“Modal terkuat dimiliki Dinasti Fatimiyah adalah legitimasinya atas hak Sayidah Fatimah binti Rasulullah Saw. Klaim ini nyaris tidak bisa ditandingi oleh legitimasi yang dimiliki oleh Dinasti Abbasiyah. Terlebih ketika itu, Dinasti yang sudah berumur lebih dari dua abad itu sudah memasuki masa-masa dekadensi yang parah.”
—Ο—
Khalifah pertama Dinasti Fatimiyah bernama Abu Muhammad ‘Abdullah bergelar Ubaidullah dan Al Mahdi atau pemimpin yang dijanjikan. Sehingga banyak sejarawan yang lebih mengenalnya dengan sebutan Ubaidullah Al Mahdi. Ia menyandarkan basis kekuasaannya melalui klaim sebagai ahli waris sah dari Sayidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah Saw. Akan tetapi, terkait asal-usulnya, sebenarnya masih banyak pihak yang tidak menyepakati bahwa ia adalah keturuan Fatimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Bahkan hingga hari ini, tema yang mempertanyakan tentang keotentikan silsilah Ubaidullah Al Mahdi, masih kerap kita temui dalam literatur.
Salah satu yang membantah keraguan terhadap keotentikan silsilah Ubaidullah Al Mahdi adalah Ibn Khaldun, seorang sejarawan Muslim terkemuka. Dalam Muqaddimah beliau menegaskan bahwa klaim Ubaidullah Al Mahdi sebagai keturunan Fatimah Az Zahra dan Ali bin Abi Thalib sangat otentik dan tidak bisa diragukan. Upaya pengaburan silsilah Ubaidullah semata-mata disebabkan oleh persaingan politik antara Dinasti Abbasiyah dengan Fatimiyah. Para sejarawan yang memutar balikkan fakta ini adalah orang-orang yang berharap mendapat keuntungan dari penguasa Abbasiyah.[1]
Syed Ameer Ali menyatakan bahwa modal terkuat berdirinya Dinasti Fatimiyah adalah legitimasinya atas hak Sayidah Fatimah binti Rasulullah Saw. Klaim ini nyaris tidak bisa ditandingi oleh legitimasi yang dimiliki oleh Dinasti Abbasiyah. Terlebih ketika itu, Dinasti yang sudah berumur lebih dari dua abad itu sudah memasuki masa-masa dekadensi yang parah.[2] Maka sangat wajar bila dalam persaingan yang ketat dua dinasti raksasa ini, masing-masing menyasar aspek paling prinsip dari keduanya, yaitu legitimasi mereka di tengah-tengah kaum Muslimin.
Sebagaimana kita ketahui, persaingan antara dua Dinasti tersebut berakhir dengan kemenangan Dinasti Abbasiyah. Sehingga berlakulah apa yang dikatakan Dan Brown, “History is always written by the winners.”[3] Beberapa isu yang berkembang tentang Ubaidullah Al Mahdi bahwa ia bukan keturunan Rasulullah Saw. Tidak sampai di sana, Ubaidullah disebutkan adalah keturunan Yahudi atau orang-orang Magi Persia. Persoalannya kemudian, tuduhan-tuduhan ini dilegitimasi oleh para ahli hukum Abbasiyah, sehingga menjadi acuan bagi mereka untuk menerapkan kebijakan-kebijakan politik untuk menangkal pengaruh Dinasti Fatimiyah yang ketika itu sedang menyebar sangat luas, bahkan sudah merangsek sampai ke Tanah Suci, Mekkah dan Madinah.[4]
Dalam kerangka ini, menurut Ibn Khaldun, terdapat beberapa alasan mengapa orang meragukan Dinasti Fatimiyah sebagai keturunan Ali. Salah satunya, karena keturunan Ali sering dimata-matai dan diburu oleh para penguasa tirani, sehingga mereka sering menyembunyikan jati diri mereka. Identitas Muhammad bin Ismail yang bergelar Al Maktum (yang tersembunyi) adalah akar keraguan tersebut. Sebagaimana sudah diulas pada seri sebelumnya, bahwa Muhammad bin Ismail disembunyikan untuk menghindari ancaman persekusi dari rezim Abbasiyah. Akan tetapi bagi para pengikutnya, Al Maktum sama sekali tidak tersembunyi. Sebaliknya, keotentikannya dan juga keturunannya sangat terpelihara. Ini sebabnya pengikut Ismailiyah tetap banyak, bahkan semakin lama semakin membesar hingga masa kebangkitan Ubaidullah Al Mahdi.
Menurut Ibn Khaldun, mereka yang berharap mendapat keuntungan dari penguasa Abbasiyah kemudian menyatakan bahwa Dinasti Fatimiyah bukan berasal dari keturunan Ali. Klaim ini diterima oleh Abbasiyah seolah-olah untuk mengonpensasi kegagalan mereka menahan Kutamah Berber, pengikut setia dari Fatimiyah yang disaksikan oleh banyak sarjana Sunni dan Syiah. Menurut Syed Farid Alatas, pernyataan itu pertama kali muncul pada tahun 402 H/1011 M, pada masa pemerintahan al-Qadir. Kesaksian dari para saksi, yang merupakan pendukung utama Abbasiyah, hanya berdasarkan kabar angin dan apa yang dipercaya orang-orang Baghdad. Ibn Khaldun mencatat bahwa demi kepentingan diri, pemerintah Abbasiyah sengaja mendistorsi garis keturunan Ali pada Dinasti Fatimiyah. Upaya penyelewengan itu meningkat karena pemerintahan Abbasiyah dijalankan berlandaskan nilai-nilai ketidak-adilan (al-ta’assuf), pilih-kasih (al-mil), kebodohan (al-afan) dan hal-hal sepele (al-safsafah).[5]
Menurut Syed Ameer Ali, hampir semua catatan sejarah yang kita miliki tentang Dinasti Fatimiyah bersumber dari pihak-pihak yang memusuhinya. Ini sebabnya tak terlalu banyak yang bisa kita ceritakan tentang aspek-aspek prinsipil yang terjadi dan berkembang selama masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah, seperti; doktrin yang digunakan, visi politik, serta landasan nilai yang menjadi acuan lahirnya kebijakan para khalifah Dinasti Fatimiyah.[6] Mengingat sebagian besar diantaranya masih diliputi oleh kontroversi.
Oleh sebab itu, untuk menghindari polemik yang tidak perlu, dalam serial tulisan tentang Dinasti Fatimiyah berikutnya, kita hanya akan dibahas aspek-aspek sejarah yang bisa diobservasi secara objektif. Meski banyak nada miring terkait Dinasti Fatimiyah, tapi bagaimanapun, kehadirannya dalam sejarah Islam, telah memberikan konstribusi yang tidak sedikit bagi perkembangan kebudayan Islam hingga hari ini. Eamonn Gaeron bahkan menyebut kebangkitan Dinasti Fatimiyah sebagai salah satu titik balik yang mengubah landscape sejarah Timur Tengah, dan kaum Muslimin. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat, Syed Farid Alatas, “Ibn Khaldun; Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”, Bandung, Mizan, 2013, hal. 50
[2] Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, Yogyakarta, Navila, 2008, hal. 372
[3] “History is always written by the winners. When two cultures clash, the loser is obliterated, and the winner writes the history books-books which glorify their own cause and disparage the conquered foe. As Napoleon once said, ‘What is history, but a fable agreed upon?” Lihat, https://www.goodreads.com/quotes/148791-history-is-always-written-by-the-winners-when-two-cultures, diakses 15 April 2018
[4] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, hal. 371
[5] Lihat, Syed Farid Alatas, Op Cit, hal. 51
[6] Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, hal. 370