Dinasti Abbasiyah (82): Abu Ishaq Al-Muktasim (13)

in Sejarah

Last updated on August 27th, 2019 09:20 am

Pada tahun 223 H/ 837 M, Al-Muktasim memimpin agresi ke wilayah Bizantium. Menurut Imam As-Suyuthi, serangan ini menimbulkan kerugian amat besar pada pihak Romawi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah dilakukan oleh khalifah manapun.

Gambar ilustrasi. Sumber: pinterest.co.uk

Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada era Al-Muktasim adalah penyerangan Abbasiyah ke wilayah Bizantium. Menurut Imam As-Suyuthi, serangan ini menimbulkan kerugian amat besar pada pihak Romawi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah dilakukan oleh khalifah manapun.[1]

Tentang awal mula terjadinya agresi ini, sebenarnya masih terkait dengan episode penaklukan Babak Khurmi oleh Al-Afshin. Ketika Babak sudah merasa terdesak oleh serangan Al-Afshin, dan dilhatnya tidak ada lagi peluang untuk membalikan keadaan, Babak menulis surat secara pribadi pada Kaisar Bizantium bernama Theophilus.

Sebagaimana sudah dikisahkan pada edisi terdahulu, bukan pertama kalinya Babak meminta bantuan pada Theophilus. Tapi sudah sejak masa pemerintahan Al-Makmun. Persis seperti ini, ketika pasukan Babak Khurmi sudah terdesak oleh serangan Abbasiyah, dia menulis surat pada Theophilus, dan meminta agar Bizantium mengalihkan perhatian Al-Makmun. Maka Theophilus pun menyerang wilayah Abbasiyah di perbatasan, sehingga membuat Al-Makmun marah, dan memutuskan untuk memimpin sendiri ekspedisi militernya.[2]

Ketika itu, Al-Muktasim sendiri yang menjadi jenderal perang Al-Makmun, sehingga dia sangat mengetahui karakter Theophilus. Setelah mengalami kekalahan, Kaisar Romawi itu sempat menyerah dan diampuni Al-Makmun. Tapi tak lama setelah itu, ketika Al-Makmun beranjak pulang ke Damaskus, Theophilus kembali menyerang wilayah yang sebelumnya sudah diduduki oleh pasukan Abbasiyah. Menurut Tabari, tak kurang dari 1.600 orang penduduk (di Tarsus dan Massisah) dibunuh oleh pasukan Bizantium. Hal ini memaksa Al-Makmun kembali menyerang Bizantium hingga membuat Theophilus menyerah sepenuhnya.[3]

Konflik antara Al-Makmun dengan Theophilus, pada akhirnya berujung perdamaian. Meski begitu, pada pokok persoalannya sendiri, sebenarnya strategi Babak dan Theophilus berhasil. Babak selamat, demikian juga dengan Theophilus. Babak berhasil membangun kembali kekuatan mereka dari puing-puing, hingga mampu kembali menantang kekuatan Abbasiyah. Adapun Theophilus – ketika Al-Muktasim naik tahta menggantikan Al-Makmun dan memutuskan untuk menarik pasukannya dari wilayah Asia Kecil – dia berhasil kembali menancapkan pengaruhnya di wilayah perbatasan dengan Abbasiyah.[4]

Maka demikianlah, ketika beberapa tahun kemudian kondisi Babak kembali terkunci oleh serangan Abbasiyah yang dipimpin oleh Al-Afshin, dia kembali mengirim surat pada Theophilus. Dalam suratnya Babak menginformasikan, bahwa saat ini raja Arab sedang mengepung dirinya. Semua eleman pasukan dibawanya, hingga tukang masak dan pekerja. “Jadi, bila anda berencana ingin menyerang wilayah Abbasiyah, tak akan ada satupun yang akan menghalangi niat anda.” Demikian tulis Babak.[5]

Menurut Tabari, Babak sengaja menulis surat demikian, dengan harapan Theophilus akan kembali terpancing. Sehingga sebagian kesulitan yang ketika itu dideritanya agak berkurang. Karena Al-Muktasim pasti akan mengalokasikan sebagian tentaranya untuk meladeni Theophilus.[6]

Tapi agaknya, surat yang dikirim Babak Khurmi datang terlambat. Sebab barulah di akhir tahun 222 H/ 837 M, atau tak lama setelah Benteng Al-Badhdh dihancurkan, Theophilus melancarkan sejumlah serangan ke wilayah Abbasiyah. Dikatakan Tabari, bawah ketika itu Theophilus membawa lebih dari sekitar 100.000 pasukan, yang sekitar 70.000 di antaranya adalah personil pasukan asing (bukan tentara Bizantium).[7]

Dengan kekuatan sebesar ini, Theophilus berhasil merangsek hingga ke wilayah Zibatrah dan Malafyah (sekarang berada di sekitar wilayah Suriah). Di kedua wilayah tersebut, pasukan Bizantium melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap penduduknya yang umumnya beragama Islam. Dikisahkan oleh Tabari, tiap laki-laki yang tertangkap akan ditetesi matanya dengan besi panas, kemudian dipotong hitung dan telinganya. Adapun kaum perempuan dan anak-anak, mereka diperbudak, bahkan ada sebagian yang dibakar. [8]

Meski begitu, sebagian dari masyarakat Zibatrah ada yang berhasil lolos dan berlari hingga mencapai Samarra. Di sana mereka mengadukan semua yang terjadi pada Al-Muktasim. Ketika mendengar berita ini, Al-Muktasim murka. Dia langsung memerintahkan pasukannya agar bersiap.

Tabari mengisahkan, sesaat setelah mendapat berita tersebut, Al-Muktasim langsung naik ke atas kuda tunggangannya dengan segenap perlengkapan perangnya. Untungnya ada yang memperingatkan agar bersabar sedikit. Sebab yang dihadapi sekarang ini adalah kekuatan sangat besar. Butuh perencanaan yang matang terlebih dahulu sebelum menyerangnya. Sehingga untuk sementara, amarah Al-Muktasim bisa direda.[9]

Al-Muktasim kemudian mengumpulkan seluruh tokoh di Baghdad dan Samarra untuk membicarakan rencana penyerangan ke Bizantium. Dia juga memanggil para hakim dan ulama untuk menyimak diskusi di dalam majelis tersebut. Hingga akhirnya, rencana pun matang.

Tapi sayangnya, ketika persiapan serangan balasan sedang dilakukan, tersiar kabar bahwa pasukan Bizantium sudah pergi dari Zibatrah dan kembali ke wilayah mereka. Dengan sedikit kecewa, Al-Muktasim kemudian memerintahkan agar para pengungsi dipulangkan terlebih dahulu ke tempat asal mereka.[10]

Tapi setelah suasana mulai tenang, Al-Muktasim mulai bertanya pada penasehatnya, “Tempat mana di Bizantium yang paling sulit ditembus dan paling kuat sistem pengamanannya?” ada yang menjawab, “Ammuriyyah![11] Tak ada satupun Muslim yang pernah menyentuh wilayah tersebut sejak datangnya Islam. Itulah jantung, dan inti dunia Kristen. Dalam pandangan masyarakat Kristen, tempat itu bahkan lebih berharga dari Konstantinopel.”[12] (AL)

Bersambung…

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Lihat, Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’; Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Qisthi Press, 2017), hal. 356

[2] Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-62-abdullah-al-makmun-11/

[3] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXII, The Reunification of The `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C.E. Bosworth, (THE UNIVERSITY OF MANCHESTER: State University of New York Press, 1987), hal. 187

[4] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 93

[5] Dalam versi yang agak berbeda, dikatakan bahwa Babak bahkan menyatakan bersedia pindah agama menjadi Kristen bila Theophius membantunya. Namun informasi soal ini masih diperdebatkan. Lihat, Ibid, hal. 94

[6] Ibid

[7] Ibid, hal. 95

[8]Ibid

[9] Ibid

[10] Ibid, hal. 96

[11] Wilayah ini terletak di pusat Anatolia (Turki sekarang), dan sejak lama sudah menjadi salah satu pusat peradaban bangsa Romawi.

[12] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 97

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*