“Khalifah kedua Cordoba, al-Hakam II meninggal, tahta diberikan ke Hisham II, putranya yang berusia 10 tahun. Orang-orang di dalam pemerintahan memanfaatkan keluguan dan kurangnya pengalaman khalifah muda ini. Inilah awal mula dari jatuhnya kekhalifahan Umayyah di Cordoba.”
–O–
Cordoba adalah surga penelitian yang orisinil. Banyak penerjemah yang menyibukkan diri dengan karya-karya besar dari teks Yunani Kuno, menerjemahkannya ke bahasa Arab, Latin, dan Ibrani. Putra Abdurrahman III — yang menjadi khalifah kedua Cordoba — adalah al-Hakam II. Dia berperan penting bagi pertumbuhan perpustakaan besar Cordoba, salah satu gudang pengetahuan yang paling penting di muka bumi pada saat itu. Perpustakaan itu memiliki sampai 400.000 judul buku yang berbeda.[1]
Para ilmuwan dan penerjemah datang berbondong-bondong ke Cordoba dari seluruh Timur Tengah, Persia, dan Eropa. Secara keseluruhan, Cordoba mencapai puncaknya yang cemerlang di bawah al-Hakam II. Menurut seorang penulis sejarah kontemporer, pada masa itu di Cordoba terdapat 800 sekolah umum di kota, serta 3.000 masjid, dan sejumlah penginapan yang sama banyaknya untuk menampung para pengunjung.
Penduduk kota ini juga sangat bangga karena memiliki 100.000 toko dan 900 pemandian umum. Hal ini justru terjadi pada saat otoritas gereja di Eropa mengutuk kegiatan mandi di pemandian umum sebagai tindakan yang berbahaya, tidak bermoral, kafir, dan harus dihindari dengan segala cara.
Di abad pertengahan, ketika orang-orang di wilayah Muslim banyak mendirikan pemandian umum, dan bersikeras mencuci tangan sebelum makan, orang Kristen justru mengadopsi pandangan sebaliknya, menurut mereka itu merupakan kesalahan. Ketika manusia membersihkan diri, maka dia telah membuang kotoran Kristennya, dan itu bukan tindakan kejujuran. Orang Kristen diwajibkan untuk menerima kehendak Allah dan penyakit serta kesengsaraan yang menyertainya. Ratu Elizabeth I terkenal diceritakan bahwa dia hanya mandi dua kali dalam setahun, terlepas apakah dia memerlukannya ataupun tidak.[2]
Keragaman Etnik
Cordoba adalah tempat yang beragam secara etnis. Muslim keturunan Arab terdiri dari sekitar 10 % dari populasi, begitu pula dengan Berber Afrika Utara dan Yahudi, masing-masingnya menempati 10 % dari populasi.
Jumlah masyarakat terbesar adalah penduduk asli – yang Kristen ataupun yang pada akhirnya masuk Islam, mereka menemukan diri mereka berada di tangga sosial terbawah, meskipun secara khusus masih berhak mendapatkan perlindungan hukum yang lebih besar sebagai warga negara ketimbang minoritas Muslim yang tinggal di negara-negara Kristen.
Tidak kurang dari lima bahasa ada di kota ini. Bahasa Arab, Latin, dan Ibrani diperlakukan secara proporsional baik oleh Muslim, Kristen, maupun Yahudi. Para ilmuwan yang serius diharapkan menguasai dengan baik ketiga-tiganya. Selain itu, bahasa Arab Andalusia dan dialek Roma seperti Latin — yang pada akhirnya akan menjadi bahasa Spanyol modern — diucapkan dengan berbagai tingkatan oleh ketiga agama utama tersebut.
Kejatuhan Dinasti Umayyah
Setelah kematian al-Hakam II, kekuasaan diserahkan kepada putranya yang masih berusia 10 tahun, yakni Hisham II. Hisham dibesarkan di bawah asuhan ibunya, Aurora, dan Perdana Menterinya, Jaʿfar al-Muṣḥafī. Beberapa tahun kemudian, seorang pejabat tinggi kekhalifahan yang bernama Al-Mansur, karena pengaruhnya yang kuat, dia berhasil menggeser posisi Jaʿfar al-Muṣḥafī sebagai Perdana Menteri. Al-Mansur berhasil menghilangkan semua kekuasaan temporal khalifah, yang dia dominasi, dan kemudian memperoleh kekuasaan penuh untuk dirinya sendiri.[3]
Di bawah Al-Mansur (di Barat dia disebut Almanzor), anggaran negara untuk pendidikan yang sebelumnya besar menjadi dikesampingkan, dan alih-alih diganti untuk membiayai politik luar negerinya yang ekspansionis, yakni perang untuk perluasan wilayah. Al-Mansur membiayai tentara bayaran dan serangkaian perang yang awalnya sukses. Namun, perang-perang ini malah menciptakan lebih banyak musuh, dan membangkitkan kebencian dan persaingan lama di dalam tubuh kekhalifahan.
Beberapa kelompok Berber tertentu berbalik melawan orang Arab. Beberapa Mualaf dari agama Kristen mendukung majikan Muslim mereka, sementara yang lainnya tidak. Penduduk Yahudi, juga, menemukan diri mereka masuk ke kamp-kamp untuk, dan melawan, siapa pun pemimpin lokal mereka pada waktu itu.
Pusat kota diserang oleh kelompok-kelompok bersenjata dari pedesaan, beriringan dengan runtuhnya hukum dan sistem hirarki kenegaraan. Dalam periode yang tidak stabil secara politis ini, yang timbul dari ambisi militer orang-orang di belakang seorang khalifah muda yang tidak berpengalaman, datanglah awal dari akhir kekhalifahan Umayyah di Cordoba.
Antara kematian al-Hakam II pada tahun 976, dan akhir dari kekhalifahan Cordoba 50 tahun kemudian, pada tahun 1031, akan ada tujuh khalifah lainnya (beberapa di antaranya adalah keturunan Al-Mansur) . Tak satu pun dari mereka yang bisa menyamai bakat kepemimpinan para pendahulu mereka yang paling terkemuka.
Kebesaran dunia pendidikan Cordoba tidak berhenti dengan berakhirnya kekhalifahan pada tahun 1031. Seabad kemudian, dua putra terbaik kota Cordoba lahir. Yang pertama adalah Moses Maimonides, filsuf Yahudi abad pertengahan, astronom, dan juga pakar Torah. Yang kedua adalah Ibnu Rusyd, filsuf dan polymath, atau di dunia Barat dikenal sebagai Averroes.
Sebagai refleksi, peran Cordoba yang paling penting adalah sebagai jembatan pemersatu, dan tempat belajar terbaik bagi Muslim, Kristen, Yahudi Eropa, dan orang-orang Timur Tengah. Dalam prosesnya, ia menciptakan laboratorium lanjutan untuk ilmu pengetahuan, dan bahkan lebih besarnya lagi, kebesaran dunia pendidikan Cordoba tetap berlanjut meskipun kekhalifahan telah runtuh. (PH)
Artikel seri “Cordoba, Pelarian Umayyah” selesai.
Sebelumnya:
Catatan:
Artikel ini merupakan adaptasi dari buku karya Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 98-100. Adapun informasi lain yang bukan didapat dari buku tersebut dicantumkan dalam catatan kaki.
Catatan Kaki:
[1] “Hakam II”, The Columbia Encyclopedia, Sixth Edition. Copyright © 2000 Columbia University Press.
[2] “The Progress of Medicine and Science”, dari laman http://www.badnewsaboutchristianity.com/gg0_medicine.htm, diakses 17 Mei 2018.
[3] “Muslim Spain”, dari laman https://www.britannica.com/place/Spain/Muslim-Spain#ref587369, diakses 17 Mei 2018.