bertajuk Usana Jawa dan Pamacangah, dikisahkan bahwa Arya Damar adalah pahlawan yang berhasil menaklukkan seluruh Bali pada masa pemerintahan Rani Suhita. Adanya kisah ini tidak bisa ditafsirkan lain selain bahwa pada masa itu di Bali terjadi pemberontakan. Karena sejak era Gajah Mada, seluruh wilayah Bali sudah berhasil ditundukkan oleh Majapahit.[1]
Setelah menaklukkan Bali, Arya Damar dikisahkan berhasil menumpas pemberontakan yang terjadi di Pasunggiri. Kemudian, Arya Damar juga ikut dalam upaya memedamkam pemberontakan yang dilakukan oleh Bre Daha, putra Bre Wirabumi pada tahun 1434 M. Menurut Pararaton, dalam pemberontakan yang dilakukannya, Bre Daha bahkan sempat menguasai Istana Majapahit.[2] Dari sederet prestasi dan jasanya pada Majapahit, sangat wajar bila kemudian nama Arya Damar banyak tercatat di dalam naskah-naskah kuno Nusantara.
Setelah berkiprah di Majapahit, Arya Damar mendapat tugas untuk menjadi penguasa di Palembang. Dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bahwa yang menugaskan Arya Damar adalah Prabu Wikramawardhana.[3] Tapi hal ini dibantah oleh Prof. Dr. Slamet Muljana dan Agus Sunyoto.
Prof. Dr. Slamet Muljana berpendapat, mengacu pada kronik Tionghoa dari Klenteng Semarang menyebutkan bahwa penempatan Swan Liong di Palembang pada tahun 1433 jatuh dalam pemerintahan Rani Suhita, putri Wikramawardhana. Masa pemerintahan Rani Suhita berlangsung dari tahun 1427 sampai 1447. Pada waktu itu, Wikramawardhana alias Hyang Wisesa sudah wafat pada tahun 1427.[4]
Menurut Agus Sunyoto, alasan kepindahan Arya Damar ke Palembang oleh Rani Suhita, terkait erat dengan dinamika politik yang berlangsung di internal kerajaan Majapahit. Di bawah pemerintahan Rani Suhita, Majapahit menghadapi sejumlah pemberontakan di berbagai daerah. Selain itu, terjadi pula penyingkiran terhadap tokoh-tokoh penting yang memiliki jasa besar terhadap Majapahit. Ironisnya, tersingkirnya tokoh-tokoh penting ini, tanpa ada alasan yang jelas. Sebaliknya, mereka yang disingkirkan ini, dikenal sebagai tokoh yang jujur, setia, kuat, unggul, dan berjasa besar terhadap Majapahit.[5]
Agus Sunyoto melanjutkan, penyingkiran tokoh-tokoh penting dan berjasa di dalam kerajaan ini secara signifikan menggerus kekuatan Majapahit. Beberapa tokoh penting tersebut antara lain; Tuan Kanaka yang menjabat sebagai Mahapatih Majapahit sejak tahun 1410. Dia dicopot dari jabatannya tanpa alasan yang jelas pada tahun 1430. Nama penting lainnya, yaitu Ratu Anggabhya Bre Narapati yang berjasa besar dalam penumpasan gerakan pemberontakan Bre Wirabhumi, tiba-tiba dijatuhi hukuman mati pada 1430, tak lama setelah Mahapatih Mangkubumi Tuan Kanaka dicopot jabatannya. Dan yang terakhir adalah Arya Damar, yang tidak lain adalah adik tiri Rani Suhita dan pahlawan perang yang berhasil memadamkan sejumlah pemberontakan di Majapahit. Dia dibuang jauh ke Palembang untuk menjadi penguasa di sana.[6]
Akan tetapi, Palembang pada masa itu bukanlah wilayah yang secara otoritatif dimiliki oleh Majapahit. Agus Sunyoto mengkonfirmasi data dari catatan Dinasti Ming mendapatkan bahwa Palembang pada masa itu sedang dikuasai para petualang dan perampok Cina sejak era Liang Tau Ming yang dilanjutkan Chen Tsui, Shi Chin Ching, dan Shi Chi Sun, yang semuanya berkuasa di wilayah tersebut layaknya raja.[7] Dengan kata lain, penempatan Arya Damar di Palembang lebih mirip sebuah upaya pembuangan terhadap sosok ini. Karena untuk menjadi penguasa Palembang, Arya Damar harus terlebih dahulu menyingkirkan para perampok yang berkuasa di wilayah tersebut.
Kekuasaan Rani Suhita berakhir pada tahun 1447 M, yang juga menjadi tahun wafatnya. Karena dia tidak dikaruniai putra, maka kedudukannya digantikan oleh adik laki-lakinya yang bernama Dyah Kertawijaya, yang naik tahta dengan nama abhiseka: Sri Prabu Kertawijaya Wijaya Parakramawardhana. Dalam Babad Tanah Jawi, dia disebut dengan nama Raden Alit dan bergelar Prabu Brawijaya V.
Menurut Agus Sunyoto, penyebutan istilah Brawijaya V dalam Babad Tanah Jawi ini bisa dipahami. Berdasarkan urutan para penguasa yang memerintah Majapahit, Kertawijaya adalah raja laki-laki ke lima yang memerintah secara sah di kerajaan tersebut, yaitu: Sri Prabu Kertarajasa Jawayardhana (Raden Wijaya), Sri Prabu Jayanegara, Sri Prabu Rajasanegara (Hayam Wuruk), Sri Prabu Wikramawardhana, dan Sri Prabu Kertawijaya.[8]
Bila dibandingkan dengan para pendahulunya, Brawijaya V tercatat sebagai raja Majapahit yang paling besar menaruh perhatian pada perkembangan agama Islam. Perhatian yang besar dari seorang maharaja Majapahit pada agama Islam, merupakan faktor determinan yang menyebabkan Islam menyebar dengan luar biasa cepat di Nusantara.
Berbeda dengan era-era sebelumnya, dimana Islam menyebar secara kultural tanpa dukungan politik dari pemerintah. Pada era pemerintahan Brawijaya V, kaum Muslimin tidak hanya memperoleh ruang dakwah yang luas, tapi juga diperkenankan mengisi sejumlah jabatan penting di pemerintahan. Sebagian mereka yang mendapat posisi penting pada era ini, adalah orang-orang berdarah biru atau kerabat dan keturunan raja-raja Majapahit.[9] Sehingga tak ayal, tokoh-tokoh Islam pada era ini tidak hanya memiliki pengaruh secara sosial-budaya, tapi juga secara politik. Pada masa inilah dakwah damai Islam memasuki era keemasannya di Nusantara. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat, Agus Sunyoto, “Atlas Wali Songo; Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah”, Tanggerang Selatan, IIMaN, 2018, hal. 97
[2] Ibid, hal. 103
[3] Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta, LkiS, 2013, hal. 88
[4] Ibid
[5] Lihat, Agus Sunyoto, Op Cit
[6] Ibid
[7] Ibid, hal. 96
[8] Ibid, hal. 104
[9] Ibid, hal. 105