Mozaik Peradaban Islam

Gebang Tinatar: Masterplan Peradaban Pesantren (1)

in Islam Nusantara

Last updated on September 28th, 2018 09:44 am

Pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Santri datang silih berganti. Yang hidup menggantikan yang mati. Pesantren ini mungkin tinggal kenangan dan sisa-sisa bangunan yang terus diziarahi, tapi ilmu yang diajarkannya terus menggelora dalam sanubari para santri. Keikhlasan para kiai itu telah menjelma ribuan bahkan jutaan pahala yang menemani sejuk kubur mereka. Ilmunya tak pernah mati, dan terus mengalir melampaui sejengkal tanah perdikan. Melesat hingga ribuan kilo meter, menembus ambang samudera, dan melintasi masa yang tak terhingga.

 —Ο—

 

Peradaban Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran besar sebuah pesantren. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu oral dan literal. Lebih dari itu, pesantren memberikan pembelajaran hidup dan kehidupan. Ia mengajarkan keteladan dan hikmah yang tak ternilai. Figuritas seorang kiai, peran kebersamaan dalam asrama, dan masjid sebagai pusat studi menjadi komponen penting dalam pembentukan karakter para santri. Santri-santri dipersiapkan menjadi pribadi yang memiliki mentalitas tangguh, ketahanan fisik, kebersihan ruhani, serta kecerdasan intelektual guna mengarungi masa depannya yang gemilang. Mereka dididik dengan disiplin ketat sehingga mampu menghadapi tantangan zamannya. Dibekali dengan keterampilan dan adaptasi sosial agar sanggup beradaptasi dengan kerasnya dunia luar.

Melacak genealogi intelektual Islam di Indonesia dapat dilakukan dengan melihat kembali masterplan peradaban pesantren, di antaranya melalui pesantren Gebang Tinatar dan masjid Tegalsari di Ponorogo sebagai pesantren tertua di Indonesia. Selain dianggap pesantren tertua, pesantren ini juga telah banyak melahirkan tokoh-tokoh penting sekaligus guru bangsa, seperti Pakubuwono II penguasa Kerajaan Kartasura, Raden Ngabehi Ronggowarsito,  Pujangga Jawa yang masyhur, dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto. Tidak hanya itu, beberapa pesantren besar dan ternama juga merupakan produk dari pesantren ini, di antaranya Pesantren Joresan, Pesantren Coper, Pesantren Tremas, di Pacitan, dan Pondok Modern Gontor di Ponorogo.

Gebang Tinatar adalah nama lain dari Pesantren Tegalsari, nama desa di Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo. Mula-mula daerah tersebut merupakan hutan belantara yang dibabat oleh seorang ulama yang bernama Pangeran Sumende, putra Adipati Unus yang berjuluk Pangeran Sabrang Lor. Dengan ditemani tiga pengikutnya, yaitu Kiai Ageng Donopuro, putra Pangeran Sumende, Kiai Noyopuro, dan Kiai Wongsopuro, Pangeran Sumende mendirikan bangunan masjid sebagai tempat konsolidasi dan memobilisasi masyarakat sekaligus memberikan pembelajaran kepada mereka. Siang dan malam mereka menyertai masyarakat, baik dengan pembinaan mental maupun spiritual. Tidak hanya pembenahan perihal keagamaan, bahkan mereka juga turun langsung memberikan pencerahan dalam persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari, seperti rumah tangga, pertanian, perdagangan, cocok tanam, dan lain sebagainya.

Mobilisasi yang dilakukan pun membuah hasil yang berarti. Terbukti masyarakat desa tersebut semakin memercayai dan yakin dengan banyaknya orang yang datang untuk menimba ilmu bersama mereka. Tak lama berselang, datanglah tiga orang bersaudara, yaitu Khotib Anom, Mohammad Besari dan Nur Shodiq. Jika ditelusur garis nasab ketiga bersaudara ini masih masih keturunan Prabhu Brawijaya V penguasa Majapahit dan Kanjeng sunan Giri Prapen. Mereka membabat habis ajaran yang disampaikan Kiai Ageng Donopuro, mulai dari ilmu-ilmu fikih, tasawuf, sampai ilmu-ilmu kebatinan dan kejadukan.

Belum sempat menghabiskan ajaran dari Kiai Ageng Donopuro, Mohammad Besari diberi amanah berupa tanah yang terletak tidak jauh dari pemondokannya. Tepatnya di antara sungai Malo dan sungai Keyang. Tanah tersebut masih berupa tegalan untuk dijadikan sebagai lahan dakwah baru. Tidak lama setelah diamanahi tanah tegalan itu, wilayah tersebut semakin ramai. Kharisma dan kedalaman ilmu Kiai Mohammad Besari mampu membius masyarakat dari berbagai daerah untuk datang berbondong-bondong menuntut ilmu di sana. Wilayah sekitar padepokan menjadi semakin ramai dengan pemukiman warga dan pemondokan orang-orang yang datang dari luar daerah. Karena ramainya kampung tersebut maka para warga menyebutnya sebagai “Tegalsari.” Sementara itu, masjid lama yang dibangun pertama kali oleh Kiai Mohammad Besari diberikan kepada putranya, Kiai Iskhaq di desa Coper, Jetis, Ponorogo.

Selain diberi tanah untuk pengembangan dakwah, ia juga diambil menantu oleh Kiai Nur Salim (Ki Ageng Mantup), Kiai keturunan Mataram yang menempati sekitar tanah pemberian Kiai Ageng Donopuro. Pernikahan ini semakin memantapkan posisinya secara sosial maupun kultural. Ia menjadi orang yang sangat dihormati dan dicintai masyarakat. Bahkan, nama Kiai Mohammad Besari pun ditambah dengan gelar kehormatan menjadi Kiai Ageng Mohammad Besari. Dengan kebesaran nama itu pula, semakin banyak santri yang berdatangan untuk nyantri kepadanya, sampai-sampai rumah pribadinya dijadikan pemondokan yang di kemudian hari dikenal dengan Gebang Tinatar.

Sampai saat ini, belum ada sejarawan yang dapat memastikan kapan Pesantren Gebang Tinatar berdiri. Kemungkinan, sebagaimana lazimnya pesantren-pesantren tradisional, seorang kiai akan memperkuat posisi sosial dan kultural terlebih dahulu. Mengajar dan membimbing masyarakat baik bimbingan spiritual maupun masalah keduaniawian lainnya, seperti pertanian, perdagangan, etos kerja, dan lain sebagainya. Seorang kiai akan membangun masyarakat, dan secara alamiah terbentuk sebuah pesantren. Santri berdatangan dari segenap penjuru, baru kemudian membuat pemondokan-pemondokan sederhana. Dengan pola semacam ini, maka waktu tepat berdirinya pesantren tak pernah dapat dipastikan, termasuk pesantren Gebang Tinatar.

Sebagai pendiri sekaligus pengasuh pertama pesantren ini, Kiai Ageng Mohammad Besari, sebagaimana direkam oleh F. Fokkens, dikenal sebagai seorang pertapa yang mengasingkan diri (uzlah). Hidupnya hanya diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan. Ia menjalani laku zuhud dengan hanya mengonsumsi akar-akaran sebagai makanan utama. Dan memang, sejak semula Pesantren Tegalsari telah masyhur dengan pendalaman spiritual dan pengajaran ilmu-ilmu hikmah dan kejadukan. Hal ini menjadi ketertarikan tersendiri bagi kalangan muda saat itu untuk belajar di pesantren. Bukti penting yang paling menonjol adalah ketika Kiai Ageng Mohammad Besari melakukan konfrontasi terhadap para pemberontak yang hendak mengambil paksa Kerajaan Kartasura.[i]

Suatu ketika terjadi pemberontakan kelompok Tionghoa yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning di wilayah Kerajaan Kartasura. Pakubuwono II, sebagai penguasa Kartasura waktu itu bersama beberapa pengikutnya melarikan diri sampai ke Tegalsari. Ia berlindung di pesantren Kiai Ageng Mohammad Besari. Setelah beberapa saat menjadi santri di sana, ia pun meminta bantuan kepada kiai untuk membantu merebut tahtanya. Tak segan-segan sang kiai pun memberikan bantuan kepadanya. Akhirnya,  Pakubuwono II dapat menduduki tahta kembali pada tahun 1743 M. Kemampuannya menaklukkan Mas Garendi tersebut tidak lepas dari bantuan Kiai Ageng Mohammad Besari beserta santri-santrinya. Atas jasa Kyai Ageng Besari mengembalikan kedudukan Pakubuwono II inilah, maka Tegalsari dibebaskan dari pembayaran pajak kepada kerajaan Kartasura atau disebut sebagai ‘Tanah Perdikan’.

Dengan kekuatan tirakat dan tarekat yang diajarkannya, ditambah dengan pembelajaran dalam ilmu-ilmu-ilmu hikmah dan kejadukan, Pesantren Gebang Tinatar pun bertambah kemasyhurannya. Para santri hasil didikan pesantren ini tidak hanya menonjol dalam ilmu agama. Sebagian mereka juga menjadi andalan masyarakat Ponorogo sebagai Warok Ponorogo yang kesohor dengan kesaktiannya. Demikian pula Kiai Hasan Mukmin, seorang kiai dari Sidoarjo juga diketahui memiliki kesaktian hasil olah di pesantren ini dan menggunakannya dalam melawan Pemerintah Belanda di Surabaya.

Setelah mangkatnya Kiai Ageng Mohammad Besari, tampuk kepengasuhan pesantren ini secara berturut-turut dipegang oleh: Kiai Kasan Ilyas (1773-1800), Kiai Kasan Yahya (1800), kiai Kasan Besari (1800-1862), dan Kiai Kasan Anom. Pesantren ini mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Kiai Ageng Hasan Besari, di mana santri yang menimba ilmu di sana mencapai 3000-an santri. Saking banyaknya jumlah santri, seluruh desa disulap menjadi pemondokan. Bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar, seperti desa Nglawu, Bantengan, Malo, Joresan dan lain-lain.[ii]

Demikianlah, Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Santri datang silih berganti. Yang hidup menggantikan yang mati. Gebang Tinatar mungkin tinggal kenangan dan sisa-sisa bangunan yang terus diziarahi, tapi ilmu yang diajarkannya terus menggelora dalam sanubari para santri. Keikhlasan para kiai itu telah menjelma ribuan bahkan jutaan pahala yang menemani sejuk kubur mereka. Ilmunya tak pernah mati, dan terus mengalir melampaui sejengkal tanah perdikan. Melesat hingga ribuan kilo meter, menembus ambang samudera, dan melintasi masa yang tak terhingga. [KHI]

Bersambung…

Gebang Tinatar: Masterplan Peradaban Pesantren Nusantara(2)

Catatan:

[i] Hanun Asrohah, “The Dynamics of The Dynamics of Pesantren: Responses Responses toward Modernity and Mechanism in Organizing Transformation” dalam Journal of Indonesian Islam,  Vol 5, No 1, Juni 2011, hlm. 73

[ii] “Pesantren Gebang Tinatar” dalam http://padepokan-gebangtinatar.blogspot.com/2013/01/pesantren-gebang-tinatar-tegalsari_28.html

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*