Dinasti Abbasiyah (16): Abdullah Abu Ja’far (Al-Manshur) (1)

in Sejarah

Last updated on March 13th, 2019 07:58 am

Al-Manshur dikenal sangat kikir, sampai-sampai digelari “Abu Dawaniq” (Dawaniq adalah jamak dari Daniq, nama mata uang zaman itu), karena kebiasaannya menghitung harta sampai rincian yang terkecil untuk para pegawainya. Tindakan pertamanya adalah membunuh Abu Muslim, sosok yang paling berjasa dalam drama revolusi Abbasiyah.


Gambar ilustrasi. Sumber: deskgram.net


Nama lengkapnya Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, atau biasa dipanggil Abu Ja’far. Ibunya bernama Salamah al Barbariyah, mantan budak yang dikawini oleh ayahnya. Dia lahir pada tahun 95 H, dan dilantik sebagai khalifah Abbasiyah pada musim haji 136 H, menggantikan saudaranya Abu al Abbas As-Saffah.[1]

Ketika itu, Abu Ja’far yang sebelumnya sudah dinobatkan sebagai putra mahkota oleh As-Saffah, diperintahkan untuk memimpin jamaah haji. Di tengah jalan, kabar menyedihkan datang dari Al-Anbar,[2] ibu kota Dinasti Abbasiyah kala itu – bahwa As-Saffah sudah wafat. Dengan demikian, secara otomatis Abu Ja’far dinobatkan sebagai khalifah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa upacara pelantikannya dilakukan di tempat pemberhentian bernama Zakiyyah dalam perjalanan menuju Mekkah. Secara kebetulan, dalam rombongan haji kali ini terdapat cukup banyak pendukung setia Bani Abbas, termasuk di antaranya adalah Abu Muslim al Khurasani. Mereka semua menyatakan kesetiaannya pada Abu Ja’far, yang kemudian bergelar “Al Manshur”.[3]

Menurut Imam al Suyuthi, Al-Manshur adalah orang yang amat terpandang dari kalangan Bani Abbas dan terkenal kharisma, keberanian, kegigihan tekad, dan pendapat-pendapatnya yang cemerlang. Tapi di sisi lain, dia dikenal kekejamannya, serta anti dengan semua yang bersifat main-main dan senda gurau. Sama dengan As-Saffah, dia dikenal sebagai orator yang ulung dengan ungkapan-ungkapan yang mempesona. Namun kebalikan dari As-Saffah, Al-Manshur dikenal sangat kikir, sampai-sampai digelari “Abu Dawaniq”, karena kebiasaannya menghitung harta sampai rincian yang terkecil untuk para pegawainya.[4] 

Dawaniq adalah jamak dari Daniq, nama mata uang zaman itu. Konon sebelum menjadi khalifah, Al-Manshur dikenal sebagai penuntut ilmu yang rajin. Hingga satu peristiwa terjadi dalam hidupnya, yang mengubah sifat-sifat ini. Suatu ketika, Al-Manshur memasuki sebuah rumah lalu ditangkap oleh penjaga rumah. Si penjaga rumah berkata, “Timbanglah 2 dirham!” Al-Manshur berkata,”Lepaskan aku karena aku adalah keturunan paman Rasulullah.” Si penjaga rumah bersikukuh, “Timbanglah 2 dirham!” Al-Manshur berusaha menawar, “Biarkan aku, sebab aku seorang yang pandai membaca Kitabullah.” Si penjaga rumah terus mendesak, “Timbanglah 2 dirham!” merasa putus asa dengan perintah si penjaga rumah, akhirnya Al-Manshur menimbang 2 dirham lalu dia kembalikan. Sejak itulah dia tergila-gila mengumpulkan harta dengan tamak sampai diberi gelar Abu Dawaniq.[5]

Tak kalah dengan saudaranya As-Saffah, Al Manshur juga sangat kejam memperlakukan lawan-lawannnya. Tapi bila As-Saffah berlaku kejam kepada musuhnya, Al-Manshur bertindak kejam justru kepada bawahannya dan kolega-koleganya sendiri. Ketika pertama kali dilantik, kebijakan pertamanya yang kontroversial adalah membunuh Abu Muslim al Khurasani yang merupakan sosok paling berjasa dalam revolusi Abbasiyah.

Menurut riwayat Tabari, konflik pribadi antara Al-Manshur dengan Abu Muslim sudah terjadi sejak masa pemerintahan As-Saffah. Ketika itu Abu Muslim menjadi orang sangat berpengaruh di Khurasan. Sedemikian sehingga rakyat Khurasan lebih mengenal dan mencintai Abu Muslim daripada khalifah kaum Muslim yang baru. Dalam satu kesempatan, Al-Manshur berkunjung ke Khurasan. Ketika itu posisinya sudah menjadi seorang putra mahkota. Tujuan Al-Manshur ke Khurasan tidak lain untuk memastikan kesetiaan Abu Muslim kepada Bani Abbas, dan Abu Muslim pun dengan senang hati mengukuhkan kesetiaannya pada As-Saffah dan Dinasti Abbasiyah.[6]

Hanya saja, dalam proses kunjungan tersebut, Abu Muslim justru memperlakukan Al-Manshur setara, layaknya koleganya. Bukan sosok penting yang dihormati layaknya seorang putra mahkota. Hal ini kemudian menyebabkan Al-Manshur tersinggung luar biasa. Sampai-sampai ketika dia kembali dari Khurasan, dia memohon pada As-Saffah agar diizinkan untuk membunuhnya. Tapi hal ini mampu dicegah oleh As-Saffah. Disamping karena mengingat jasa Abu Muslim dalam revolusi Abbasiyah, As-Saffah juga mempertimbangkan perngaruh Abu Muslim yang luar biasa di tengah masyarakat. Meski begitu, kecurigaan Bani Abbas terhadap popularitas Abu Muslim kian hari kian besar.[7]  

Pada musim haji tahun 136 H, Abu Ja’far diperintahkan untuk memimpin jamaah haji. Pada saat bersamaan, Abu Muslim bertemu dengan As-Saffah dan memohon izin agar diperbolehkan memimpin jamaah haji. Dia membawa sekitar 8000 pasukan bersama. Tapi ketika permohonan itu sampai, As-Safah sudah terlanjur menjatuhkan pilihannya pada Al-Manshur. Hal ini membuat kecewa Abu Muslim. Karena bagi Abu Muslim, musim haji adalah momentum yang tepat untuk meningkatkan popularitasnya di tengah kaum Muslim.[8] Dan kedudukan sebagai pemimpin jamaah haji, adalah kedudukan paling strategis.

Dan ketika pada akhir tahun 136 H, berita kematian As-Saffah datang Al-Anbar. Dalam wasiatnya, As-Saffah meminta semua orang segera memberikan baiat kepada Al-Manshur. Abu Muslim yang mendengar berita ini, dengan setengah hati memberikan baiatnya pada Al-Manshur.[9] Sebaliknya, Al-Manshur pun merasa tidak yakin dengan kesetiaan Abu Muslim kepadanya. Maka demikianlah, sejak saat itu, hubungan kedua orang terpenting dalam pemerintahan Dinasti Abbasiyah itu bak api dalam sekam. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Imam Al Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, Jakarta, Qisthi Press, 2017, hal. 280

[2] Al-Anbar adalah sebuah daerah kecil di tepina sungai Eufrat. Posisinya sekitar 55 kilometer sebelah barat kota Baghdad sekarang. Tempat ini dipilih oleh As-Saffah sebagai ibu kota pemerintahan Dinasti Abbasiyah segera setelah berhasil revolusi Bani Abbas pada tahun 132 H. Lihat, The History of al-Tabari, Abbasid Authority Affirmed, Volume XXVIII, Translated by Jane Dammen McAuliffe, State University of New York Press, 1995. Hal. 2

[3] Ibid

[4] Lihat, Imam Al Suyuthi, Op Cit, hal 284

[5] Ibid

[6] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hal. 209

[7] Ibid, hal. 210

[8] . Lihat, The History of al-Tabari, Abbasid Authority Affirmed, Volume XXVIII, Op Cit, hal. 2-3

[9] Ibid, hal. 4

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*