Ekspresi Islam Nusantara dalam Susastra Jawa-Islam (1)

in Islam Nusantara

Last updated on December 26th, 2017 12:54 pm

 

Oleh: Khairul Imam

 

“Kedalaman makna dalam pembelajaran, kepiawaian mengolah kemasan pengajaran, dan kreativitas tanpa batasnya mampu menembus dasar pengetahuan. Imajinasi metafisiknya terekspresikan dalam bahasa yang sangat antroposentris, sehingga hujaman permenungan mereka terejawantah pada karya-karya yang bercita rasa Nusantara, salah satunya dalam bentuk susastra Jawa-Islam.”

—Ο—

 

Sejak melemahnya Kerajaan Majapahit dan menguatnya Kesultanan Islam Demak Bintoro, Islam mulai menunjukkan taringnya secara bertahap. Islam semakin berkembang, gairah keislaman mulai tumbuh. Di sana-sini banyak bermunculan padepokan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam asuhan para Syekh dan Sunan di berbagai tempat di tanah Jawa. Kedalaman makna dalam pembelajaran, kepiawaian mengolah kemasan pengajaran, dan kreativitas tanpa batasnya mampu menembus dasar pengetahuan. Imajinasi metafisiknya tertuang dalam bahasa yang sangat antroposentris, sehingga hujaman permenungan mereka terejawantah pada karya-karya yang bercita rasa Nusantara, salah satunya dalam bentuk susastra Jawa-Islam.

Istilah susastra dibedakan dengan kesusastraan. Susastra biasanya digunakan untuk mengidentifikasi karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan, kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah hingga melampaui syarat estetika yang tinggi. Sementara itu, kesusastraan bersifat lebih umum, sebatas menengarai perihal susastra; ilmu atau pengetahuan tentang segala hal yang bertalian dengan susastra; dan buku-buku tentang sejarah susastra.[1]

Dengan semaraknya padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren di tanah Jawa, orang-orang yang telah memeluk Islam mulai mengirimkan kader-kader terbaik untuk belajar di sana untuk tujuan penyebaran Islam. Meski pembelajaran Islam awal ini terbilang sederhana, tetapi pola dan metodenya sangat selaras dan menyentuh akar paling dalam Islam; dari tauhid hingga aspek-aspek kemanusiaan.

Seperti kita ketahui, semakin dalam penghayatan seseorang terhadap keilmuan, terutama ilmu Ilahi, akan melahirkan permenungan mendalam tentang wilayah batas terluar manusia menuju kesadaran ketuhanan tertinggi. Permenungan ini pun akan mengantarkan seseorang pada pendalaman makna dan kosa semiotika dalam ekspresi serta penyampaiannya, dan membawa dampak lahirnya susastra Islam di Jawa. Meski ini bukan satu-satunya, karena susastra Islam juga merupakan bentuk infiltrasi dari kebudayaan sebelumnya, misalnya: Hindu-Jawa, mistisisme Islam klasik, dan warisan Melayu.

Susastra Jawa-Islam semula tertuang dalam bentuk Kakawin atau puisi yang ditulis dalam bahasa Jawa kuna, kemudian berubah ke bentuk tembang yang dikemas dalam hikayat, Babad, Serat, maupun Suluk, walaupun sebenarnya sastra model ini atau sejenisnya telah memiliki akarnya dalam perkembangan Islam awal di kawasan Melayu. Tentu saja pengaruh dari jejaring sastra ini tak bisa diabaikan, dan harus diakui bermula dari para guru agama yang datang dari Sumatra, yang diduga sebagai tempat berpijak Islam di Nusantara untuk pertama kali. Genealogi dari guru ke guru dalam tradisi lisan khas Islam pun cukup memainkan peranan yang cukup signifikan dalam proses persebaran susastra Jawa-Islam.

Hal ini tampak dalam perkembangan susastra Melayu yang merupakan saduran dari bahasa Arab, kemudian disadur kembali ke bahasa Jawa. Sebagai contoh adalah hikayat berlatar Persia-India tentang seorang putri yang berkelana dari keraton satu ke yang lain, dan akhirnya berubah menjadi burung. Cerita ini berjudul Hikayat Syah Mardan atau Hikayat Indrajaya, dalam versi Jawa dikenal dengan Serat Seh Mardan. Demikian pula yang terkenal dalam berbagai versi Melayu dan sangat disukai di Jawa adalah Serat Abunawas. Sebuah cerita berlatar belakang istana Raja Harun al-Rasyid, khalifah Abbasiyah di Bagdad.[2]

Dari wilayah Melayu, terutama kawasan Sumatra inilah pengaruh susastra Islam mulai menyebar. Saat itu, banyak lahir karya-karya susastra Islam dengan corak tasawuf yang biasanya dikenal dengan suluk, atau serat. Beberapa di antaranya adalah Kitab Musawaratan Wali Sanga, Suluk Wali Sanga, Suluk Malang Sumirang, Mustika Rancang, Suluk Wujil, Suluk Sujinah, Suluk Jebeng, Suluk Aceh, Suluk Walih, Suluk Daka, Suluk Syamsi Tabaris, Suluk Jatirasa, Suluk Johar Mungkin, Suluk Pancadriya, Ontal Enom (Madura), dan lain-lain. Termasuk kisah didaktis ialah Sama’un dan Mariya, Masirullah, Wujud Tunggal, Suksma Winasa, Dewi Malika, Syeh Majenun.[3]

Membincang tradisi susastra Jawa, setidaknya ada empat tipologi yang bisa kita kenali. Pertama, suluk, yaitu sebuah karya sastra yang di dalamnya memuat penjelasan detail tentang pengalaman-pengalaman spiritual seorang tokoh dalam perjalanan ruhaninya. Kedua, serat, catatan tentang satu subjek tertentu, dan yang paling sering tentang aspek-aspek tasawuf, filsafat, teologi, dan lain-lain. Ketiga, wirid, kaidah-kaidah atau teori-teori berkenaan dengan menjalankan satu misi, terutama ibadah. Karya-karya ini biasanya disampaikan dalam bentuk metrum macapat.

Berkaitan dengan pengertian “macapat”, ada yang mengartikan sesuai dengan kalimat macapat, yang berarti maca-papat-papat, atau membaca dengan cara membaca per empat suku kata. Ada pula yang mengatakan bahwa macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit, yang kemungkinan diciptakan oleh Walisanga.[4] Diperkirakan diciptakan oleh Sunan Derajat, sehingga makna macapat identik dengan pemaknaan mistik Islam; macapat atau maca barang papat (membaca empat hal), atau barang siapa ingin selamat, maka ia harus bisa membaca barang yang empat. Keempat, babad, catatan sejarah peradaban suatu daerah tertentu, seperti lazim yang dikenal, misalnya Babad Tanah Jawa, Babad Tjirebon, Babad Banten, dan lain sebagainya.

Selain itu, dalam susastra Jawa, juga dalam susastra lainnya, terdapat beberapa aturan atau pakem yang harus dipatuhi. Pakem itu dikenal dengan pakem macapat. Karena, sebagaimana disebutkan di atas, karya sastra Jawa seringkali menggunakan metrum tersebut dalam prosesi babaran atau pembacaannya. Metrum atau tembang macapat ada lima belas buah. Metrum-metrum ini dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu tembang cilik, tembang tengahan, dan tembang gedhé. Kategori tembang cilik memuat sembilan metrum, tembang tengahan enam metrum, dan tembang gedhé satu metrum. Dengan rincian sebagai berikut: Tembang cilik, yaitu: Dhandhanggula, Maskumambang, Sinom, Kinanthi, Asmarandana, Durma, Pangkur, Mijil, Pocung; tembang tengahan, yaitu: Jurudhemung, Wirangrong, Balabak, Gambuh, Megatruh; dan tembang gedhé adalah Girisa. Bagian-bagian ini juga dikenal dengan istilah pupuh, di mana setiap pupuh terdiri beberapa bait yang disebut padha. Sedangkan dalam setiap padha (bait) terdiri beberapa baris yang disebut dengan gatra.

Sebagaimana lazimnya, pusat-pusat perdagangan dan sirkulasi segala jenis pertukaran dalam semua bidang terdapat di kota-kota pelabuhan, seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Sedayu, dan Surabaya. Di sinilah terjadi akulturasi dan asimilasi kebudayaan asing, terutama Islam antara para pedagang dari belahan dunia Arab dengan masyarakat pribumi sehingga kota-kota tersebut menjadi basis awal Islam di Jawa. Di sisi lain, tidak jarang orang-orang dari Kepulauan Nusantara yang telah masuk Islam mulai banyak yang melakukan perjalanan ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk menuntut ilmu agama. Interaksi umat Islam yang semakin intens ini disinyalir membawa dampak positif bagi perkembangan Islam di Jawa, tidak terkecuali dalam ranah lahirnya sastra Pesisir.

Bersambung…

Ekspresi Islam Nusantara dalam Susastra Jawa-Islam (2)

Catatan kaki:

[1] https://kbbi.web.id/susastra akses 24 Desember 2017

[2] J. J. Ras, Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa, terj. Achadiati Ikram (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), hlm. 249-250.

[3] H. J. de Graaf dan TH. G. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa; Kajian Sejarah Politik Abad ke-15dan ke-16, terj. Anonim (Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986), hlm. 84-88.

[4] Th. Pigeaud, Literature of Java. Catalogue Raisonné of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Volume I. Synopsis of Javanese Literature 900 – 1900 A.D. (tt: The Hague: Martinus Nyhoff, 1967), hlm. 20.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*