Universitas-universitas Renaisans di Eropa mengadopsi sepenuhnya sistem pendidikan mazhab di dalam Islam. Bahkan, gelar Doktor yang kita kenal sekarang merupakan terjemahan literal dari bahasa Arab.
Kembali ke Baghdad pada masa al-Kindi dan Hunayn bin Ishaq. Dalam kebanyakan kasus, para penerjemah yang bekerja di Bayt Al-Hikmah bukan hanya menerjemahkan buku-buku dari dunia Hellenic, Persia, Cina, India, dan tempat lainnya, namun mereka juga menulis karya orisinil.
Para penerjemah terbesar pada zaman itu, termasuk al-Kindi dan Hunayn, bertanggung jawab atas terciptanya beberapa karya kesarjanaan orisinil terbesar pada masa Zaman Keemasan Islam.
Bani Umayyah dan Abbasiyah sama-sama, sebagai penganut Muslim, puas dengan gagasan bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan. Tetapi ketika mereka melihat kota-kota Persia dan sekitarnya, mereka tahu bahwa mereka memiliki sedikit perangkat kebudayaan dibanding peradaban-peradaban besar lainnya.
Oleh karenanya mereka merasa perlu melakukan sesuatu terhadap hal ini: menyerap kebijaksanaan-kebijaksanaan Babel, Mesir, Persia, dan Yunani dan kemudian menjadikannya sebagai khazanah milik mereka sendiri.
Pada gilirannya, ilmu-ilmu yang telah diserap oleh dinasti-dinasti Muslim ini memberikan manfaatnya bagi kemajuan intelektual di Eropa.Tanpa Zaman Keemasan Islam, Eropa tidak akan pernah mencapai kebangkitannya (Renaissance).
Ilmu angka dari India dan kertas dari Cina datang ke Eropa melalui Timur Tengah selama periode ini. Bersama-sama, mereka membantu mendorong terciptanya Renaisans Eropa serta sains dan sastra modern. Para cendekiawan Eropa bergantung pada karya-karya asli orang Arab dan para mitra mereka: orang-orang Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain-lain.
Sifat poliglot Dinasti Umayyah Andalusia dari abad ke-9 dan seterusnya—di mana orang-orang bisa menyaksikan bahasa Arab, Ibrani, Latin, dan bahasa Romawi lokal digunakan secara bersamaan di sana —pada gilirannya, yaitu pada abad ke-12, memunculkan gerakan penerjemahan baru yang berkembang pesat yang menyelamatkan Eropa Barat dari apa yang disebut Abad Kegelapan.
Sama seperti orang-orang Yahudi dan Kristen yang berada di garda terdepan dalam gerakan penerjemahan abad ke-9 di Baghdad, komunitas Kristen berbahasa Arab di Spanyol, yang jumlahnya cukup banyak, juga memimpin upaya penerjemahan di sana.
Setelah penaklukan di sebuah tempat, yang pada masa kini disebut kota Toledo di Spanyol, pada tahun 1085, oleh pasukan Kristen, penguasa baru ini mewarisi dan melestarikan perpustakaan besar yang berisi buku-buku pemikiran ilmiah dan filosofis terkemuka dari Yunani kuno dan Roma—dan juga dari Muslim Timur Tengah.[1]
Pengaruh terjemahan teks-teks Arab ke dalam bahasa Latin di Eropa pada abad pertengahan dan renaisans ini sangat besar. Karya-karya Ibnu Rusyd (Averroes), Ibnu Sina (Avicenna), al-Farabi, Ibnu Khaldun, dan al-Ghazali telah berhasil mengubah pemikiran filosofis dan ilmiah di Eropa.
Selain itu, karya-karya ilmiah Arab penerapannya berkembang di Sisilia, Spanyol, dan Afrika Utara. Karya-karya ini memperkenalkan perangkat mekanis seperti pompa sentrifugal, tenun kain, dan komposisi kimia untuk makanan dan wewangian.
Teks-teks Arab ini menemukan jalannya ke Eropa dalam periode seni Florentine pada abad ke-15 di Florence, tempat awal mula kelahiran Reinasans Eropa.
Bagi orang Eropa sendiri, mereka seolah menemukan kembali pemikiran dari benua mereka yang telah lama hilang. Pengenalan kembali pemikiran-pemikiran Aristoteles ke alam pemikiran abad pertengahan Eropa dan kebangkitannya pada abad ke-15 tiada lain disebabkan oleh diterjemahkannya karya Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina dari bahasa Arab ke bahasa Latin.
Tidak hanya melulu tentang ilmu pengetahuan di luar agama, terjemahan bahasa Arab ke Latin tentang mazhab-mazhab di dalam Islam juga telah membantu menciptakan sistem studi tingkat doktoral, yang mana kini merupakan bentuk pengakuan akademis tertinggi dalam sistem universitas Barat dan bahkan dunia.[2]
Apa hubungannya mazhab dalam Islam dengan studi doktoral? Ontologi pendidikan universitas berasal dari bahasa Latin Docere yang berarti “mengajar”. Ini adalah gelar ilmiah yang diberikan pada abad pertengahan kepada dokter yang telah mendapatkan lisensi, atau Licentia Docendi.
Gelar ini banyak diincar oleh para pelajar dan menjadi bukti jika seseorang telah menyelesaikan studinya. Gelar-gelar kesarjanaan Docere dan Licentia Docendi ini ternyata merupakan terjemahan secara literal dari bahasa Arab, Ijazat al-Tadris.
Di dalam tradisi Islam, Ijazat al-Tadris hanya dapat diberikan kepada seseorang yang telah selesai menempuh studinya sebagai ulama mazhab. Sebelum lulus para calon ulama mazhab ini mesti menempuh ujian melalui melalui viva voca atau orasi.
Para kandidat ini harus menghasilkan karya orisinal dalam bidang Usul ul-Fiqh atau Prinsip-prinsip Fikih Islam. Karya tersebut harus dipertahankan keasliannya di hadapan panelis ulama yang akan memeriksa karya tersebut berdasarkan rangkaian masalah hukum yang spesifik yang dibahas di dalam karya tersebut.
Keluaran dari hasil ujian ini biasanya memunculkan tiga jenis gelar, yaitu Faqih, Mufti, dan Muallim. Apabila hendak dibandingkan dengan gelar masa kini, maka Faqih itu setara dengan Magister, Mufti dengan Doktor, dan Muallim dengan Profesor.
Sistem pembelajaran dan pemberian gelar untuk lulusannya ini kemudian diadopsi oleh universitas-universitas Kristen renaisans dengan sistem pemberian gelar yang serupa namun menggunakan istilah-istilah yang berbeda.[3] (PH)
Selesai.
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 53-54.
[2] Hassan Syed, Arabic Literature’s influence on Renaissance Europe: Beyond Bias (Graduate Law Studies, BPP Law School, BPP University UK), dari laman https://www.researchgate.net/publication/333516912, diakses 16 Agustus 2021.
[3] Ibid., 4-5.
bayt al-hikmah itu apa?