Mozaik Peradaban Islam

Hamzah bin Abdul Muthalib (11): Perang Badar (3)

in Tokoh

Last updated on December 22nd, 2020 02:56 pm

Umayyah bin Khalaf yang menjadi tawanan setelah Perang Badar memberikan kesaksian tentang Hamzah, “Dialah (yang memakai bulu burung unta di dadanya) yang paling banyak menimpakan bencana besar kepada kami.”

Foto ilustrasi: Lukisan karya Hasan Rouh Al-Amin

Ayat yang Turun setelah Berakhirnya Duel

Setelah terjadinya duel sebelum Perang Badar di antara tiga orang Muslim dan tiga orang musyirikin tersebut, Allah menurunkan wahyu-Nya. Diriwayatkan oleh Abu Dzar, bahwa dia bersumpah tentang duel satu lawan satu ini, bahwa ayat ini:

هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ

“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka.” (QS  al-Hajj [22]: 19)

Turun kepada Hamzah dan dua rekannya (golongan Mukmin), dan Utbah dan dua rekannya (golongan kafir) ketika mereka berduel satu lawan satu di Perang Badar.[1]

Sementara dalam versi lain, sebagaimana disampaikan oleh sejarawan Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, ayat itu turun karena berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib. Di dalamnya sirah-nya, dia menulis:

Ali memiliki keyakinan yang dalam sehingga firman Allah turun:

هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ

“Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka.” (QS  al-Hajj [22]: 19)

Ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang beriman yang mengakui Tuhan mereka dan berusaha untuk melaksanakan kehendak-Nya (yaitu pengikut Muhammad [saw] di Perang Badar), dan orang-orang yang menyangkal Tuhan mereka dan menentang-Nya (yaitu orang-orang Quraisy).[2]

Berkenaan dengan riwayat-riwayat sebelumnya yang menggambarkan tentang duel tersebut, sejarawan Ja’far Subhani dalam ar-Risalah menjelaskan, bahwa sebagian orang mengatakan bahwa dalam duel ini, masing-masing bertanding dengan lawannya yang seusia.

Ali, yang termuda di antara mereka, melawan Walid (paman Muawiyah bin Abu Sufyan dari pihak ibu, yakni Hindun binti Utbah); Hamzah, yang setengah baya, melawan Utbah (kakek Muawiyah dari pihak ibu); Ubaidah, yang tertua dari petarung Muslim, melawan Syaibah, yang tertua dari kalangan Quraisy.

Namun, Ibnu Hisyam mengatakan bahwa lawan Hamzah adalah Syaibah, sedang lawan Ubaidah ialah Utbah. Marilah kita tinjau kedua pendapat ini, agar kedudukan yang sesungguhnya menjadi jelas.

1. Para sejarawan menulis bahwa Ali dan Hamzah menewaskan lawan-Iawannya dengan cepat lalu segera membantu Ubaidah dan menewaskan lawannya pula.[3]

2. Di kemudian hari, dalam sepucuk surat yang ditulis Ali setelah menjadi khalifah, yang ditujukan kepada Muawiyah, dia mengingatkannya dalam kata-kata berikut ini, “Pedang yang aku gunakan untuk membereskan kakekmu dari pihak ibu (yaitu Utbah, ayah dari Hindun, ibu Muawiyah), pamanmu dari pihak ibu (Walid bin Utbah), dan saudaramu (Hanzalah) masih ada padaku (yakni, aku masih memilki kekuatan yang sama).”[4]

Surat itu menunjukkan dengan jelas bahwa Ali ikut serta menewaskan Utbah, kakek Muawiyah dari pihak ibu itu. Kemudian, kita juga mengetahui bahwa Ali dan Hamzah membunuh lawan-lawannya dengan cepat.

Apabila lawan Hamzah adalah Utbah, maka Ali tak akan mengatakan, “Pedang yang aku gunakan untuk membereskan kakekmu dari pihak ibu.” Karena itu, tak dapat dikatakan bahwa lawan Hamzah adalah Syaibah dan lawan Ubaidah adalah Utbah, lalu, setelah menewaskan lawan-lawannya sendiri, Hamzah dan Ali pergi membunuh Utbah dengan pedang mereka.[5] Wallahualam….

Demikianlah, sekarang mari kita lanjutkan kisahnya setelah terjadinya duel tersebut. Kekalahan dalam duel tersebut merupakan pukulan telak bagi pasukan Quraisy dan mereka menjadi marah karenanya. Mereka kemudian menyerang secara serentak dan membabi buta.

Pasukan Muslim menghadapi serangan mereka yang dilancarkan secara terus-menerus dan bergelombang. Pasukan Muslim menerapkan strategi defensif yang mana cukup ampuh untuk menjatuhkan korban di pihak musuh. Mereka tak henti-hentinya berseru, “Ahad… Ahad!”[6]

Akhir Perang

Singkat cerita, pasukan Muslim memperoleh kemenangan yang telak dalam Perang Badar. Jumlah Muslim yang tewas hanya 14 orang, 6 dari Muhajirin, dan 8 dari Anshar. Sementara itu, korban tewas pasukan Quraisy Makkah sebanyak 70 orang, dan 70 lainnya menjadi tawanan perang, yang mana kebanyakannya adalah para pemuka Quraisy.[7]

Kembali kepada kisah tentang Hamzah, setelah perang berakhir, salah satu pemuka Quraisy, Umayyah bin Khalaf, mantan tuan Bilal bin Rabah sewaktu masih di Makkah, yang kini menjadi tawanan perang, memberikan kesaksiannya tentang Hamzah.

Abdurrahman bin Auf meriwayatkan:

Umayyah bin Khalaf pernah bertanya kepadanya, “Wahai Abdul Ilaa! Siapakah orang yang menandai dadanya dengan bulu burung unta dalam Perang Badar?”

“Dia adalah paman Rasulullah saw. Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib,” jawab Abdurrahman bin Auf.

Umayyah kemudian berkomentar, “Dialah yang paling banyak menimpakan bencana besar kepada kami.”[8]

Dalam riwayat versi lainnya, Harits Taymi meriwayatkan:

Pada Perang Badar, Hamzah bin Abdul Muthalib membedakan dirinya dengan memakai bulu burung unta. Salah seorang musyrikin bertanya, “Siapakah orang yang menandai dirinya dengan bulu burung unta itu?”

“Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib,” jawabnya.

Orang itu kemudian berkomentar, “Dialah yang paling banyak menimpakan bencana besar kepada kami.”[9] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 4743), Muslim (no. 3033), dan Ibnu Majah (no. 2835), dikutip oleh Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 282.

[2] Diriwayatkan tanpa sanad dalam Saifur Rahman Al-Mubarakfuri, Ar-Raheeq Al-Makhtum (The Sealed Nectar): Biography of the Prophet (Darussalam: 2002), E-book version, chapter The Battle of Badr.

[3] Tarikh ath-Thabari, (Vol 2, hlm 148); Sirah Ibnu Hisyam, (Vol 1, hlm 625); dalam Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 337.

[4] Nahj al-Balaghah, Surat 28 dan 46; dalam Ja’far Subhani, Ibid.

[5] Ja’far Subhani, Ibid., hlm 337-338.

[6] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 284.

[7] Ibid., hlm 270, 295.

[8] Bazzar, Haythami (Vol 6, hlm 81), dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 532.

[9] Tabrani, Haythami (Vol 6, hlm 81), dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*