Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (78): Surat Terakhir Genghis Khan

in Sejarah

Genghis Khan berkata kepada sang Imam, “Sebuah nama besar akan tetap melekat kepadaku di dunia.” Sang Imam memberitahunya bahwa dia membunuh begitu banyak orang sampai tidak ada lagi yang tersisa untuk mengingat namanya.

Patung Genghis Khan di Mongolia. Foto: Travel Mongolia

Sulit untuk dibayangkan, kira-kira apa yang dipikirkan oleh Genghis Khan tentang dirinya sendiri sebelum dia pergi meninggalkan dunia ini. Hanya sedikit petunjuk yang dapat ditemukan tentang hal ini, sebagaimana yang dituangkan dalam catatan sejarah Minhaj al- Din Ustman bin Siraj al- Din Juzjani, menurutnya, Genghis Khan mengutuk dan menggambarkan kematiannya sebagai jalan untuk menuju ke neraka, sebagaimana kelak akan terjadi kepada anak keturunannya juga.

Namun penting untuk digarisbawahi, sebagaimana telah kita bahas, Juzjani adalah penulis sejarah Mongol yang “kurang ramah” terhadap bangsa ini.

Juzjani juga menulis percakapan seorang imam dengan Genghis Khan. Sebagaimana kebiasaan Genghis Khan merekrut para pemuka dari berbagai agama, ulama tersebut bekerja di Kekaisaran Mongol. Sang ulama mengklaim bahwa dia adalah ulama favorit dari Khan Agung tersebut.

Suatu hari mereka bercakap-cakap, Genghis Khan berkata, “Sebuah nama besar akan tetap melekat kepadaku di dunia.”

Dengan ragu-ragu, sang Imam memberi tahu Genghis Khan bahwa dia membunuh begitu banyak orang sehingga mungkin tidak akan ada lagi orang yang tersisa untuk mengingat namanya.

Genghis Khan tidak menyukai jawaban ini dan mengatakan kepada sang Imam, “Sudah jelas bagiku bahwa (engkau) tidak memiliki pemahaman yang utuh, dan daya tangkap(mu) lemah. Ada banyak raja di dunia ini,” jelasnya kepada lelaki terpelajar itu.

Mengacu kepada reputasi masa depannya, dia menambahkan, bahwa ada lebih banyak orang lagi di bagian lain dunia, dan dengan demikian ada lebih banyak juga penguasa-penguasa dan kerajaannya. Genghis Khan dengan percaya diri lalu mengatakan, “Mereka akan menceritakan kisahku!”

Dalam teks sumber sejarah lainnya, telah ditemukan informasi dan pandangan yang tidak biasa, yang mungkin dapat digunakan untuk menengok alam berpikir Genghis Khan. Menjelang akhir hidupnya, Genghis Khan mengirim sebuah surat untuk seorang biksu Tao di China.

Surat itu kemudian disalin oleh beberapa pengikut biksu tua itu. Berbeda dengan Dokumen Sejarah Rahasia Bangsa Mongol yang sebagian besar isinya mencatat perbuatan dan kata-kata, surat ini isinya berupa analisis Genghis Khan terhadap dirinya sendiri.

Meskipun surat itu tersedia bagi kita hanya dalam bentuk yang ditulis dalam bahasa Mandarin klasik oleh seorang penulis, yang hampir pasti merupakan salah satu orang Khitan yang bekerja di Kekaisaran Mongol, namun sentimen dan persepsi Genghis Khan sendiri terlihat cukup jelas di dalam dokumen tersebut.

Di dalam surat tersebut kata-kata Genghis Khan terdengar sederhana, jelas, dan datang dari akal yang sehat. Dia menganggap kejatuhan musuh-musuhnya diakibatkan lebih karena kurangnya kemampuan diri mereka sendiri ketimbang karena kemampuan superiornya.

“Aku sendiri tidak memiliki kualitas yang berbeda,” ujarnya. Dia mengatakan bahwa Langit Biru Abadi telah mengutuk peradaban di sekitarnya karena “kesombongan dan gaya hidup mewah mereka.”

Terlepas dari kekayaan luar biasa dan kekuasaan yang telah dia dapatkan, namun dia terus menjalani kehidupan yang sederhana. “Aku memakai pakaian yang sama dan makan makanan yang sama seperti para penggembala sapi dan kuda. Kami melakukan pengorbanan yang sama, dan kami berbagi kekayaan,” ujarnya.

Dia menawarkan penilaian sederhana atas cita-citanya, “Aku membenci kemewahan,” dan, “aku mengambil jalan tengah.” Dia berusaha memperlakukan rakyatnya seperti anak-anaknya, dan dia memperlakukan orang-orang yang berbakat bagaikan keluarganya, tidak peduli asal usul mereka.

Dia menggambarkan bahwa hubungannya dengan para pejabatnya sangat dekat dan berdasarkan rasa hormat. “Kami selalu sepakat dengan prinsip-prinsip kami dan kami selalu bersatu dalam rasa saling menyayangi,” ujarnya.

Meskipun dia mengirim surat itu pada malam sebelum invasi ke dunia Muslim dan itu ditulis dalam bahasa China, dia jelas tidak melihat dirinya sebagai pewaris kerajaan atau tradisi budaya di kedua daerah tersebut.

Dia hanya mau mengakui satu kerajaan pada masa sebelumnya yang darinya dia secara pribadi mengambil inspirasi — yakni leluhurnya, orang-orang Hun. Jelas bahwa dia tidak ingin memerintah dengan gaya Muslim atau China. Dia ingin menemukan caranya sendiri seperti layaknya kerajaan stepa yang diturunkan dari orang-orang Hun.

Dia mengklaim bahwa kemenangannya hanya dimungkinkan karena adanya bantuan dari Langit Biru Abadi, Dewa orang Mongol, “Namun karena panggilanku tinggi, kewajiban yang dibebankan kepadaku juga berat,” ujarnya.

Meski demikian, dia tidak merasa bahwa dia telah berhasil memimpin pada masa-masa damai, tidak seperti pada waktu perang yang telah mendulang kesuksesan yang begitu besar ke mana pun dia pergi. “Aku khawatir bahwa dalam pemerintahanku mungkin ada sesuatu yang diinginkan (yang belum tercapai).”

Dia mengatakan bahwa pejabat yang baik pada suatu negara sama pentingnya dengan pengemudi yang baik bagi sebuah kapal. Sementara dia berhasil menemukan orang-orang berbakat untuk mengabdi sebagai jenderalnya, dia mengakui bahwa sayangnya dia tidak dapat menemukan orang-orang yang baik dalam hal administrasi.

Tetapi yang paling penting, surat itu menunjukkan pergeseran dalam pemikiran politik Genghis Khan. Setelah mengakui kekurangannya, dia menunjukkan di dalam dokumen tersebut kesadarannya yang meningkat tentang dirinya dan misinya di bumi.

Dia telah memulai kampanyenya melawan Dinasti Jurchen Jin di China Utara — kampanye besar pertamanya di luar wilayah padang rumput — sebagai serangkaian serangan untuk penjarahan, meskipun pada akhirnya dia menjadikan Jurchen Jin sebagai negara bawahan (vassal state).

Kata-katanya mengungkapkan rencana yang lebih dalam dan lebih luas daripada sekadar merampok dan mengendalikan jaringan perdagangan. Dia mengakui bahwa dia pergi ke selatan untuk menyelesaikan sesuatu yang tidak pernah dilakukan orang lain dalam sejarah.

Dia mengejar “pekerjaan besar,” karena dia berusaha untuk “menyatukan seluruh dunia dalam satu imperium.” Dia bukan lagi seorang kepala suku, dan sekarang dia berusaha untuk menjadi penguasa semua rakyat dan semua negeri mulai dari tempat terbit hingga terbenamnya matahari.

Barangkali deskripsi yang paling tepat tentang meninggalnya Genghis Khan ditulis pada abad ke-18 oleh Edward Gibbon, seorang sejarawan Inggris yang menulis tentang bangsa Romawi dan seorang cendekiawan besar dalam bidang sejarah dan penaklukkan.

Dia menulis secara sederhana bahwa Genghis Khan “mati dalam tahun-tahun yang penuh dengan kemenangan, dengan napas terakhirnya, (dia) menasihati dan memberi perintah kepada putra-putranya untuk mencapai penaklukan kekaisaran China (Selatan).” [1]  

Dengan demikian, untuk memenuhi keinginan dan perintah Genghis Khan, masih ada begitu banyak pekerjaan yang harus dilakukan oleh para penerusnya. Setelah meninggalnya Genghis Khan, kisah bangsa Mongol masih akan terus berlanjut. Dan di bawah tangan para anak keturunannya, bangsa Mongol sekali lagi akan memorak-porandakan tatanan dunia…. (PH)

Seri Bangsa Mongol dan Dunia Islam periode Genghis Khan selesai.

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 5.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*