Dinasti Abbasiyah (49): Muhammad Al-Amin (6)

in Sejarah

Last updated on May 28th, 2019 07:49 am

Kas negara kosong. Para prajurit enggan berangkat perang dan mengamuk di Baghdad. Salah satu tahanan legendari dibebaskan oleh Al-Amin. Dia berjanji akan membawa pasukan dari Suriah untuk menghadapi pasukan Khurasan. Tapi dalam prosesnya, pasukan itu malah dibajak dan berbalik menyerang khalifah.


Setelah Tahir bin Husein berhasil mengalahkan pasukan Abdul Rahman bin Jabalah Al-Abnawi dan menguasai Hamadan, kepercayaan diri kubu A-Makmun meningkat. Persaingan antara dua saudara ini pun menajam menjadi zero sum game. Di waktu yang hampir bersamaan, Al-Makmun mulai membulatkan tekadnya untuk merebut tahta dengan cara paksa. Dia memerintahkan pada semua anak buahnya agar segara mengambil baiat dari semua wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Serta memerintahkan Tahir bin Husein agar terus melanjutkan ekspedisi militernya dan menaklukkan satu demi satu wilayah di luar Khurasan. Dan arah penaklukkan tidak lain menuju Baghdad.[1]

Di Baghdad, ketika berita kematian Abdul Rahman bin Jabalah Al-Abnawi sampai ke telinga Al-Amin, ketegangan meningkat. Al-Amin memanggil sejumlah jenderal yang lain, tapi semua menolak untuk berangkat bertempur kecuali dibayar mahal seperti pasukan-pasukan sebelumnya. Karena kas negara ketika itu mulai menipis, Al-Amin menghukum para jenderalnya yang menolak tersebut dengan menjebloskan mereka ke penjara. Hingga datang salah satu jenderal bernama Ahmad bin Mizyat. Dia menyanggupi perintah Al-Amin untuk menyongsong pasukan Tahir bin Husein yang kian mendekat, tapi dengan satu syarat; bahwa semua jenderal yang ditahan agar dikeluarkan dan ikut serta bersamanya. Permintaan itupun di kabulkan.[2]

Tak lama setelah itu, hampir seluruh divisi pasukan Baghdad berkumpul di tengah kota untuk menyongsong pasukan dari Khurasan yang dipimpin oleh Tahir bin Husein. Akan tetapi, di tengah persiapan tersebut muncul rumor yang mengatakan bahwa kas negara kosong. Mendengar rumor ini, para prajurit yang akan berangkat itu pun mulai sangsi bahwa mereka akan dibayar. Kekacauan pun terjadi di Baghdad. Para prajurit yang sedianya akan berangkat berperang, justru merampok para penduduk dan mengakibatkan situasi anarki.[3]

Dalam kondisi seperti ini, muncullah tokoh bernama Abdul Malik bin Saleh yang memberikan nasehat pada Al-Amin. Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, Abdul Malik bin Saleh mulanya adalah mentor Al-Qasim. Ketika Al-Qasim di daulat menjadi putra mahkota ketiga Abbasiyah setelah Al-Makmun, dia diberi kepercayaan oleh Harun Al-Rasyid untuk menjadi gubernur Suriah hingga Mesir. Tapi disebabkan ketika itu usia Al-Qasim masih sangat muda, maka Abdul Malik bin Saleh yang secara de facto melaksanakan tugas kegubernuran di sana. Tapi tak lama setelah itu dia dituduh melakukan makar pada Harun Al-Rasyid, sehingga di jebloskan ke penjara. [4]

Kini, ketika terjadi kekacauan di Baghdad, Abdul Malik bin Saleh menyatakan keberpihakannya pada Al-Amin. Dia dibebaskan dari penjara, dan menasehati sang khalifah agar menggunakan pasukan dari Suriah untuk melawan orang-orang Khurasan. Dia berkata, bahwa “orang-orang Baghdad sejak awal tidak bisa diandalkan untuk menghadapi pasukan Khurasan. Hanya pasukan Suriah yang mampu menghadapi mereka.” Saran ini diterima oleh Al-Amin. Abdul Malik bin Saleh seketika itu juga ditetapkan menjadi gubernur Suriah. Di segera diperintahkan agar berangkat ke Suriah dan mengorganisir pasukan di sana.[5]

Maka berangkatlah Abdul Malik bin Saleh ke Suriah pada tahun 196 H. Dalam perjalanan tersebut dia didampingi oleh pasukan dari Abna. Dan di dalam pasukan tersebut ada juga Husein bin Ali, yang tidak lain adalah putra dari Ali bin Isa bin Mahan yang terbunuh dala pertempuran menghadapi Tahir bin Husein di Rayy. Sesampainya di Suriah, Abdul Malik bin Saleh segera membangun kembali kekuatan lamanya, yang terdiri dari faksi-faksi tradisonal di Suriah. Mereka ini lebih dikenal sebagai kelompok Zawaqil.[6]

Dalam waktu singkat orang-orang Zawaqil tersebut berhasil dikumpulkan dan menyatakan kesetiaan mereka pada Al-Amin. Abdul Malik pun segera membuat perencanaan ekspedisi militer melawan pasukan Al-Makmun. Hanya saja, ketika semua prajurit sudah dikumpulkan, salah satu dari orang Abna melihat pencuri kudanya ada di antara kelompok orang-orang Zawaqil. Awalnya terjadi keributan kecil di antara mereka. Tapi keributan itu segera meledak menjadi perang di antara mereka, kelompok Abna melawan kelompok Zawaqil.[7]

Situasi tiba-tiba menjadi makin kompleks, ketika Abdul Malik jatuh sakit dan Husein bin Ali bin Isa bin Mahan justru memihak pada kelompok Abna. Perang di antara mereka pun makin berkobar. Setelah beberapa hari bertempur, akhirnya kemenangan diraih oleh kelompok Abna, dan kelompok Zawaqil berhasil dijinakkan. Pada saat yang hampir bersamaan, Abdul Malik dikabarkan meninggal akibat sakitnya. Pasukan yang tadi bertikai pun akhirnya membaiat Husein bin Ali bin Isa bin Mahan sebagai pemimpin mereka. Kini pasukan Suriah sudah bersatu dan siap menuju Baghdad.[8]

Tapi angin politik segera berubah. Di tengah situasi perang saudara yang sedang berkecamuk, Husein bin Ali bin Isa bin Mahan melihat adanya kesempatan baginya untuk merebut tahta di Baghdad. Dia pun berderap bersama pasukannya ke Baghdad, tapi tidak untuk mengabdi pada Al-Amin, melainkan untuk menaklukkan Baghdad. (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh, Darussalam, 2000), hal. 384

[2] Ibid, hal. 386

[3] Ibid, hal. 387

[4] Uraian mengenai Abdul Malik bin Saleh, bisa membaca edisi 38 dan 40 serial Dinasti Abbasiyah dengan mengakses link berikut: https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-40-harun-al-rasyid-11/

[5] Lihat, The History of al-Tabari (Ta’rikh al-rusul wa’I-muluk), VOLUME XXXI, The War between Brothers, translated and annotated by Michael Fishbein, (USA: State University of New York Press, 1992), hal. 102-103

[6] Ibid, hal. 106

[7] Ibid, hal. 107

[8] Ibid, hal. 108

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*