Al-Muktasim membangun satu penjara khusus yang bernama al-Luklukah. Bangunan penjara ini berupa sebuah menara yang tinggi. Di puncaknya hanya tersedia satu ruangan yang hanya cukup untuk duduk tahanan. Di sinilah Al-Afshin di tahan.
Pada pertengahan tahun 225 H, pengadilan Al-Afshin pun di mulai. Yang menjadi hakim pada waktu itu adalah Ahmad bin Abi Duwad, dan yang bertindak sebagai penuntut umum tidak lain adalah perdana Menteri Abbasiyah waktu itu, Muhammad bin Abd al-Malik al-Zayyat. Hadir juga pada waktu itu, Ishaq bin Ibrahim bin Musab yang pada era Al-Makmun menjadi hakim kasus Mihnah atau pengadilan inkuisisi untuk menguji pendapat para ulama tentang isu kemahlukan Alquran.[1]
Pengadilan ini juga disaksikan oleh hampir semua petinggi keluarga Abbas yang umumnya adalah anak keturunan Al-Manshur. Mereka tak hentinya menghujat dan memprovokasi Al-Muktasim agar segera menjatuhi hukuman pada Al-Afshin. C. E. Bosworth, penerjemah buku Al-Tabari menjelaskan dalam catatan kakinya, bahwa pengadilan itu seakan menjadi ajang bagi keluarga Abbas yang keturunan Arab untuk mengekspresikan kekesalan mereka pada orang-orang Turki yang dalam waktu cepat berhasil mengambil alih sejumlah posisi penting dalam struktur kekhalifahan Abbasiyah. Itu sebabnya mereka menghujat dan memaki Al-Afshin yang dianggap sebagai representasi paling ideal orang-orang Turki tersebut.[2]
Meski begitu, Al-Muktasim tetap menjaga proses persidangan ini berlangsung adil, dengan metodologi penuntutan yang rapih. Satu persatu bukti diajukan, dan sejumlah saksi pun mengungkapkan kesaksiannya. Tapi Al-Afshin mampu berkelit dengan berbagai argumennya.
Seperti tentang kitab-kitab yang biasa oleh para penganut agama Zoroaster yang ditemukan dalam Istananya. Terdapat setidaknya dua kitab yang diajukan ke pengadilan waktu itu, yaitu Kitab Kalilah wa-Dimnah yang isinya berupa Fabel dalam bahasa Sangsekerta Panchatantr; serta Kitab Mazdak, yang berisi tentang adab. Tapi dalam pengakuan Al-Afshin di pengadilan, kedua kitab tersebut adalah warisan dari ayahnya yang memang penganut agama Zoroaster. Tapi kitab-kitab tersebut hanya menjadi bahan bacaan baginya sebagai panduan etik biasa, bukan sebagai kitab suci.[3]
Demikianlah, Al-Afshin mampu berkali-kali berkelit. Dan para penuntut pun tanpa lelah terus memburu fakta tentang jati diri Al-Afshin. Tak ayal persidangan itupun berlangsung cukup lama dan berlarut-larut. Hingga akhirnya, Al-Muktasim mengajukan saksi kunci yaitu Mazyar bin Qarin.
Di depan persidangan tersebut, Mazyar mengungkapkan secara terang-terangan siapa sebenarnya Al-Afshin, bahkan tentang kemunafikannya. Bahwa dia adalah penganut agama Zoroaster yang taat. Pada saat itu, Al-Afshin masih berusaha berkelit. Namun Al-Muktasim kemudian mengeluarkan surat pribadi yang dikirim Al-Afshin kepada Mazyar – yang karena surat tersebut – Mazyar memberanikan diri bangkit melakukan revolusi.[4]
Sebagaimana sudah dibahas pada edisi terdahulu, bahwa dalam surat tersebut, Al-Afshin sendiri mengakui dirinya sebagai penganut agama Zoroaster dan ingin mendirikan kembali dinasti agama pagan di kampung halamannya. Dengan adanya fakta ini, terang benderanglah semua jati diri Al-Afshin.[5]
Meski sampai saat itu Al-Afshin masih berkelit dan menganggap bahwa dirinya tak bermaksud melakukan pemberontakan, tapi hukuman baginya sudah layak dijatuhkan. Ketika dianggap semua bukti sudah cukup dan meyakinkan, Ahmad bin Abi Duwad langsung memanggil Bugha Al-Kabir untuk segera menyeret Al-Afshin keluar dari pengadilan dan menjebloskannya kembali ke penjara.
Dikisahkan Tabari, ketika memanggil nama Bugha, Ahmad bin Abi Duwad memuji-muji terlebih dahulu salah satu komandan Turki tersebut. Ketika Bugha mendekati Al-Afshin, dia langsung menarik leher jenderal perang Abbasiyah tersebut dengan kasar, lalu berkata pada Al-Afshin, “Aku sudah lama menunggu agar kamu diadili dan dihukum seperti ini.”[6]
Pada tahun 226 H, berdasarkan hasil persidangan, Mazyar bin Qarin di hukum cambuk sebanyak 400 kali. Tapi dikarenakan dia tidak kuat, akhirnya Mazyar meninggal dunia ketika menjalani hukuman tersebut. Adapun Al-Afshin, dia mampu melampaui hukuman 400 cambukan. Setelah itu dia dijebloskan ke dalam sebuah penjara khusus.[7]
Di Samarra, selain membangun komplek istana yang megah, serta sejumlah perkantoran, Al-Muktasim juga membangun sebuah penjara yang bernama Al-Jawsaq. Penjara ini didesign memang khusus untuk memuat tahanan khalifah. Di dalam Al-Jawsaq, Al-Muktasim juga membangun satu ruangan penjara khusus yang bernama al-Luklukah yang artinya Mutiara. Di dalam sel inilah Al-Afshin di tahan.[8]
Di gambarkan oleh Al-Tabari, penjara al-Luklukah adalah sebuah Menara yang tinggi. Di puncaknya hanya tersedia satu ruangan yang hanya cukup untuk duduk Al-Afshin. Para penjaga terus berjalan sampai jarak tertentu di bawah kaki Menara tersebut sambil terus memantau kondisi tahanan. Sejak pemenjaraan Al-Afshin, penjara al-Luklukah kemudian lebih dikenal dengan nama penjara Al-Afshin.[9]
Dikisahkan oleh Tabari, bahwa sejak masuk penjara tersebut, Al-Afshin hanya diberi sepotong kecil roti untuk dia makan setiap hari.[10] Hingga satu hari, Al-Muktasim mengutus putra mahkotanya, bernama Harun (Al-Watsiq) untuk mengantarkan makanan kepadanya. Namun Al-Afshin menolaknya, dengan alasan bahwa tidak ada buah-buahan yang diinginkannya. Lalu datang lagi utusan Al-Muktasim yang bernama Hamdun bin Ismail. Dia membawa buah-buahan yang lebih lengkap. Tapi Al-Afshin tetap menolak memakannya.[11]
Diriwayatkan oleh Hamdun bin Ismail sendiri, bahwa ketika dia bertemu Al-Afshin, mereka sempat berdialog. Dalam kesempatan itu, Al-Afshin masih bersikukuh bahwa dirinya adalah orang yang setia pada Al-Muktasim. Dia memberi perumpamaan, “bahwa orang-orang (keluarga Abbas) menganggap bahwa Al-Muktasim sedang memelihara anak singa ketika dia memungut ku. Tapi ku katakan, bahwa Al-Muktasim sedang memeliharan seekor lembu yang baik dan berguna.”[12] Tak lupa dia juga mengirimkan pesan khusus pada Al-Muktasim melalui Hamdun yang isinya sebagai berikut;
“…, Aku mengadukan pada Tuhan tentang nasib buruk yang menimpa ku. Engkau (Al-Muktasim), telah memilih ku dan mengangkat derajat ku ke tingkat yang mulia. Kau adalah tuan dan junjungan ku. Aku selalu memohon pada Tuhan agar Dia (melunakkan hati mu) dan membuatnya condong kepada ku.”[13]
Setelah menyampaikan pesan tersebut, Hamdun bin Ismail undur diri. Tak lama kemudian, Al-Afshin wafat di dalam penjaranya.
Al-Muktasim memerintahkan agar mayar Al-Afshin ditunjukkan ke putranya Hasan bin Al-Afshin. Mayat tersebut dilempar dari atas penjara ke bawah. Kemudian para prajurit mencabuti jenggot dan rambutnya. Lalu Al-Muktasim memerintahkan agar jenazah tersebut diantarkan ke rumah Aytakh.[14] (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Storm and Stress along the Northern Frontiers of the `Abbasid Caliphate, translated and annotated by C. E. Bosworth, (New York: State University of New York Press, 1991), hal. 186
[2] Lihat. Ibid
[3] Lihat, Ibid, hal. 187-193
[4] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, (Riyadh: Darussalam, 2000), hal. 454
[5] Lihat, https://ganaislamika.com/dinasti-abbasiyah-88-abu-ishaq-al-muktasim-19/
[6] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 192
[7] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit, hal. 455
[8] Lihat, The History of al-Tabari (Tarikh al-rusul wa l-muluk), VOLUME XXXIII, Op Cit, hal. 185
[9] Ibid
[10] Ibid, hal. 199
[11] Ibid, hal. 196
[12] Ibid, hal. 197-198
[13] Ibid
[14] Ibid