Mozaik Peradaban Islam

Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (9): Orang yang Bersedekah ketika Rukuk (1)

in Studi Islam

Last updated on July 23rd, 2018 07:01 am

Beberapa riwayat tentang ashabunuzul ayat ini menjelaskan bahwa suatu ketika seorang peminta-minta datang ke masjid Nabi SAW di Madinah, tetapi tidak seorang pun yang memberinya sesuatu. Ketika itu ‘Ali Ibn Abi Thalib sedang shalat dan dalam keadaan rukuk, maka dikeluarkannya cincin yang sedang menghiasi jarinya dan diberikannya kepada si peminta-minta itu.

—Ο—

 

Salah satu sosok penting tanpa nama dalam Al Quran yang cukup kontroversial dan mengundang perdebatan dalam sejarah Islam, adalah sosok yang disebutkan oleh Al Quran dalam Surat Al Ma’idah; 55. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk.” (QS.al-Ma’idah:55)

Menariknya, ayat ini muncul setelah dalam ayat sebelumnya Allah SWt menegaskan larangan mengangkat non-Muslim sebagai auliya’, Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS.al-Ma’idah:54)

Menurut M. Quraish Shihab, seraya ingin menegaskan, pada ayat selanjutnya (QS.al-Ma’idah:55), Allah SWT kemudian menjelaskan siapa yang seharusnya dijadikan wali bagi orang-orang beriman. Berikut ini adalah pendapat beliau ketika menafsirkan QS.al-Ma’idah:55:

Penjelasan ini dikukuhkan dengan kata: Sesungguhnya wali kamu tidak lain hanyalah Allah, karena hanya Dia yang dapat menolong dan membela, selain-Nya tidak akan mampu jika bukan atas izin-Nya. Setelah menyebut Wali yang pokok, ayat ini menyebutkan siapa yang dijadikan tauladan dalam hal tersebut yaitu Rasul-Nya, dan sesudah beliau adalah orang-orang yang beriman, yang terbukti ketulusan iman mereka, yaitu mereka sedang mendirikan shalat pada waktunya secara benar dan bersinambung dan menunaikan zakat dengan tulus lagi sempurna, seraya mereka rukuk yakni tunduk kepada Allah, melaksanakan tuntunan-tuntunan-Nya, atau menunaikan zakat/sedekah sedang mereka dalam keadaan butuh. Mereka itulah yang harus dijadikan auliya’ oleh orang-orang yang beriman. Dan barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai wali maka sesungguhnya mereka itulah pemenang-pemenang dalam perjuangan dan segala usaha mereka, karena kelompok pengikut agama Allah itulah yang akan menjadi pemenang-pemenang. Ayat ini menjelaskan dengan gamblang siapa yang harus dijadikan auliya’.”[1]

Kemudian M. Quraish Shihab melanjutkan, “Dengan penjelasannya ini, maka yang terlarang bukan hanya orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi juga orang-orang munafik dan mereka yang ada penyakit di dalam jiwanya. Bukankah ayat di atas, menjelaskan sifat orang-orang beriman yang hendaknya dijadikan auliya’, yakni yang terbukti ketulusan iman mereka, yaitu mereka yang mendirikan shalat pada waktunya secara benar dan bersinambung dan menunaikan zakat, dengan tulus lagi sempurna seraya mereka rukuk, yakni tunduk kepada Allah dan melaksanakan tuntunan-tuntunan-Nya.”[2]

Masih menurut M. Quraish Shihab, kata waliyyukum/wali kamu di awal ayat ini berbentuk tunggal, sedang yang ditunjuk adalah Allah, Rasul dan orang-orang beriman. Menurut beliau, hal ini menunjukkan bahwa yang pokok sebagai sumber dari segala perwalian hanya satu, yaitu Allah SWT., selain-Nya tidak ada. Selanjutnya baru disebutkan Rasul dan orang-orang beriman, tetapi bukan sebagai sumber dan pokok, karena mereka juga pada hakikatnya menjadikan Allah sebagai Wali. Seandainya ayat ini menggunakan bentuk jamak dari kata wali yakni auliya’, maka tidak akan jelas perbedaan antara Allah sebagai Wali yang Mutlak, serta Sumber dan Pokok perwalian, dengan perwalian yang lain. Demikian menurut Quraish Shihab.[3]

Tapi kemudian, hal yang jadi perdebatan ketika masuk pada Firman-Nya: wa hum raki’un (saat mereka dalam keadaan rukuk). Ada yang mengartikan rukuk (raki’un) di sini sebagai perumpamaan akan sikap ketundukan mereka pada Allah SWT. Meski pendapat tersebut baik dan mungkin saja benar, tapi yang lebih banyak justru mengatakan bahwa rukuk dimaksud adalah kondisi rukuk yang sesungguhnya. Mereka menilai bahwa yang dimaksud itu adalah penjelasan tentang keadaan mereka, yang menunaikan zakat dalam arti mereka menunaikan zakat saat mereka dalam keadaan rukuk.

Pendapat kedua ini melandaskan argumennya pada Ashbaunuzul ayat itu sendiri, yang memang diriwayatkan oleh banyak ulama-ulama terkemuka, seperti Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad. Beberapa riwayat tentang ashabunuzul ayat ini menjelaskan bahwa suatu ketika seorang peminta-minta datang ke masjid Nabi SAW di Madinah, tetapi tidak seorang pun yang memberinya sesuatu. Ketika itu ‘Ali Ibn Abi Thalib sedang shalat dan dalam keadaan rukuk, maka dikeluarkannya cincin yang sedang menghiasi jarinya dan diberikannya kepada si peminta-minta itu. Pada riwayat yang lain ada pula yang mengatakan bahwa sosok tersebut adalah Abu Bakar Ash Siddiq.

Tapi terkait dengan hal ini, M. Quraish Shihab tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Sebab menurutnya, “bentuk jamak yang digunakan ayat ini (dan mereka rukuk), tidak mendukung turunnya ayat ini hanya menyangkut seorang saja, baik Abu Bakar ra. maupun ‘Ali Ibn Abi Thalib, kendati harus diakui bahwa ada saja kata dalam bentuk jamak, tetapi yang dimaksud hanyalah seorang.”[4] Demikian menurut Quraish Shihab. (AL)

Bersambung…

Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (9): Orang yang Bersedekah ketika Rukuk (2)

Sebelumnya:

Beberapa Sosok Penting Tanpa Nama di Dalam Al Quran (8): Para Rasul dan Seorang Laki-Laki dalam Surat Yasin (2)

Catatan kaki:

[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Volume 3, Jakarta, Lentera Hati, 2005, hal. 133

[2] Ibid

[3] Ibid, hal. 134

[4] Ibid

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*