Mozaik Peradaban Islam

Siapa Penggubah Syair Cinta Nabi Barzanji (13): Sayyid Jafar Barzanji (8): Tasawuf sebagai Titik Temu (4)

in Studi Islam

Last updated on March 27th, 2021 12:48 pm

Sanai menulis, “Agama adalah Husainmu, sedang syahwat dan harapan adalah babi-babi dan anjing-anjingmu. Bagaimana kau bisa terus mencerca Yazid dan Syimir? (Padahal) kau adalah adalah Yazid dan Syimir untuk Huseinmu?”

Ilustrasi wajah Sanai. Foto: Public Domain

Sanai dan Rumi (1)

Sekarang kita akan kembali kepada pemikiran Sayyid Wahid Akhtar di awal-awal mengenai pembahasan titik temu antara Sunni dan Syiah berada di jalur Tasawuf. Selain mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah rantai silsilah pertama dalam silsilah spiritual para sufi, dia juga mengatakan bahwa peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali dalam peristiwa Karbala adalah pengorbanan terbesar dalam sejarah Islam. Dan pengorbanan Husein adalah sebuah bukti betapa tingginya derajat spiritual Husein sehingga menjadi suatu tolak ukur pengorbanan kesyahidan bagi para sufi.[1]

Sekarang kita akan melihat, bagaimana pandangan para tokoh sufi mengenai peristiwa tersebut, apakah benar yang dikatakan oleh Akhtar?

William C. Chittick, seorang filsuf dan juga penulis buku-buku tentang tasawuf secara khusus pernah membahas persoalan ini. Di dalam artikelnya yang berjudul Rumi’s View of The Imam Husayn (pandangan Rumi terhadap al-Imam Husein), dia mengulas pandangan Hakim Abul-Majd Majdud bin Adam Sana’i Ghaznavi, atau lebih tenar dengan sebutan Sana’i saja; dan juga tentunya pandangan dari yang termashyur Jalaluddin Rumi.

Chittick menjelaskan, bahwa meskipun kesyahidan Imam Husein tidak bisa dikatakan sebagai tema utama dalam karya-karya Rumi – karena pada lebih dari 50.000 bait karya Rumi, dia hanya menyebutnya kurang dari dua puluh kali – namun demikian, beberapa baris ini sudah cukup untuk menunjukkan bagaimana peristiwa Karbala dipandang tidak hanya oleh Rumi, tokoh besar sufi ini, tetapi juga oleh para pendengarnya, yang merupakan bagian penting dari masyarakat Islam yang abid.[2]

Selanjutnya, kita akan mengutip beberapa saduran dari Haidar Bagir dari makalah karya Chittick tersebut. Haidar menulis:

Tak banyak yang tahu siapa Husein bin Ali, kecuali bahwa dia adalah cucu kinasih Nabi saw, yang wajahnya sering diciumi Nabi, dan punggung Nabi sering jadi kuda-kudaan mainannya. Padahal Husein jauh sebelum itu adalah pencinta Tuhannya, dan pencinta sesama manusia.

Hidupnya dihabiskan untuk menegakkan syariah dan akhlak kakeknya. Memuja Tuhan dan menolong orang-orang papa. Hingga ketika orang-orang yang ditindas Yazid di Irak seberang sana memanggilnya, bahkan manasik haji yang sedang dijalaninya ditinggalkannya.

Dibawanya seluruh keluarganya. Bukan untuk berperang, karena mana mungkin orang yang berperang melawan kekaisaran beratus ribu pasukan, datang dengan perempuan dan bayi-bayi dan hanya 70-an orang?

Husein hanya akan menuntut penindasan dihentikan. Tanpa peduli apa yang menunggunya. Kematiannya dan (hampir) seluruh keluarga serta pengikutnya – sesuatu yang sesungguhnya sudah diketahuinya sejak awal.

Tapi jika sudah urusan menyeru Tuhan dan menegakkan keadilan, Husein tak merasa perlu bertanya. Tugas mulia harus ditunaikan, tak peduli apa yang akan terjadi. Akankah masih bertanya di hadapan panggilan Tuhan dan sesama yang papa dan lemah tak berdaya?

Ya, peristiwa Karbala adalah soal cinta, dan kesucian. Dan Imam Husein adalah paragon cinta dan kesucian itu. Di balik banyak tulisan yang menggambarkanya sebagai tragedi kekejaman dan kejahatan yang menimpa Imam Husein, para sufilah yang banyak melihatnya dari kaca mata ini.

Bahwa apa yang oleh orang banyak dilihat sebagai tragedi, sesungguhnya adalah teladan bagi jalan para sufi dan awliya. Sanai adalah salah satunya:

“Sampai mereka berpaling dari kegembiraan

(Bahkan) orang suci tak bisa melangkah ke permadani Mustafa. Bagaimana bisa ada kegembiraan di jalanan agama, saat,

demi kekaisaran, darah mengucur turun di kerongkongan Husein?”…..

….. Di tempat lain Sana’i melantunkan:

“Sekali kau tapaki jalan ini

Maka bekalmu hanyalah kemusnahan

Bahkan jika kau adalah Abu Dzarr atau Salman

Dan jika kau Husayn

takkan kau lihat wajah cantik sang pengantin

Hanya belati dan pedang.”….

…. Sampai akhirnya Sanai menyimpulkan bahwa:

“Agama adalah Husainmu

Sedang syahwat dan harapan adalah babi-babi dan anjing-anjingmu

Bagaimana kau bisa terus mencerca Yazid dan Syimir?

(Padahal) kau adalah adalah Yazid dan Syimir untuk Huseinmu?”…..[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Sayyid Wahid Akhtar, Tasawwuf the Meeting Point of Tashayyu and Tasannun (Al-Tawhid Islamic Journal).

[2] William C. Chittick, Rumi’s View of The Imam Husayn (makalah yang disampaikan dalam konferensi Imam Husein di London, 6-9 Juli 1984), hlm 3.

[3] Haidar Bagir, “Syahadah Imam Husayn adalah Teladan Kesufian: Tragedi Karbala dalam Syair-Syair Sana’i dan Rumi”, dari laman https://islamindonesia.id/haidar-bagir/kolom-haidar-bagir-syahadah-imam-husayn-adalah-teladan-kesufian-tragedi-karbala-dalam-syair-syair-sanai-dan-rumi.htm, diakses 26 Maret 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*