Al-Nasir, Khalifah Abbasiyah ke-34, mengirim pesan rahasia melalui tato di kepala utusannya kepada Genghis Khan agar tidak terdeteksi oleh Sultan Muhammad II. Dia meminta Mongol untuk membumihanguskan Khwarizmia.
Peran Khalifah Abbasiyah di Balik Serangan Mongol
Semenjak abad ke-11, suku-suku Nomaden Turki seperti Seljuk dan Turkoman telah menaklukkan berbagai kerajaan di Timur Tengah yang sebagian besar penduduknya merupakan petani yang memiliki peradaban menetap. Mereka akhirnya menetap di sana dan mendirikan kerajaannya sendiri, dan pada waktunya orang-orang Turki itu akan memeluk agama Islam.[1] Orang-orang Turki kemudian menyebar lagi ke wilayah-wilayah lainnya dan mendominasi lanskap politik wilayah-wilayah yang di era modern dikenal sebagai India, Pakistan, dan Afghanistan. Selanjutnya mereka melintasi Persia dan masuk ke Anatolia di sepanjang Mediterania, atau yang dikenal sebagai negara Turki di era modern.[2]
Wilayah Timur Tengah, meskipun penduduknya mayoritas Muslim, namun sesungguhnya latar belakang penduduknya berasal dari berbagai peradaban kuno yang beragam. Kebudayaan kuno Persia di sana sangat kental, namun mereka juga telah terpengaruh sangat banyak oleh kebudayaan Arab dan peradaban klasik sebelumnya, mulai dari peradaban Roma hingga India.
Mozaik budaya Timur Tengah juga dipengaruhi oleh keberadaan populasi minoritas yang cukup besar, mereka adalah orang-orang Yahudi, Kristen, dan berbagai kelompok agama dan bahasa lainnya. Namun, secara keseluruhan, para ulama, hakim, dan pemimpin agama di sana berbicara dalam bahasa Arab dan menjadikan Alquran sebagai rujukan utama. Jika kelompok prajurit Turki yang dominan ini berbicara dengan bahasa dan dialek Turki, lain halnya dengan para petani yang berbicara dan berdialek dalam bahasa Persia.
Ketika Genghis Khan dan pasukannya secara tiba-tiba memasuki Timur Tengah, meskipun telah diikat oleh agama mayoritas, yakni Islam, namun Timur Tengah sebenarnya masih diliputi oleh berbagai kerumitan kehidupan sosial. Dengan berbagai latar belakang yang berbeda, kerajaan-kerajaan di sana terlibat dalam persaingan politik, ketegangan terhadap perbedaan pandangan keagamaan, dan konflik kebudayaan.[3]
Kesultanan Khwarizmia adalah salah satu dari berbagai kelompok suku Turki yang berhasil mendirikan kerajaannya sendiri. Kerajaan ini relatif masih berusia muda dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan lainnya, namun mereka memiliki bentang wilayah kekuasaan yang terluas dibanding kerajaan manapun di Timur Tengah.[4] Sebagai penguasa Turki baru, Sultan Khwarizmia nyaris tidak dapat mengklaim sekutu di antara sesama Muslim, yang kebanyakan adalah orang-orang Arab dan Persia, yang memandangnya tiada lain hanya sebagai seorang penakluk biadab.[5]
Izz al- Din Abu l- Hasan Ali al- Jazari, atau lebih dikenal dengan nama Ibnu al- Athir (1160-1233) dalam karyanya yang berjudul al- Kamil fil- tarikh (Kesempurnaan Sejarah), yang ditulis di Mosul (utara Irak pada masa kini), menggambarkan situasi pada waktu itu. Dia mengatakan bahwa Sultan Khwarizmia, Muhammad II, terlalu berani menantang Kekalifahan Abbasiyah di Baghdad, sehingga cepat atau lambat, menurutnya, perang di antara mereka akan terjadi. Hubungan di antara al-Nasir li-Din Allah, khalifah Abbasiyah pada waktu itu, dengan Sultan Muhammad II begitu tegang, sehingga al-Nasir – menurut catatan sejarah Ibnu al- Athir – mengajukan petisi kepada Genghis Khan untuk menyerang Khwarizmia.[6]
Dikisahkan, al-Nasir mengirim utusannya secara rahasia untuk menemui Genghis Khan. Al-Nasir menuliskan pesannya kepada Genghis Khan dengan cara membubuhkan kata-kata yang ditato ke kepala utusan tersebut, sehingga dia dapat melewati wilayah Khwarizmia tanpa terdeteksi. Meskipun kebenaran kisah ini sulit untuk dibuktikan, namun cerita tentang utusan dengan kepala bertato tersebut sudah terlanjur beredar luas di dunia Muslim.[7] Bahkan berita ini telah mencapai ke Mesir, di mana al-Kamil, Sultan Dinasti Ayyubiyah, meyakini kebenarannya.[8]
Dengan telah beredar luasnya rumor tersebut, maka ketika Genghis Khan datang untuk menaklukkan Khwarizmia, seolah dia telah mendapatkan legitimasi. Meski dia seorang kafir, namun dia dianggap telah mendapatkan restu dari Khalifah Islam di Baghdad untuk menaklukkan penguasa Muslim lainnya yang zalim.[9] Terlebih, karena reputasinya yang buruk karena telah banyak membunuh pangeran-pangeran Muslim lainnya, pada gilirannya Sultan Muhammad II tidak mendapatkan bantuan dari penguasa lainnya untuk melawan Mongol.[10]
Menurut kisah lainnya yang mungkin saja benar, al-Nasir lebih lanjut membantu serangan Mongol dengan mengirim Genghis Khan berupa resimen Tentara Salib yang ditangkap di Tanah Suci sebagai hadiah. Namun karena Genghis Khan tidak memerlukan pasukan infantri, dia membebaskan mereka, dan beberapa dari mereka akhirnya pulang ke Eropa dengan menyebarkan berita tentang bangsa Mongol yang begitu kuat yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal oleh dunia.[11] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Encyclopaedia Britannica, “Seljuq”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Seljuq, diakses 18 April 2019.
[2] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 5.
[3] Ibid.
[4] Amy Chua, Day of Empire: How Hyperpowers Rise to Global Dominance — and Why They Fall (Doubleday, 2007), hlm 102.
[5] Jack Weatherford, Loc.Cit.
[6] Peter Jackson, The Mongols and The Islamic World (Yale University Press, 2017), hlm 17.
[7] Jack Weatherford, Loc.Cit.
[8] Peter Jackson, Loc.Cit.
[9] Jack Weatherford, Loc.Cit.
[10] Peter Jackson, Loc.Cit.
[11] Jack Weatherford, Loc.Cit.
Terima kasih sharing artikelnya, menambah wawasan mengenai bangsa Mongol