Mozaik Peradaban Islam

Syair Cinta Rumi untuk Ali bin Abi Thalib (10): Ketika Pedang Belas Kasih Lebih Tajam dari Pedang Besi

in Tokoh

Mengapa Ali menjatuhkan pedang besinya? Karena pedang belas kasihnya telah memilih untuk menebus begitu banyak jiwa dalam tubuh yang terbuat dari tanah liat.

Foto ilustrasi: Lukisan karya Hassan Rouh al-Amin

Amirul Mukminin Ali berkata kepada musuhnya sendiri, “Ketika engkau meludahi wajahku, jiwa jasmaniahku bangkit dan aku kehilangan kekuatan untuk bertindak dengan tulus, hanya karena Allah – itulah yang telah mencegahku untuk membunuhmu.”

Amirul Mukminin berkata kepada musuhnya: “Dalam pertempuran yang terjadi beberapa waktu yang lalu, ketika engkau meludahi wajahku, diriku tergerak: Aku kehilangan kesabaran meskipun itu tidak dibenarkan. Jadi, baik Allah dan hasratku memiliki bagiannya tetapi berbagi tidak diizinkan dalam urusan Allah.

“Engkau diciptakan oleh Tangan Tuhan sendiri – engkau adalah milik-Nya, bukan diciptakan olehku, harap dipahami! Hancurkanlah bentuk-bentuk yang diciptakan oleh Allah saat Dia mengampuni, pecahkanlah kaca yang dicintai hanya dengan batu-batu-Nya!”

Seorang Majusi mendengar ini, menemukan cahaya di dalam hatinya, ikatan Majusinya lalu dia robek-robek, berkata, “Aku menabur benih yang salah; baru saja aku berpikir, entah bagaimana, bahwa engkau akan berbeda. Keseimbangan hakikat Yang Esa, engkau adalah poros dari semua skala bersandar; Engkau adalah sukuku dan engkau adalah asalku, cahaya lilin mazhabku, dan saudaraku!”

Ali berkata, “Akulah budak paling rendah hati dari Pelita Pencari-Mata[1], seseorang yang memendarkan cahaya kepada pelitamu, juga budak gelombang cahaya laut itu, yang baru saja membawa mutiara yang indah untuk dilihat. Untuk menyaksikan beralihnya engkau (kepada Islam-pen) adalah impianku, karena usiamu tampaknya seperti orang-orang yang terhebat.”

Kemudian hampir lima puluh keluarganya (mengikutinya), bagaikan kekasih yang meminta keyakinan terhadap kepastian; Pedang belas kasihnya telah menebus begitu banyak jiwa dalam tubuh yang terbuat dari tanah liat; Yang lebih tajam dari pedang besi adalah pedang belas kasihan, jauh lebih ampuh dari serangan pasukan.

Sayangnya, untuk dua suap yang telah dipilih Adam, dengan cara ini semangat pikiran suci membeku: gandum dengan demikian menutupi mataharinya yang telah bersinar terang, seperti bulan purnama yang pudar di malam hari – segenggam sehingga membuat rahmat dari hati Adam tersebar seperti bintang-bintang yang begitu jauh terpisah.[2]

Ketika spiritual maka makanan menjadi bermanfaat, tetapi ketika itu bentuk belaka, itu menyebabkan kerugian. Seperti pohon hijau berduri yang dimakan unta dan darinya ia mendapat manfaat seolah-olah itu adalah gandum; Tetapi ketika mereka semua telah mengering dan menjadi coklat, unta gurun masih tetap menelan mereka – mereka merobek langit-langit unta ini, ya Tuhan, mawar yang bergizi telah menjadi pedang!

Ketika makanan bersifat spiritual, maka ia berwarna hijau. Tetapi manakala bentuk belaka, ia menjadi basi, seperti yang telah kita lihat: dengan cara yang sama engkau terbiasa dengan yang Suci, makanan yang bermanfaat – jiwa yang welas asih seperti engkau kini memakan makanan yang sangat kering ini setiap hari, karena ruh telah bercampur dengan tanah liat belaka; Manakala tercampur dengan tanah liat, ia menjadi kering dan menyayat daging – hindari ini sekarang, unta, ini tidak segar!

Ujaran ini mengalir dari tanah-bumi, ia telah kehilangan kekuatannya, airnya keruh – sumbatlah ia di sumbernya! Allah akan mengubahnya menjadi aliran suci kemudian – Dia membuatnya menjadi gelap, Dia akan membuatnya jernih lagi.

Kesabaran akan membawa kepuasan pada akhirnya, milikilah kesabaran – Allah yang paling tahu apa yang benar, sahabatku![3] (PH)

Seri Syair Cinta Rumi untuk Ali bin Abi Thalib selesai.

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Pelita Pencari-Mata: digunakan di sini sebagai ilustrasi untuk mewakili Allah, yang mencari mata orang yang arif, sehingga Dia dapat dikenal.

[2] Dalam tradisi Muslim, makanan terlarang yang dimakan Adam biasanya diidentifikasikan sebagai biji-bijian gandum (atau jelai), bukan apel.

[3] Disadur dari Jalal al-Din Rumi, Masnavi: Vol 1, diterjemahkan oleh Jawid Mojadeddi  (Oxford University Press: New York, 2004), hlm 242-243.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*