Dinasti Umayyah (8): Manuver Politik Yazid

in Sejarah

Last updated on February 17th, 2018 07:29 am

 

Tangkap Husein, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair dan minta mereka memberikan baiatnya (sumpah setia pada pemerintahan Yazid). Bertindaklah sedemikian keras sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan apapun sebelum memberikan sumpah setia…

—Ο—

 

Ketika Yazid berkuasa pada tahun 60 H, ia mewarisi dari Muawiyah para gubernur yang kualitas kecerdasan jauh di bawah pendahulunya. Di Madinah, ia memiliki gubernur bernama Al-Walid bin ‘Utbah bin Abi Sufyan, di Kufah ada al-Nu’man bin Bashir al-Ansari, di Basrah ada Ubaydallah bin Ziyad bin Abihi, dan di Mekkah ada Amr bin Sa’id bin al-‘Ash.[1] Mereka adalah kader yang tumbuh di bawah asuhan konflik dan fitnah di antara kaum Muslimin. Dan secara umum mereka berhasil meraih posisinya karena peranan mereka yang besar dalam mengamankan bai’at terhadap Yazid yang sudah dilakukan sejak zaman Muawiyah masih hidup. Sehingga nalar pemerintahan mereka lebih mirip seorang serdadu dan politisi ketimbang seorang negarawan apalagi ulama.

Semua gubernur Yazid, terutama Ubaidillah bin Ziyad, tidak dikenal sebagai seorang yang faqih apalagi ahli ibadah. Hal ini menegaskan tabiat kekuasaan khalifah kedua bani Umayyah ini memang bukan untuk kemaslahatan agama dan kaum Muslimin, tapi untuk melunasi semangat ashobiyah yang sudah dirintis sejak pendahulunya. Selama masa pemerintahan Yazid, praktis tidak ada satupun kemajuan yang tercatat dari peninggalan dinasti Umayyah. Ia disibukkan dengan urusan politik demi mengamankan posisinya sebagai khalifah.

Ketika tersiar kabar bahwa Muawiyah wafat dan digantikan oleh Yazid bin Muawiyah, semua tampak diam dipermukaan dan menyetujui keputusan tersebut. Namun Yazid merasa belum puas pada apa yang dilihat dan didengarnya. Ia meyakini bahwa masih ada bahaya laten yang memungkinkan terjadinya gejolak di berbagai wilayah yang menyatakan protes atas keputusan tersebut. Dan kecurigaannya tidak sepenuhnya salah. Kuatnya hegemoni kekuasaan yang ditinggalkan ayahnya memang sudah tidak memungkinkan lagi suara sumbang terdengar dari setiap wilayah atas kedudukan Yazid. Namun demikian, memang banyak masyarakat yang tidak sepakat keputusan tersebut. Di antara banyak tokoh yang masih hidup pada waktu itu dan memiliki pengaruh sangat besar di masyarakat adalah Husein bin Ali, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair. Ketiganya tidak ada menyetujui Yazid sebagai khalifah. Hal ini membuatnya semakin cemas dan terganggu.

Akhirnya, ketika pertama kali mengawali pemerintahannya, ia sudah menulis pada Al-Walid bin ‘Utbah yang ketika itu menjabat gubernur di Madinah, sebuah surat yang ditulis dalam perkamen kecil, berisi perintah kepada Al Walid: “Tangkap Husein, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Zubair dan minta mereka memberikan baiatnya (sumpah setia pada pemerintahan Yazid). Bertindaklah sedemikian keras sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan apapun sebelum memberikan sumpah setia…[2]

Mulanya, Al Walid ragu untuk melaksanakan perintah ini. Namun Marwan bin Hakam menguatkannya dan menasehatinya agar tidak ragu menjalankan perintah ini. Sesuai nasehat Marwan, diantara ketiga orang ini, hanya Abdullah bin Umar yang tidak berbahaya. Ia sudah larut dalam ibadah dan sudah menjauhi dunia, sehingga tidak mungkin punya keinginan untuk mengambil kekuasaan. Yang perlu dikhawatirkan dan perlu dijinakkan segera adalah Abdullah bin Zubair dan Husein bin Ali. Karena mereka memiliki pengaruh yang luar biasa, terutama Husein bin Ali yang masih memiliki dukungan luas di dunia Islam.

Maka berangkatlah Al Walid kepada Abdullah bin Zubair dan Husein bin Ali. Namun keduanya sudah tidak ada di Madinah dan dikabarkan sudah berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Abdullah bin Zubair berangkat bersama saudaranya, sedang Husein bin Ali berangkat bersama seluruh keluarga besarnya, termasuk adik perempuannya Zainab binti Ali, putra-putra Hasan bin Ali, adik-adik Al Husein, dan putra-putrinya. Al Walid memerintahkan pada pasukannya untuk mengejar mereka, namun mereka sudah jauh dan tidak mungkin lagi dikejar. Sejak keluarnya surat perintah dari Yazid, mendadak kedua orang ini (Husein bin Ali dan Abdullah bin Zubair) menjadi buronan kelas satu di dunia Islam.

Di Kufah, sisa-sisa pendukung Ali bin Abi Thalib dan Hasan bin Ali bersuka cita ketika mendengar kabar kematian Muawiyah. Kepercayaan diri mereka bangkit seketika. Mereka menolak berbai’at kepada Yazid dan memilih berbai’at kepada Husein bin Ali. Mereka lalu menulis surat kepada Husein untuk segera datang ke Kufah dan menjadi pemimpin mereka. Surat-surat yang terkumpulpun kian hari kian banyak, dan akhirnya dikirimlah surat tersebut kepada Husein bin Ali yang saat itu sudah ada di Mekkah. Mendapat undangan ini, Husein bin Ali mengutus sepupunya yang bernama Muslim bin Aqil untuk terlebih dahulu melihat komitmen masyarakat Kufah.

Di Damaskus, ketika Yazid mendengar kabar tentang kebangkitan masyarakat Kufah, ia langsung meradang. Seketika ia memerintahkan al-Nu’man bin Bashir al-Ansari dicopot dari jabatannya karena dinilai tidak becus menjaga situsi. Yazid lalu memerintahkan Ubaydallah bin Ziyad yang ketika itu sedang menjabat sebagai gubernur Basrah untuk mengendalikan situasi di sana. Tanpa ampun, Ibn Ziyad langsung bertindak memadamkan rencana subversif para pendukung Husein bin Ali. Semua yang melawan ataupun dianggap menentang perintahnya langsung dieksekusi dan dibunuh. Hanya sebentar saja Muslim bin Aqil, utusan Husein bin Ali mendapat sambutan meriah di Kufah, tak lama setelah Ibn Ziyad memerintah Kufah, semua pendukungnya langsung menyusut drastis. Satu persatu pendukungnya dibunuh dengan kejam oleh Ibn Ziyad. Tiba-tiba Muslim bin Aqil menjadi terasing dan diburu di wilayah yang sebelumnya sangat meriah menyambutnya. Hingga akhirnya iapun tewas dibunuh oleh Ibn Ziyad.[3]

Di Mekkah Husein bin Ali semakin terdesak. Beliau terus dimata-matai oleh anak buah Yazid, hingga akhirnya beliau memutuskan bertolak ke Kufah bersama seluruh keluarganya dan sedikit orang yang mengikutinya. Ia diburu dan semakin terancam dimana-mana. Kesalahannya hanya satu, Beliau tidak bersedia membai’at Yazid sebagai khalifah karena memang Yazid tidak layak, dan ini sebenarnya juga diakui oleh semua orang yang “berpikir” pada masa itu. Tapi kebanyakan mereka diam, dan tidak berani angkat suara apalagi melawan. Tiba-tiba dunia menjadi sepi bagi Husein bin Ali dan keluarganya. Mereka berjalan sekeluarga meniti gurun pasir panas Arabia. Hingga akhirnya mereka tiba di satu tepat di tepi sungai Eufrat, yang bernama Karbala. (AL)

Bersambung..

Dinasti Umayyah (9): Tragedi Karbala dan Petaka Sejarah

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (7): Yazid Naik Tahta sebagai Khalifah Kedua Dinasti Umayyah

Catatan kaki:

[1] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XIX., The Calipate of Yazid B. Muawiyah, Translated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1990, hal. 2

[2] Ibid, hal.2-3

[3] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 64-66

 

 

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*