“Pada prinsipnya, manusialah yang mendapat kemuliaan dan mengambil manfaat dari agama Allah SWT, bukan sebaliknya. Jelas sebuah kesombongan bagi siapa saya yang mengganggap dirinya telah memberi manfaat bagi agama Allah SWT yang sudah sempurna ini.”
—Ο—
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya“.(QS. Al-Kahfi: 19-20)
Quraish Shihab, ketika menafsirkan ayat tersebut, menerjemahkan maknanya kurang lebih sebagai berikut:
Ayat ini melanjutkan keterangan ayat yang lalu dengan menyatakan bahwa Kami melakukan apa yang Kami uraikan di atas, yakni menidurkan mereka dalam keadaan demikian dan lain-lain yang berkaitan dengannya, sebagai tanda kekuasaan Kami, dan demikian jugalah Kami bangunkan mereka setelah waktu yang demikian lama, juga sebagai tanda kekuasaan Kami pula agar atau sehingga mengakibatkan setelah mereka bangun dari tidur yang berkepanjangan tanpa mereka sadari itu, mereka saling bertanya di antara mereka sendiri tanpa keterlibatan orang lain tentang keadaan mereka. berkatalah salah seorang di antara mereka:. “Sudah berapa lamakah kamu berada dan tertidur di sini?” Sebagian di antara mereka menjawab-. “Kita telah berada di sini selama sehari atau setengah hari. ” Yang lain tidak sependapat. Yang ketiga menengahi dan mereka berkata-. ‘Tuhan yang selalu berbuat baik dan melimpahkan karunia kepada kamu lebih mengetahui dengan tepat dan rinci daripada kita semua tentang berapa lama kamu berada di sini. Tidak usahlah kita persoalkan hal tersebut, karena kita tidak dapat menentukan yang pasti. Yang penting sekarang ini, kita semua sedang merasa lapar dan membutuhkan makanan, maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perak kamu ini, dan hendaklah dia lihat dan cari di kota itu, manakah warung yang menjual makanan yang lebih baik, yakni yang halal dan bergizi, lalu hendaklah dia kembali dengan membawa rezeki Allah dari sana, yakni makanan itu, atau membawa imbalan uang perak yang dibawanya itu untuk kamu, dan hendaklah dia bersungguh-sungguh berlaku lemah lembut dan bersembunyi-sembunyi dan janganlah sekali-kali yang kamu utus itu menjadikan seseorangpun di antara penduduk kota merasakan sehingga mengetahui keadaan kamu. Sesungguhnya jika mereka, yakni penduduk kota yang akan dikunjungi untuk membeli makanan itu dapat mengetahui tempat dan keadaan kamu dan dapat mengetahui atau menguasai kamu, niscaya mereka akan merajam kamu, yakni melempar kamu dengan batu sampai mati jika kamu mempertahankan akidah kamu, atau mengembalikan kamu, yakni memaksa kamu memeluk dan masuk ke agama mereka yang mempersekutukan Allah, dan jika demikian, yakni jika kamu memeluk agama mereka niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya baik di dunia maupun di akhirat.[1]
Bila diperhatikan, kekhawatiran atas berbagai kemungkinan yang terjadi ketika mereka menampakkan diri di hadapan publik tersebut, justru menunjukkan situasi terakhir yang mungkin sedang mereka hadapi ketika sebelum tidur lama di dalam Goa. Dengan sangat rinci mereka bisa membayangkan apa saja bahaya-bahaya yang mengancam bila mereka tidak hati-hati menyembunyikan identitas mereka. Dari ayat tersebut kita bisa memahami, bagaimana berbahayanya situasi mereka ketika sebelum tertidur selama ratusan tahun, sehingga mereka memutuskan untuk pergi menjauh dari kaumnya, dan berlindung di dalam Goa. Munculnya getar kecurigaan sedikit saja di hati masyarakat, maka konsekuensi akan sangat gawat. Mereka bisa dirajam dan dipaksa memeluk agama kaum yang durhaka tersebut. Yang hal itu akan membuat mereka tidak akan beruntung selama-lamanya baik di dunia maupun di akhirat.
Demikian pula ketika mereka bertemu dengan masyarakat, Allah SWT ingin menyampaikan pada masyarakat dan para remaja tersebut, bahwa waktu bukan sesuatu yang dapat menggugurkan kebenaran. Ratusan tahun berlalu, dan semua masyarakat yang dahulu mencaci maki mereka sudah tiada, sedang mereka tetap hidup dengan iman yang sama, bahkan dengan usia yang tidak bertambah tua. Kelak di akhir kisah, mereka akan takjub menemukan, bagaimana kebenaran tegak, dan masyarakat yang dulu demikian durhaka, justru kemudian dipimpin oleh raja yang adil.
Dengan demikian kita bisa menarik hikmah, bahwa Allah SWT menegakkan kebenaran Sendiri, dan dengan caraNya sendiri. Ketika kebenaran tersebut tegak berdiri, para pemuda Ashāba Al-Kahfi, hanya bisa menyaksikan. Mereka bahkan tidak menjadi bagian dari proses terbentuknya sejarah yang pada akhirnya memenangkan kebenaran di muka bumi. Pada prinsipnya, manusialah yang mendapat kemuliaan dan mengambil manfaat dari agama Allah SWT, bukan sebaliknya. Jelas sebuah kesombongan bagi siapa saja, yang mengganggap dirinya telah memberi manfaat, apalagi merasa telah menambah kemuliaan bagi agama Allah SWT yang sudah sempurna ini. (AL)
Bersambung…
Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (6): Ashāba Al-Kahfi (7)
Sebelumnya:
Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (6): Ashāba Al-Kahfi (5)
Catatan kaki:
[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 8, Jakarta, Lentera Hati, 2005, hal. 31-32