“Perang mengubah orang (Bosnia) dan itu mengubah persepsi mereka tentang siapa mereka. Sebagai reaksi dan sebagai bagian dari perang dan proses politik di balik itu, banyak Muslim Bosnia mendefinisikan ulang konten dan fungsi identitas kolektif mereka, dan mengidentifikasi diri mereka dengan komunitas muslim dunia yang lebih luas lebih dari sebelumnya.”
—Ο—
Bosnia tidak pernah dikenal orang di dunia bahkan oleh orang Barat sendiri – yang bertetangga dekat dengan mereka – hingga konflik etnik paling berdarah di era modern meletus. Derasnya berita tentang Bosnia membuat Dunia terbelalak. Anthropolog Tone Bringa mengatakan dalam proglog bukunya bahwa masyarakat dunia bahkan tahu nama desa dan pasar terpencil di bosnia.
“Ketika saya kembali dari Bosnia-Hercegovina setelah kunjungan lapangan petama saya di tahun 1988, saya ditanya oleh rekan dari Inggris, ‘Dimana Bosnia?’ Hari ini amat sedikit orang Eropa yang akan menanyakan hal tersebut. selama lebih dari tiga tahun (1995) Bosnia telah masuk kehalaman utama Koran-koran di Eropa. Bahkan nama-nama desa dan pasar terpencil sudah masuk dalam kosa kata surat kabar. Perang pertama di tanah Eropa dalam hampir lima puluh tahun telah menghasilkan minat yang sangat besar di wilayah itu baik di bagian media maupun akademi. Banyak peneliti, sejarawan, ilmuwan sosial, dan yang lainnya telah mengalihkan minat mereka terhadap pecahan Yugoslavia tersebut”.[1]
Sebelum perang etnik berkecamuk paling tidak ada dua orang anthropolog yang melakukan penulisan entnografi mengenai Bosnia; Cornelia Katharine Sorabji[2] dan Tone Bringa[3].
Bosnia saat itu masih menjadi bagian dari Negara Federasi Yugoslavia[4]. Keduanya meminta ijin melakukan penelitian di otoritas Yugoslavia di Sarajevo. Britannica.com menjelaskan selepas Perang Dunia II wilayah Bosnia masuk menjadi anggota Republik Sosialis Federasi Republik Yogoslavia. Ketika terjadi disintegrasi Yogoslavia pada tahun 1991, mayoritas penduduk Bosnia dan Herzegovina meminta referendum kemerdekaan. Namun daerah yang populasinya etnis Serb[5] menolak dan memboikot referendum.
Cornelia Katharine Sorabji melakukan penelitian untuk menyelesaikan program doktoral pada bidang Anthropologi dengan judul Muslim Identity and Islamic Faith in Sarjevo pada Unversity of Cambridge. Ia melakukan penelitian selama 15 bulan pada 1985-1986, setahun lebih dahulu tinimbang Tone Bringa. Namun patut disayangkan profil Cornelia Katharine Sorabji tidak bisa ditemukan dalam pencarian internet.
Cornelia K Sorabji di dalam abstraksi tesisnya menjelaskan, sebagai studi etnografi, tesisnya menguji sejumlah masalah termasuk persepsi tentang kota dan lingkungan sebagai ruang konseptual yang terpisah, peran ritual, hubungan gender dan sifat alamiah rivalitas agama. Melalui pendekatan ke masyarakat Muslim Sarajevo, tesisnya mencoba untuk menerangkan beberapa pertanyaan yang lebih luas mengenai peran politik Islam di dunia modern, perkembangan nasionalisme dan sifat hubungan antara minoritas dan negara sosialis.[6]
Sementara itu, David Henig dan Karolina Bielenin-Lenczowska[7] mengatakan buku Tone Bringa Being Muslim the Bosnian Ways yang terbit pada 1995 menjadi rujukan utama sarjana anthropologi yang akan meneliti identitas Muslim di kawasan Balkan atau Tenggara Eropa.
David Henig[8] dan Karolina Bielenin-Lenczowska[9] menjelaskan Setelah peristiwa tragis di Bosnia – Herzegovina menyusul pecahnya Yugoslavia, muncul kebutuhan tentang wawasan yang mendalam mengenai kompleksitas keagamaan, simbolisme politik-agama dan politik identitas dalam negara yang sedang berkecamuk perang. Sementara itu, menurut mereka wawasan yang mendalam itu diperumit dengan paradigma – seperti clash of civilisation, atau kebencian etnis – yang telah diadopsi dengan mudah oleh banyak orang internasional dan politisi lokal, bahkan para sarjana yang bekerja di wilayah itu, dan hal tersebut segera menjadi arus utama wacana akademik selama dan terlebih di tahun-tahun setelah perang.
David Henig dan Karolina Bielenin-Lenczowska melihat beberapa hal belum dijelajahi oleh para sarjana Islam di bekas Yugoslavia dan Muslim di Tenggara Eropa secara umum. Dalam buku itu, menurut mereka, Bringa membuat sketsa dengan sangat rinci bagaimana Muslim Bosnia mengartikulasikan dan menegosiasikan dilema moral, dan gagasan tentang hidup seorang Muslim di sosialisme Yugoslavia, dan bagaimana hal itu secara radikal hancur oleh perubahan sosio-ekonomi yang disebabkan oleh konflik begitu juga halnya perubahan lanskap keagamaan yang disebabkan pecahnya sosialis di wilayah tersebut.
Analisa David Henig dan Karolina Bielenin-Lenczowska untuk mengenal Bosnia lebih dalam merujuk pada kata-kata Tone Bringa: “Perang mengubah orang dan itu mengubah persepsi mereka tentang siapa mereka. Sebagai reaksi dan sebagai bagian dari perang dan proses politik di balik itu, banyak Muslim Bosnia mendefinisikan ulang konten dan fungsi identitas kolektif mereka, dan mengidentifikasi diri mereka dengan komunitas muslim dunia yang lebih luas lebih dari sebelumnya.” (1995: 197–198). (Lj)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] “When I returned from Bosnia-Hercegovina after my first field trip in 1988, I was asked by colleagues in Britain, ‘Where is Bosnia?’ Today very few Europeans would have to ask that question. For more than three years [1995] Bosnia has been making front-page headlines in European newspapers. Even names of villages and small market towns have entered the daily newspaper vocabulary. The first war on European soil in almost fifty years has produced an enormous interest in the region both on the part of the media and that of the academy. Many researchers, historians, social scientists, and others have turned their interests toward the former Yugoslavia. (1995: 3) Lihat, Tone Bringa, Being Muslim in the Bosnian Way: Identity and Community in a Central Bosnian Village, Princeton University Press, 1995. Buku ini bisa di lihat di Google Book (beberapa halaman tidak bisa ditampilkan).
[2] PDF Doctoral Thesis bisa diunduh di website University of Cambridge. https://www.repository.cam.ac.uk/handle/1810/240753
[3] Lihat, https://press.princeton.edu/titles/5696.html
[4] Lihat, https://www.britannica.com/place/Bosnia-and-Herzegovina
[5] Pasca Perang Dunia I, terbentuklah Kerajaan Yugoslavia yang merupakan gabungan dari etnis Serb, Croat dan Slovenia. Di dalam Negara baru ini, etnis Serbbegitu mendominasi baik dalam bidang pilitik maupun militer. Kelak setelah Yogoslavia pecah, etnis Serb ini membentuk Negara baru bernama Serbia. Lihat, https://en.wikipedia.org/wiki/Serbs, diakses 23 Agustus 2018
[6] Lihat, https://www.repository.cam.ac.uk/handle/1810/240753
[7] Anthropological Journal of European Cultures Volume 22, No. 2 (2013): 1-11 © Berghahn Journals
doi: 10.3167/ajec.2013.220201 ISSN 1755-2923
[8] David Henig adalah dosen antropologi sosial di School of Anthropology and Conservation, University of Kent. Dia telah melakukan penelitian etnografi di Bosnia-Herzegovina, Kosovo, Dagestan dan Tajikistan, dengan fokus pada kosmologi Muslim dan fatwa-fatwa darwis, transformasi sosial dan ekonomi sosialis / pasca-sosialis, dan materialitas. Dia telah turut menulis beberapa makalah di American Ethnologist, Anthropology Today, Critique of Anthropology, History and Anthropology, dan beliau bertindak sebagai co-editing buku Economies of Favors After Socialism yang diterbitkan tahun 2014.
[9] Karolina Bielenin-Lenczowska adalah Asisten Profesor di Institute of Ethnology and Cultural Anthropology, Universitas Warsawa. Seorang antropolog sosial dan ahli bahasa, dia telah menekuni bidang etnografi. Bekerja di Republik Macedonia sejak tahun 2001. Dia adalah editor buku ‘Neighbourly Ties in the Face of Conflict: Social and Ethnic Relations in Western Macedonia’ (dalam bahasa Polandia, Warsawa 2009) dan telah juga menerbitkan tema-tema mengenai Islam, migrasi, jender dan metodologi antar alia dalam Antropological Notebooks, Ethnologia Balkanica dan Ethnologia Polona.