“Di dalam Al Quran, ada seseorang yang dikisahkan tanpa nama padahal dia telah mengalami pengalaman yang menakjubkan dan menyerupai sebuah mukjizat, yaitu dimatikan selama seratus tahun lalu dihidupkan kembali.”
—Ο—
Allah Swt berfirman:
Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Baqarah [2]: 259)
Quraish Shihab, ketika menjelaskan tentang ayat ini dalam Tafsir Al Misbah mengatakan, memang hampir semua uraian al-Qur’an tentang peristiwa tidak menjelaskan siapa pelakunya, kapan dan di mana peristiwa itu terjadi. Sebab yang dipentingkan adalah pelajaran yang harus diambil dari peristiwa itu. Di sisi lain, hal tersebut juga untuk menunjukkan bahwa peristiwa serupa dapat saja terjadi pada setiap orang, kapan, dan di mana saja. Itu sebabnya – menurut asy-Sya’rawi – jika ada kisah al-Qur’an yang menyebut nama pelakunya, maka peristiwa itu tidak dapat terjadi lagi.[1]
Menurut tafsir Ibn Katsir, para ulama berbeda pendapat tentang siapa orang yang lewat tersebut. Mujahid ibnu Jabr mengatakan bahwa orang tersebut adalah seorang lelaki dari kalangan Bani Israil. Adapun negeri yang disebutkan dalam ayat, menurut pendapat yang terkenal mengatakan Baitul Maqdis. Orang tersebut melaluinya setelah negeri itu dihancurkan oleh Bukhtanasar dan semua penduduknya dibunuh. Wahb ibnu Munabbih dan Abdullah ibnu Ubaid (yaitu Armia ibnu Halqiya) mengatakan bahwa Muhammad ibnu Ishaq pernah meriwayatkan dari seseorang yang tidak diragukan lagi periwayatannya dari Wahb ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah Nabi Khaidir.[2]
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Isam ibnu Daud, dari Adam ibnu Iyas, dari Israil, dari Abi Ishaq, dari Najiyah ibnu Ka’b, dari Ali bin Abu Thalib yang mengatakan bahwa orang yang disebut dalam ayat ini adalah Uzair. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Najiyah pula. Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya juga dari Ibnu Abbas, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, dan Sulaiman ibnu Buraidah. Menurut Ibn Katsir, dari semua riwayat, pendapat inilah yang paling terkenal.[3]
Di dalam Al Quran, nama ‘Uzair sendiri pernah disebutkan sekali dalam ayat “Dan orang-orang Yahudi berkata: ‘Uzair adalah anak Allah.’ dan orang Nasrani berkata: ‘Al-Masifa itu putra Allah ’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Allah mengutuk mereka; bagaimana mereka sampai berpaling.” (QS.At Taubah: 30)
Tapi ketika menafsirkan ayat tersebut di atas, M. Quraish Shihab maupun Ibn Katsir tidak sama sekali menghubungkan ayat di atas dengan surat al-Baqarah: 259. Menurut M. Quraish Shihab, ‘Uzair adalah salah seorang ulama Yahudi. Beliau termasuk tawanan yang dibebaskan oleh Kursy Raja Persia dan diperbolehkan kembali ke Yerusalem pada tahun 451 SM. ‘Uzair adalah tokoh agamawan Yahudi yang berhasil menghimpun kembali kitab suci Yahudi setelah sebelumnya lenyap. Karena kedudukannya itulah sehingga orang-orang Yahudi menamainya — pada mulanya sebagai penghormatan – “anak Allah”, kemudian ini berkembang sehingga akhirnya dipercaya oleh sementara mereka sebagai anak Allah dalam pengertian hakiki. Walaupun kepercayaan itu hanya dianut oleh sebagian mereka, tetapi karena sebagian yang lain tidak membantah atau meluruskannya, maka mereka semua dianggap menyetujui keyakinan sesat itu.[4]
Dalam kerangka ini, para ulama juga tidak memiliki kesepakatan yang bulat tentang sosok ‘Uzair, demikian juga dengan sosok yang disebutkan pada QS. al-Baqarah: 259 tersebut. Tapi terlepas dari perdebatan tentang siapa sesungguhnya hamba Allah SWT yang dikisahkan itu, yang jelas kisah luar biasa yang dialaminya mengandung hikmah yang sangat tinggi bagi manusia. Bahkan sebagaimana yang Allah SWT sebutkan dalam ayat tersebut, bahwa orang tersebut, adalah salah satu tanda kekuasaan Allah bagi manusia. “Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia”. (QS. al-Baqarah: 259) (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume I, Jakarta, Lentera Hati, 2005, Hal. 559
[2] Lihat, http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-259.html, diakses 16 Mei 2018
[3] Ibid
[4] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 5, Jakarta, Lentera Hati, 2005, Hal. 576