“Al-Qur’an menyimpan mutiara terpendam yang tidak terbatas. Ayat-ayatnya mengandung makna yang demikian mendalam bagi orang-orang yang ingin memahaminya. Salah satunya, di dalam Al-Qur’an, Allah Swt kerap menyembunyikan nama sejumlah tokoh besar. Seolah Allah ingin menunjukkan kepada kita bahwa amal-amal mereka tetap tercatat dan tidak pernah hilang, meski sejarah takkan pernah tahu persisnya nama mereka. Dengan cara itu pula Allah Swt ingin memberikan contoh dalam hal keikhlasan: kita tidak perlu mencari kemashuran atau pengakuan dalam melakukan perbuatan baik.”
—Ο—
Beberapa sosok penting dalam Al Quran yang tidak Allah sebutkan namanya ini, memiliki peran yang sangat penting, bahkan sebagian di antaranya sangat luar biasa. Sebut saja salah satu adalah sosok yang terekam di dalam surah Al-Kahfi: 65. Allah Swt berfirman:
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. (QS. al-Kahfi [18]: 65)
Memang ada penjelasan dalam kitab-kitab tafsir tentang identitas hamba yang dimaksud, yakni Nabi Khidir. Tetapi tidak disebutkannya nama dan identitas hamba yang diberi rahmat dan ilmu yang demikian agung itu memang mengandung hikmah luar biasa. Hamba itu mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh seorang nabi besar berpredikat ulul azmi, yakni Nabi Musa. Terkait dengan Nabi Khidir, kami sudah pernah memuatnya secara khusus dalam salah satu seri tulisan berjudul “Mengenal Nabi Khidir AS”.[1]
Namun selain Nabi Khidir, Allah SWT memperkenalkan pada kita beberapa sosok lainnya yang tak kalah penting peran dan kedudukkannya. Berikut ini di antaranya:
Lelaki Beriman Dari Pengikut Fir’aun
Di kisahkan, pada titik esklasi tertentu, akhirnya pertentangan antara Fir’aun dan Nabi Musa mencapai puncaknya. Fir’aun meyakini bahwa Musa sangat mengancam kekuasaannya. Musa—sebagaimana nabi-nabi yang lain—membawa ajarannya dengan penuh kelembutan tetapi ketika ia berhadapan dengan puncak kejahatan dan sumber-sumber yang lalim maka ia tidak segan-segan untuk menghancurkannya. Nabi Musa menantang sumber kejahatan di zamannya, yaitu Fira’un. Kemudian Fir’aun melontarkan ide untuk membunuh Musa. Fir’aun mengira bahwa membunuh Musa adalah cara satu-satunya untuk menyelesaikan masalahnya:
“Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.'” (QS. al-Mu’min: 26)
Kita perhatikan bahwa titik kritis kekuasaan Fir’aun sudah di ujung tanduk. Dimana legitimasinya sebagai “tuhan” mulai terancam, dan agama yang dibawa Nabi Musa sudah mendapat sambutan yang cukup luas, hingga muncul kekhawatiran dalam hatinya bahwa agama yang dibawa Nabi Musa akan menukar agama Fir’aun, yang menurutnya akan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Fir’aun berusaha memberhentikan tugas para nabi; ia berusaha menyesatkan manusia dengan mengatakan bahwa justru Nabi Musa yang ingin menyesatkan mereka.
Di tengah-tengah pembicaraan tentang rencana jahat ini, lalu munculah sosok di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang ternyata selama ini menyembunyikan imannya. Sepertinya ketika itu ide untuk membunuh Nabi Musa sudah akan terlaksana, sehingga laki-laki yang selama ini menyembunyikan imannya merasa perlu untuk menampakkan jati dirinya, demi mencegah terjadinya rencana jahat tersebut. Allah SWT merekam peran penting laki-laki ini dalam Al Quran,
“Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata: ‘Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: ‘Tuhanku ialah Allah,’ padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamnya kepadamu akan menimpamu.’ Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (Musa berkata): ‘Hai kaumku, untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari azab Allah jika azab itu menimpa kita!’ Fir’aun berkata: ‘Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa saja yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.'” (QS. al-Mu’min 28-29)
Al-Qur’an tidak menyebutkan namanya karena namanya tidak begitu penting dan begitu juga tidak disebutkan sifatnya karena sifatnya tidak begitu penting. Tapi Al Qur’an merekam dialog laki-laki ini dengan Fir’aun, setidaknya dalam 18 ayat di dalam Al Quran Surat Al Mu’min (ayat 28-45). Ini jelas menunjukkan bertapa penting peran lelaki ini, dan juga bertapa tinggi hikmah yang disampaikannya di tengah kaum yang durhaka itu.
Al-Qur’an hanya menceritakan keadaan lelaki ini yang menyembunyikan keimanannya. Ia berbicara di tengah-tengah perkumpulan yang di situ disampaikan ide untuk membunuh Musa. Kemudian ia menghentikan ide gila itu dan berusaha meruntuhkan argumentasi mereka. Ia berkata bahwa Musa hanya mengatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhannya, lalu untuk mendukung pernyataannya itu ia membekali dirinya dengan bukti-bukti yang jelas yang menunjukkan bahwa ia benar-benar seorang rasul. Kemudian ada dua kemungkinan dan tidak ada kemungkinan ketiga: pertama bahwa Musa adalah seorang pembohong, kedua ia seorang yang benar. Jika ia seorang pembohong maka kebohongannya itu akan kembali kepada dirinya sendiri dan ia tidak melakukan sesuatu yang karenanya ia harus dibunuh. Namun jika ia benar lalu kita membunuhnya maka gerangan apa yang akan menjamin kita dari keselamatan terhadap azab yang dijanjikannya? Perkataan lelaki mukmin itu tampaknya memuaskan para hadirin. Karena yang dia sampaikannya, sangat logis dan jelas mengisayarat keinginan agar kaumnya selamat, bukan berakhir celaka yang diakibatkan oleh rencana jahat Fir’aun.
Pada dua ayat tersebut di atas (QS. al-Mu’min 28-29), kita hanya mengetahui bahwa lelaki itu adalah sosok dari kalangan pengikut Firu’aun, yang belum sepenuhnya menampakkan maksud dan keberpihakannya kepada Nabi Musa. Dari kata-katanya, terlihat bahwa ia sedang berusaha mengembalikan akal sehat Fir’aun dan kaumnya, bahwa rencana ini akan merugikan mereka sendiri. Dan menurutnya tidak ada sesuatu yang dapat menjatuhkan kekuasaan Fir’aun seperti kebohongan dan tindakan yang melampaui batas dan membunuh jiwa-jiwa yang tidak berdosa.
Dari sinilah kata-kata lelaki mukmin itu memancarkan kekuatannya yang cukup mempengaruhi Fir’aun, para menterinya, dan anak buahnya. Meskipun ide Fir’aun untuk membunuh Musa digagalkan oleh lelaki mukmin itu, namun Fir’aun mengatakan kata-kata bersejarahnya yang kemudian menjadi contoh dari sikap orangorang yang lalim:
“Fir’aun berkata: Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selainjalan yang benar.‘” (QS. al-Mu’min: 29)
Demikianlah pernyataan para penguasa yang lalim ketika mereka membengkokkan kesadaran masyarakat mereka. penguasa-penguasa lalim tesebut selalu berseru di segala zaman bahwasanya “Aku tidak melihat pendapatku kecuali sesuai dengan apa yang aku pertimbangkan. Ini adalah pendapat kami yang khusus. Ia merupakan pendapat yang membimbing kalian menuju jalan petunjuk, sedangkan pendapat lainnya salah. Oleh karena itu, kita harus tetap melawannya dan membinasakannya.” (AL)
Bersambung…
Catatan kaki:
[1] Selengkapnya, dapat diakses melalui: https://ganaislamika.com/mengenal-nabi-khidir-as-1/