Mozaik Peradaban Islam

Siapa Penggubah Syair Cinta Nabi Barzanji (12): Sayyid Jafar Barzanji (7): Tasawuf sebagai Titik Temu (3)

in Studi Islam

Last updated on March 26th, 2021 01:55 pm

Al-Hallaj berkata, “Tiada fata selain Ali, dan tiada pedang selain Dzul-Fiqar.”

Lukisan karya Amir Khosrow (1253–1325) tentang peristiwa eksekusi al-Hallaj. Sumber: Ashmolean Museum

Ali bin Abi Thalib sebagai Rantai Spiritual Pertama

Hal lainnya yang layak untuk menjadi perhatian dari para sufi adalah kecintaan mereka terhadap Ali bin Abi Thalib ketimbang sahabat-sahabat lainnya, terlepas apa pun mazhab fikih mereka. Hal inilah kelak yang membuat mereka, oleh para awam yang tidak terlalu mendalami tasawuf, dianggap sebagai Syiah pula, yang mana sangat mencintai Ali sebagai imam pertama mereka.

Sebagai contoh, Haidar Bagir, penulis buku-buku tentang tasawuf, pernah ditanya tentang latar belakang Jalaluddin Rumi, seorang sufi mistik dari abad ke-13 yang namanya begitu terkenal. Si penanya menanyakan apakah Rumi itu seorang Syiah?

Haidar kemudian menjawab, “Tidak. (Rumi adalah) Sunni. Kemungkinan (pengikut mazhab) Hanafi. Tapi, seperti sufi-sufi lain, sangat memuja Sayidina Ali (bin Abi Thalib), betapa pun tetap memuliakan sahabat lainnya.”[1]

Apa yang dikatakan Haidar tampaknya benar, sebab apabila kita menengok Masnawi karya Rumi, meski ada penggambaran mengenai sahabat-sahabat Nabi lain, khusus tentang Ali bin Abi Thalib, Rumi menulis dengan porsi yang jauh lebih banyak. Rumi menulis hingga sembilan sub-bab, yang isinya adalah tentang keistimewaan-keistimewaan dan keutamaan-keutamaan Ali.[2]

Sebagai contoh mari kita lihat beberapa bait pemujaan Rumi kepada Ali:

“Karena engkau adalah ‘pintunya ilmu menuju di mana pengetahuan Allah berada’[3], secercah cahaya matahari yang terang dari karunia milik-Nya, bukalah pintunya!

“Bagi para pencari engkau adalah abadi, dan, melalui dirimu, setiap sekam dapat mencapai inti, maka bukalah selamanya, pintu belas kasihan menuju Tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia[4] – janganlah membuat kami menunggu!”[5]

Selain Rumi, ada juga Husain bin Mansur al-Hallaj, dia adalah salah seorang tokoh sufi mistik besar pada masanya. Hidupnya berakhir melalui penyaliban dan penyiksaan berat atas perintah Khalifah Dinasti Abbasiyah, al-Muqtadir, atas tuduhan kesesatan, yakni mengaku telah bersatu dengan Allah.[6]

Tidak diragukan lagi, al-Hallaj adalah seorang Sunni,[7] namun rantai spiritual tasawufnya juga bersambung kepada Ali. Al-Hallaj memperkenalkan konsep futtuwah, yang mana secara harfiah berarti  jalan hidup para pejuang spiritual. Sementara para pelaku yang menjalani ini disebut sebagai fata, yang secara harfiah berarti pemuda yang tampan (akhlaknya) dan gagah berani (dalam menegakkan kebenaran dan keadilan).[8]

Meskipun kata fata disebutkan di dalam Alquran, yang merujuk kepada Nabi Ibrahim (al-Anbiya: 60), para pemuda penghuni gua (al-Kahfi: 10-13, dalam bentuk jamak: fityah), dan juga Yusya bin Nun (murid Nabi Musa dalam al-Kahfi: 60),[9] tapi dalam kasus al-Hallaj umumnya istilah itu dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib, seperti kalimatnya, “Tiada fata selain Ali, dan tiada pedang selain Dzul-Fiqar.”[10]

Dan jika kita merujuk kepada masa yang lebih lama lagi, sejarawan dan juga mufasir al-Tabari, yang juga Sunni, pernah mengangkat kisah Perang Uhud yang terkait dengan kalimat di atas. Al-Tabari menulis:

Ketika Ali bin Abi Thalib telah membunuh pembawa bendera (pasukan Quraisy Makkah), Rasulullah melihat sekelompok kafir Quraisy dan berkata kepada Ali, “Serang mereka.”

Maka Ali menyerang mereka, mencerai-beraikan mereka, dan membunuh Amr bin Abdullah al-Jumahi. Kemudian Rasulullah melihat kelompok lain dari orang-orang kafir Quraisy dan berkata kepada Ali, “Serang mereka.”

Maka Ali menyerang mereka, mencerai-beraikan mereka, dan membunuh Shaybah bin Malik, salah satu anggota Bani Amir bin Lu’ayy.

Kemudian Jibril berkata, “Wahai Rasulullah, ini untuk pelipur hati.”

Rasulullah berkata, “Sesungguhnya dia dariku dan aku darinya,” dan Jibril berkata, “Dan aku dari kalian berdua.”

Dan mereka mendengar sebuah suara yang berkata, “Tiada pedang selain Dzul-Fiqar, dan tiada fata selain Ali.[11]

Sebetulnya masih banyak lagi contoh-contoh dari ulama tasawuf lain yang memuja Ali dan menjadikannya sebagai silsilah spiritual pertama setelah Nabi, tapi kita cukupkan sekian. Selanjutnya kita dapat mengambil kesimpulannya saja dari  Annemarie Schimmel yang berkata:

“Adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan bahwa banyak para Sufi — dan banyak Sunni saleh pada umumnya — merasakan semacam kesetiaan sentimental kepada keluarga Nabi tanpa meyakini ajaran Syiah. Pemujaan kepada Ali tersebar luas di kalangan Muslim, dan dia sering dianggap sebagai penghubung penting dalam rantai spiritual yang mengarahkan para guru Sufi kembali kepada Nabi.”[12]

Sehingga, tidak terlalu mengherankan jika Jafar Barzanji, yang juga seorang ulama tasawuf, dalam kitabnya berkata, “Kami mempunyai bapak, makhluk yang terbaik, Sayyidina Ali…. Ahlul Bait Nabi terpilih yang suci dari dosa; Maka ingatlah, mereka pencipta keamanan di muka bumi.”[13] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Islam Indonesia, “Tanya Jawab Tentang Rumi Bersama Haidar Bagir”, dari laman https://islamindonesia.id/tasawwuf/tanya-jawab-tentang-rumi-bersama-haidar-bagir.htm, diakses 12 November 2020.

[2] Jalal al-Din Rumi, Masnavi: Vol 1, diterjemahkan oleh Jawid Mojadeddi  (Oxford University Press: New York, 2004), hlm 227-243.

[3] Kalimat ini diambil dari sebuah hadis yang berbunyi, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barangsiapa yang menginginkan ilmu hendaklah mendatanginya dari arah pintunya.” (HR Ibnu Jarir dalam Tahdzibul Atsar, ath-Thabrani dalam al-Kabir 1/108, al-Hakim 3/126, al-Khathib al-Baghdadi 11/48, dan Ibnu Asakir 2/159.

[4] QS al-Ikhlas (112): 4.

[5] Jalal al-Din Rumi, Ibid., hlm 228-230.

[6] J.W. Fiegenbaum, “Al-Ḥallāj”, dari laman https://www.britannica.com/biography/al-Hallaj, diakses 24 Maret 2021.

[7] N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis: Central Asia and Middle East (Sarup & Sons: New Delhi, 2000), hlm 188.

[8] Kamus Risalah Muslim, “Futuwwah”, dari laman https://risalahmuslim.id/kamus/futuwwah/, diakses 24 Maret 2021.

[9] Ibid.

[10] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam (The University of North Carolina Press: United States of America, 2011), hlm 246.

[11] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume VII, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh M. V. McDonald (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 119-120.

[12] Annemarie Schimmel, Op.Cit., hlm 82.

[13] Abu Ahmad Najieh, Terjemah Maulid al-Barzanji (Mutiara Ilmu: Surabaya, 1987), Bab XXII.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*