Dinasti Umayyah (1); Dinasti Pertama Dalam Sejarah Islam

in Sejarah

Last updated on May 30th, 2018 06:01 am

Berdirinya dinasti Umayyah pada tahun 661 M, menandai sebuah titik balik yang krusial di fajar sejarah peradaban Islam. Yaitu terbentuknya cetak biru sistem politik Islam, dari sebelumnya berpegang pada prinsip-prinsip ketaqwaan, beralih (kembali) menjadi sistem ashobiyah, pertalian darah dan kesukuan. Semua ini dilakukan hanya sejarak tiga dasawarsa dari wafatnya Rasulullah SAW (632M).”

—Ο—

 

Mahfud MD, seorang Ahli hukum tata Negara, dalam sebuah artikelnya di media massa nasional pernah menulis bahwa, “Di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.”[1]

Ditinjau secara historis, setelah Rasulullah SAW, hingga masa Khulafa Rasyidin, istilah khalifah dikenal luas sebagai identitas individu pemimpin. Tidak ada mekanisme yang baku bagaimana memilih pemimpin ini, apalagi sampai diinstitusionalisasi menjadi sistem kenegaraan.

Menurut Nadirsyah Hosen, setiap khalifah sejak masa Rasullullah SAW dipilih dengan cara berbeda. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, beliau tak menunjuk pengganti (khalifah) secara spesifik—setidaknya menurut pemahaman Sunni. Karena itu, para Sahabat berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah untuk menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti beliau. Abu Bakar menunjuk Umar ibn al-Khatthab. Mekanisme suksesi kepemimpinan berubah ketika Umar membentuk dewan khusus untuk memilih penggantinya, yang nantinya akan jatuh kepada Utsman ibn Affan. Namun khalifah ketiga ini tidak membentuk dewan pemilih seperti pendahulunya, sehingga para Sahabat dan penduduk Madinahlah yang bergerak untuk membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme suksesi tidak diatur secara baku dalam ajaran Islam.[2]

Namun semua ini berubah ketika Muawiyah yang merupakan khalifah pertama Dinasti Umayyah, mengangkat Yazid, putranya yang diragukan kompetensinya untuk menggantikan posisi khalifah. Yazid bin Muawiyah jelas bukan manusia terbaik pada masanya. Hingga tidak ada satupun klaim bagi Muawiyah untuk mewariskan kursi kepemimpinan selain dengan alasan pertalian darah. Cara ini kemudian menjadi satu standar baku mekanisme pewarisan tahta di sistem pemerintahan bani Umayyah hingga berakhir pada tahun 750 M. Persoalannya cara ini terus diadosi oleh semua sistem pemerintahan Islam lain yang lahir setelahnya, mulai dari Abasiyyah, Fatimiyah, Saljuk, Mamluk, hingga yang terakhir Ottoman di Turki. Dari sinilah, konsep khalifah yang semula merupakan konsep individual, mengalami pembiasan dan bertransformasi menjadi konsep struktural-dinasti.

Hingga sekarang konsep khalifah sebagai sistem politik ini masih menjadi perdebatan baik di kalangan ulama dan para pemimpin politik di berbagai negara Muslim. Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud untuk menyinggung apalagi turut larut dalam perdebatan tersebut. Tulisan ini hanya bermaksud menulis sejarah Dinasti Umayyah sebagai dinasti pertama dalam sejarah Islam. Disamping itu, selama 90 tahun berdirinya, ekspansi dan wilayah kekuasaan kaum Muslimin meningkat luar biasa cepat hingga ke Afrika Utara dan Eropa. Bagaimanapun, Dinasti Umayyah telah meninggalkan jejak besar bagi berdirinya sistem peradaban Islam selanjutnya.

Memilih Damaskus

Dinasti Umayyah memilih Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Pilihan ini pada awalnya menuai protes dari banyak kalangan kaum Muslimin. Tapi tempat ini dipilih bukan tanpa alasan. Setidaknya ada tiga alasan mengapa Muawiyah memilih Damaskus sebagai ibu kota, yang jaraknya sekitar 650 Mil dari pusat peradaban Islam waktu itu di Madinah.

Pertama, karena alasan prestige dan pengaruh dengan bani Hasyim. Hal ini diungkapkan oleh Eamon Gaeronn dalam bukunya “Turning Point on Middle East History”. Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama terjadi persaingan gengsi antara bani Umayyah dengan bani Hasyim – setidaknya bagi bani Umayyah – dan ini berlangsung terus menerus hingga masa Muawiyah. Ketika Rasulullah SAW menaklukkan Mekkah, bani Umayyah ketika itu dipimpin oleh Abu Sufyan yang tidak lain ayah dari Muawiyah. Mereka masuk Islam begitu ketika cahaya Islam sudah sangat terang bederang dan tidak mungkin dipadamkan lagi.[3]

Sejak itu, sudah mustahil bagi Muawiyah dan Abu Sufyan untuk mengembalikan prestige bani Umayyah ke posisinya semula, terlebih di tengah-tengah kaum Muslimin yang begitu menjunjung tinggi Nabi mereka. Oleh sebab itu, menancapkan kekuasaan di Mekkah dan Madinah bagi mereka sama halnya dengan mendirikan benang basah. Di sisi lain, memimpin di tengah-tengah kaum Muslimin bukanlah perkara mudah. Akan selalu datang kritik dan kecaman bila mereka memimpin tidak di atas garis kebenaran. Dan ini tentu saja tidak akan kondusif bagi Muawiyah yang berniat untuk mendirikan sebuah imperuim Umayyah yang rencananya akan diwariskan secara turun temurun.

Kedua, karena alasan geopolitik dan geostrategis. Damaskus terletak di persimpangan dua peradaban besar, yaitu Persia dan Romawi. Sebelum ditaklukkan oleh Islam, wilayah ini merupakan bagian dari kekuasaan Romawi. Meski sebagaian besar masyarakatnya waktu itu beragama Kristen, namun berbagai infrastruktur negara adidaya sudah terinstall di tempat ini. Dan yang terpenting, masyarakatnya sangat kosmopolitan dan beragam. Dengan takluknya Romawi dan Persia oleh pasukan kaum Muslimin pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Islam langsung mantap posisi politik di kawasan ini. Dan Damaskus adalah wilayah yang paling strategis untuk menjangkar kedua sisa kekuatan adidaya dunia ini. Kelak, setelah pondasi kekuasaan dan legitimasinya rampung dibangun, Muawiyah dengan cekatan mampu mengembangkan areal kekuasannya hingga ke Afrika Utara sampai ke Maroko dan Andalusia di Spanyol.[4]

Ketiga, karena wilayah ini memang sudah sangat dikuasai oleh Muawiyah. Sebelum menjadi Khalifah, Muawiyah adalah gubernur di Damaskus. Dalam rentang waktu tersebut, dia sudah berhasil membangun kekuatan militer dan pondasi dukungan masyarakat terhadap kepemimpinannya. Dengan kekuatan inilah ia berani menantang kekuatan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam perang Shiffin. Disamping itu, tempat ini memang strategis secara ekonomi. Damaskus pada masa itu merupakan kota pelabuhan yang penting. Disinilah titik akhir sebelah barat jalur ekonomi purba yang dikenal dengan “jalur sutra”. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (2); Asal Usul

Catatan kaki:

[1] Lihat, Mahfud MD, Menolak Ide Khalifah, Kompas edisi 26 Mei 2017, hal.  6

[2] Lihat, http://nadirhosen.net/kehidupan/negara/tiga-khilaf-dalam-memahami-khilafah, diakses 20 Januari 2018

[3] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 29-30

[4] Lihat, Philips K. Hitti, “History of The Arabs; From The Earliest Time To The Present”, London, Macmillan, 1970, Hal. 194

5 Comments

    • Hello there, based on your language, I assume that you’re not Indonesian. Unfortunately all of our article is in Indonesian language, therefore we couldn’t fullfill your request.

    • Hello there, based on your language, I assume that you’re not Indonesian. Unfortunately all of our article is in Indonesian language, therefore we couldn’t fullfill your request.

  1. Maju terus GanaIslamika. Saya penikmat artikel-artikel Anda dan tolong terus sajikan artikel yang lengkap dengan referensi dan kalau bisa lebih dipaparkan lagi pendapat-pendapat para ahli yang mungkin berbeda-beda. Semangat dan tolong jangan berhenti menyajikan artikelnya!

Leave a Reply to Admin Cancel reply

Your email address will not be published.

*