Utbah bin Rabi’ah (kakek Muawiyah bin Abu Sufyan) dan dua kerabatnya mengajak duel. Maka Rasulullah bersabda, “Berdirilah, wahai Ubaidah bin al-Harits! Berdirilah, wahai Hamzah! Berdirilah, wahai Ali!”
Menurut adat istiadat kuno bangsa Arab, biasanya sebelum perang besar dimulai, dilakukan duel tanding terlebih dahulu.[1] Ibnu Ishaq meriwayatkan:
Setelah Hamzah berhasil menghabisi al-Aswad bin Abdil Asad di telaga, keluarlah tiga orang: Utbah bin Rabi’ah (kakek Muawiyah bin Abu Sufyan dari pihak Ibu); (salah satu) di antara saudaranya, Syaibah bin Rabi’ah; dan anaknya, al-Walid bin Utbah (paman Muawiyah bin Abu Sufyan dari pihak Ibu). Ketika telah berada di antara kedua pasukan, dia menantang duel satu lawan satu.
Tantangan mereka disambut oleh tiga laki-laki Ansar. Mereka adalah Auf bin al-Harits dan Mu’awwidz bin al-Harits – Ibu mereka berdua adalah Afra – dan orang ketiga. Ada yang mengatakan: dia (orang ketiga itu) adalah Abdullah bin Rawahah.
Utbah dan kawan-kawannya bertanya, “Siapa kalian?”
Mereka menjawab, “Beberapa orang Ansar.”
Mereka berkata, “Kami tidak punya urusan dengan kalian.” Lalu mereka berseru, “Wahai Muhammad! Keluarkan orang-orang dari kaum kami yang sebanding dengan kami.”
Maka Rasulullah saw bersabda, “Berdirilah, wahai Ubaidah bin al-Harits! Berdirilah, wahai Hamzah! Berdirilah, wahai Ali!”
Ketika tiga orang ini berdiri dan mendekat kepada mereka. Mereka bertanya, “Siapa kalian?”‘
Ubaidah menjawab, “Ubaidah.”
Hamzah menjawab, “Hamzah.”
Ali menjawab, “Ali.”
Mereka berkata, “Benar, lawan yang sepadan.”
Ubaidah yang paling tua melawan Utbah bin Rabi’ah, Hamzah melawan Syaibah bin Rabi’ah, dan Ali melawan al-Walid bin Utbah.
Hamzah tidak memerlukan waktu lama untuk mengakhiri Syaibah, demikian juga dengan Ali, dia tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyudahi al-Walid. Berbeda dengan Ubaidah, dia dengan Utbah saling menebas.
Keduanya sama-sama terluka, namun Hamzah dan Ali segera menebaskan pedang mereka kepada Utbah dan menyudahinya, lalu keduanya membawa Ubaidah dan mundur kepada rekan-rekannya.[2]
Dalam riwayat versi lainnya, Muhammad bin Ali bin Husain (al-Baqir) meriwayatkan:
Ketika Utbah mengajukan tantangan (duel) dalam Perang Badar, Ali bin Abi Thalib berdiri untuk menantang Walid bin Utbah. Keduanya sama-sama muda dan memiliki fisik yang seimbang. (Dengan memutar telapak tangannya dan meletakkannya di tanah, periwayat menunjukkan bahwa Ali menjatuhkan Walid dan membunuhnya).
Setelah itu, Syaibah bin Rabi’ah berdiri dan Hamzah bangkit menerima tantangan tersebut. Kedua pria ini juga memiliki perawakan yang seimbang. (Dengan mengangkat tangannya lebih tinggi, periwayat menunjukkan dengan cara yang sama, bahwa Hamzah membunuh Syaibah).
Setelah itu, saat Utbah berdiri, Ubaidah bin Harits bangkit menerima tantangannya. (Periwayat menunjuk ke dua pilar dan menambahkan keterangan bahwa kedua lelaki ini seperti pilar itu [sama-sama kokoh]).
Saat kedua laki-laki itu saling bertukar serangan, serangan Ubaidah membuat lengan kiri Utbah menggantung (hampir putus). Namun, Utbah mendekat dan menghantam kaki Ubaidah dengan pedangnya hingga betisnya putus.
Ali dan Hamzah kemudian kembali dan membereskan urusan Utbah. Mereka kemudian membawa Ubaidah pergi ke Rasulullah di bawah tenda. Ketika mereka membawanya ke Rasulullah, Nabi Allah membaringkannya.
Rasulullah meletakkan kepalanya di pangkuannya dan mulai menyeka debu dari wajahnya, saat itu Ubaidah berkata, “Wahai Rasulullah! Seandainya Abu Thalib melihatku sekarang, dia akan yakin bahwa perkataannya lebih tepat diterapkan kepadaku ketimbang dia, ketika dia berkata (dengan salam untuk melindungi Rasulullah):
‘Kami akan melindunginya sampai kami terluka dan jatuh mati di sisinya. Benar-benar melupakan anak-anak dan istri kami sendiri.’.”
Ubaidah lalu bertanya, “Bukankah aku seorang syuhada?”
“Tentu saja,” jawab Rasulullah, “dan aku menyaksikan kebenaran itu.” Dia kemudian meninggal.
Rasulullah menguburkannya di (sebuah lembah bernama) Safra dan beliau sendiri turun ke kuburan (untuk meletakkan jenazah). Rasulullah belum pernah memasuki kubur siapa pun sebelumnya.[3]
Dalam riwayat versi lainnya, Zuhri meriwayatkan:
Ubaidah dan Utbah bertukar serangan, masing-masing serangan saling melumpuhkan satu sama lain. Kembali ke medan perang, Ali dan Hamzah mendekati Utbah dan membunuhnya.
Mereka kemudian membawa sahabat mereka pergi. Ketika mereka tiba ke Rasulullah, kaki Ubaidah telah putus dan pembuluh nadinya mengeluarkan banyak darah. Ketika kedua orang itu membawa Ubaidah kepada Rasulullah, dia bertanya, “Bukankah aku seorang syuhada, wahai Rasulullah?”
“Tentu saja,” jawabnya.
Ubaidah kemudian berkata, “Seandainya Abu Thalib masih hidup, dia akan yakin bahwa perkataannya lebih tepat diterapkan kepadaku ketimbang dia, ketika dia berkata:
‘Kami akan melindunginya sampai kami terluka dan jatuh mati di sisinya. Benar-benar melupakan anak-anak dan istri kami sendiri.’.”[4]
Menurut sejarawan Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, peristiwa wafatnya Ubaidah ini terjadi pada empat atau lima hari setelah Perang Badar, di sebuah tempat yang bernama ash-Safra, ketika pasukan Muslim sedang dalam perjalanan pulang ke Madinah.[5] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 336.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq tanpa sanad. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (Vol III/no. 2665), kitab: al’Jihaad, bab: fiil Mubaarazah dan Ahmad dalam al-Musnad (no.948) dari hadis Ali bin Abi Thalib, dan sanadnya sahih. Dikutip kembali oleh Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 281-282.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir, dikutip dalam Ali bin Abdul Malik al-Hindi, Kanzul Ummal (Vol 7, hlm 116), dikutip kembali oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 500-501.
[4] Dikutip oleh Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi tanpa menyebut sanadnya, Ibid., hlm 501.
[5] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 284.
Pertempuran besar berikutnya adalah perang Uhud dan masih menghadapi lawan yang sama yaitu Quraisy. Di sana Ali juga mengambil peran penting. Dia bergabung dalam tim khusus bersama para sahabat lain yang memiliki skill bertarung level S yaitu Hamzah, Zubair bin Awam, dan Ashim bin Tsabit. Tim ini fokus untuk menyerang pemegang bendera musuh. Mengapa? Karena dalam tradisi perang kala itu, pasukan yang benderanya jatuh akan dianggap kalah walaupun jumlahnya masih banyak, sedangkan pasukan walaupun tinggal 1 orang belum dianggap kalah selama bendera masih berdiri.