Mozaik Peradaban Islam

Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (9): Orang yang Bersedekah ketika Rukuk (2)

in Studi Islam

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk.” (QS.al-Ma’idah:55)

—Ο—

 

Kontroversi seputar ayat 55 surat Al Maidah di atas sudah mengundang perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ahli tafsir dan ulama. Secara garis besar, terdapat dua level perdebatan di antara para ulama. Pertama, terkait masalah fiqh. Bila istilah rukuk (raki’un) dalam ayat tersebut diartikan secara harfiah, apakah hal tersebut membatalkan shalat, ataukah tidak? Terkait pertanyaan ini, proposisi pendapat yang dikemukakan para ulama berkonsekuensi pada pendapat mereka selanjutnya. Yang menyatakan bahwa istilah rukuk tersebut menunjukkan arti sesungguhnya, akan berpendapat bahwa gerakan tersebut tidak membatalkan shalat. Pendapat ini salah satunya dilontarkan ath-Thabari, pakar sejarah dan tafsir bidang riwayat, dan di dukung oleh Al-Qurthubi, pakar tafsir dan hukum asal Kordoba dalam tafsirnya Ahkam al-Qur’an yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa gerakan kecil dalam shalat tidak membatalkan orang yang sedang melaksanakannya.[1]

Adapun yang berpendapat bahwa istilah rukuk tersebut bersifat maknawi, yang mengisyaratkan ketundukan seorang hamba, umumnya akan berpendapat bahwa gerakan tersebut tidak dibenarkan. Salah satu pendukung pendapat ini adalah Ibn Katsir. Beliau berpendapat dalam tafsirnya;

Adapun mengenai firman-Nya yang mengatakan:{وَهُمْ رَاكِعُونَ} seraya mereka tunduk (kepada Allah). Maka sebagian ulama ada yang menduga bahwa jumlah ini berkedu­dukan sebagai hal atau keterangan keadaan dari firman-Nya:{وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ} dan menunaikan zakat. (Al-Maidah: 55). Yaitu dalam keadaan rukuk mereka, mereka menunaikan zakat/sedekahnya. Seandainya memang demikian, berarti menunaikan zakat di saat sedang rukuk merupakan hal yang lebih utama daripada keadaan lainnya, karena dalam ayat ini disebutkan sebagai tindakan yang terpuji, padahal keadaannya tidaklah demikian, menurut salah seorang ulama dari kalangan ulama fatwa yang telah kami kenal…[2] Demikian menurut Ibn Katsir.

Perdebatan di level selanjutnya, yaitu mengenai konsekuensi logis dari kedua pendapat di level pertama. Pendapat yang menganggap bahwa istilah rukuk tersebut harus di maknai lebih jauh, secara otomatis menolak adanya sosok yang dimaksud oleh ayat tersebut. Meskipun mereka juga tidak bisa mengingkari bahwa asbabunuzul ayat ini, memang menyangkut paristiwa yang melibatkan seorang sahabat utama.

Adapun pendapat yang sepakat bahwa istilah rukuk yang dimaksud dalam ayat ini adalah sikap rukuk dalam shalat, seyogyanya akan berpendapat bahwa ada sosok khusus yang dimaksud oleh ayat tersebut – yang dengan demikian memiliki legitimasi ilahi untuk menjadi pemimpin kaum Muslimin (Wali). Hal ini mengingat, tindakan melakukan zakat dalam keadaan rukuk dalam sholah adalah tindakan yang terlalu khusus untuk dilakukan. Sehingga sosok tersebut pastilah orang yang berkedudukan khusus, sehingga layak disebutkan ciri-ciri kekhususannya di dalam Al Quran. Meski demikian, ada juga ulama yang pendapatnya tidak linier. Seperti al-Qurthubi yang menerima kesimpulan ath-Thabari bahwa ayat tersebut menyiratkan pesan bahwa gerakan kecil tidak membatalkan sholat, tetapi tidak sependapat dengan mereka yang menjadikan ayat ini turun menyangkut seseorang, tidak juga memahami kata zakat dalam arti sedekah, sebagaimana dipahami oleh mereka yang mendukung riwayat di atas.[3]

Munculnya kontroversi di kalangan ulama memang bisa dipahami, mengingat dampak dari penafsiran atas ayat ini, tidak hanya menyangkut seputar masalah fiqh, tapi juga menyangkut masalah politik. Karena ini terkait tentang siapa sosok yang layak dijadikan sebagai pemimpin umat Islam. Sekurang-kurangnya kualifikasi mereka harus seperti yang diterangkan dalam ayat tersebut. Hanya persoalannya, kata waliyyukum/wali kamu di awal ayat ini berbentuk tunggal. Meski M. Quraish Shihab menyatakan bahwa kata tersebut harus dimaknai lebih jauh dari sekedar satu kesatuan sistem ketaatan yang bersifat khusus dan tunggal, tapi beliau sendiri kemudian mengakui bahwa ada saja kata dalam bentuk jamak, tetapi yang dimaksud hanyalah seorang.[4]

Lebih jauh, yang membuat perdebatan tentang tafsir ayat ini, adalah asbabunuzul-nya yang menurut banyak riwayat menyangkut satu orang. Tentang siapa orangnya, memang banyak versi, mulai dari Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, hingga Ubadah ibnus Samit. Tapi dari sekian banyak nama tersebut, nama Ali bin Abi Thalib lah yang paling masyur disebut dan digunakan sebagai asbabunuzul ayat tersebut. Meski Ibn Kastir sudah menyatakan bahwa umumnya riwayat tersebut diragukan keshahiannya, [5] namun tidak sedikit juga yang mengakui keshahiannya.

Tapi terlepas dari siapa sebenarnya sosok tersebut, bukan tempatnya kita memperdebatkannya di sini. Faktanya, riwayat mengenai asbabunuzul yang menyatakan adanya sosok yang ditunjuk oleh ayat ini memang tertulis di hampir semua kitab-kitab tafsir ulama terdahulu hingga hari ini. Dan ini cukup menunjukkan kedudukan dan legitimasi sosok tersebut, terlepas siapapun orangnya.

Penutup

Demikianlah kajian sederhana tentang sosok-sosok penting tanpa nama di dalam Al Quran. Kajian ini tidak dimaksudkan untuk membongkar misteri tentang sosok-sosok agung tersebut. Sebaliknya, melalui kajian ini kita bisa melihat, bagaimana sosok-sosok tersebut menjadi khazanah yang demikian agung, sehingga amaliah mereka ditulis dalam Al Quran agar menjadi pelajaran yang penting bagi manusia.

Dan bila kita memaknai semua sosok-sosok penting tersebut, sekurang-kurangnya kita bisa menarik satu hikmah, bahwa kisah mereka mengajarkan suatu prinsip Ilahi berikut ini:

Allah tidak akan tidur dan melupakan amal-amal seseorang, betapapun orang itu tidak diketahui atau tidak diakui oleh masyarakat sekelilingnya sebagai orang hebat. Jangan pernah khawatir dengan hilangnya amal-amal baik kita. Semua itu akan dicatat di sisi Allah SWT. Meskipun orang tidak mengenal siapa kita, sesungguhnya Allah SWT Mahamengetahui seberapa besar kebaikan dan keikhlasan kita. Bahkan, adakalanya, orang-orang yang dianggap hebat dan terkenal di zamannya tidak memiliki nilai apa-apa di sisi-Nya, sehingga kematian mereka adalah akhir bagi perjalanan mereka. Wallahu A’lam bis-shawab. (AL)

Selesai

Sebelumnya:

Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (9): Orang yang Bersedekah ketika Rukuk (1)

Catatan kaki:

[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 3, Jakarta, Lentera Hati, 2005, hal. 134

[2] Lihat, http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-54-56.html, diakses 19 Juli 2018

[3] Lihat, M. Quraish Shihab, Op Cit

[4] Ibid

[5] Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan melalui jalur Sufyan As-Sauri, dari Abu Sinan, dari Ad-Dahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika Ali ibnu Abu Talib sedang berdiri dalam salatnya, lewatlah di hadapannya seorang peminta-minta saat ia dalam rukuknya. Maka ia memberikan cincinnya kepada peminta-minta itu, lalu turunlah firman-Nya: Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya. (Al-Maidah: 55), hingga akhir ayat. Lihat, http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-54-56.html, Op Cit

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*