Ibn Khaldun (5): Otentisitas Karya (2)

in Tokoh

Last updated on April 5th, 2018 05:55 am

Secara metodologis, Ibn Khaldun sebenarnya tidak memperkenalkan sebuah metode baru dalam keilmuannya. Ia adalah ahli waris para filsuf Islam yang mempelajari dan mengembangkan metode-metode argumentasi dari Yunani. Hanya saja, idenya untuk mengaplikasikan metode tersebut di ranah sejarah, merupakan satu hal yang baru pertama kali dilakukan oleh para ilmuwan. Inilah sisi otentik dari karya Ibn Khaldun.

—Ο—

 

Komponen kedua dari ilmu masyarakat manusia yang digagas Ibn Khaldun adalah teori tentang penurunan dan keruntuhan Negara. Inilah kamponen yang paling banyak diulas oleh para sarjana setiap kali membahas tentang karya Ibn Khaldun. Menurutnya, kekaisaran bagaikan organisme, dan lintasan kehidupan mereka dapat diplot seperti titik pada kurva lonceng yang menggambarkan siklus dari awal eksistensi hingga kematian mereka.[1] Secara umum teori ini mendiskusikan tentang unsur-unsur pembentuk masyarakat, dan hal-hal apa saja yang menyebabkan kebangkitan dan keruntuhannya; seperti ekonomi, dan institusi-institusi masyarakat, negara, dan solidaritas di dalamnya, atau yang ia istilahkan dengan ‘ashabiyyah.

Konsep ashabiyyah ini yang menjadi ke-khas-an teori Ibn Khaldun. Ashabiyyah merupakan bahasa Arab yang menunjukkan arti ikatan kesukuan. Tapi menurut Eamon Gaeron, Ibn Khaldun merentangkan makna dasar ashabiyyah ini menjadi sangat jauh, hingga bisa disejajarkan dengan rasa nasionalisme di era modern ini.[2] Menurut Ibn Khaldun, ashabiyyah ini adalah jenis perasaan kelompok yang menjadi unsur utama terjadinya kohesi sosial. Semakin tinggi ashabiyyah suatu kelompok masyarakat, maka akan semakin kuat soliditasnya. Dengan demikian, mereka dapat mengalahkan kelompok lain yang memiliki ikatan ashabiyyah yang lemah. [3]

Lebih jauh, menurut Ibn Khaldun, umumnya masyarakat nomaden dan pedesaanlah yang memiliki ikatan ashabiyyah lebih kuat dibanding dengan masyarakat perkotaan yang kosmopolitan. Ini sebabnya sebuah dinasti kekaisaran yang sudah berkuasan lebih dari lima generasi dan mulai melemah ikatan ashabiyyah-nya dapat dikalahkan dan digantikan oleh kelompok-kelompok pinggiran atau pedesaan.

Menurut Ibn Khaldun, daur hidup sebuah bangsa melewati beberapa tahap pertumbuhan yang bisa diprediksi, sebagai berikut: Pertama, suku nomaden yang memiliki ikatan ashobiyyah yang lebih kuat, datang menaklukkan suku menetap; Kedua, setelah itu kebutuhan untuk menciptakan sistem sosial masyarakat menetap muncul. Dengan demikian, kepala suku mereka mengambil tugas sebagai seorang raja; Ketiga, perlahan-lahan kemudian sebuah peradaban baru muncul yang merupakan sintesis antara unsur-unsur peradaban nomaden dengan peradaban menetap yang ditaklukkannya. Jenis kota baru pun terbentuk. Berbagai jenis karya seni, arsitektur, sastra, sains dan filsafat kemudian lahir dari rahim masyarakat hibrida ini;[4]

Keempat, ketika kesejahteraan dan kekuatan bertumbuh, perlahan tapi pasti kelemahan mulai merambati jiwa warga negara. Norma-norma agama yang merupakan nilai pengikat paling kuat dalam masyarakat mulia memudar dari nalar pikir etis mereka. Kualitas feminim mulai muncul melemahkan kualitas tradisonal yang maskulin. Dan pria-pria mulai menyukai kemewahan dalam bekerja, dan mulai meninggalkan tradisi bela diri guna melindungi wilayahnya; Kelima, pada tahap selanjutnya, kemewahan dan kelemahan ini menarik perhatian masyarakat nomaden yang ada di perbatasan negaranya. Kemewahan yang dipagari oleh kelemahan, merupakan santapan empuk bagi rasa lapar dan soliditas suku nomaden. Mereka lalu menghancurkan peradaban yang sudah jumud ini.[5] Dari sini kemudian siklus kekuasaan kembali dimulai. Inilah unsur-unsur kunci dari sosiologinya Ibn Khaldun.[6]

Terkait dengan kompenen terakhir, yaitu metode, sebenarnya ini merupakan terma yang digunakan oleh para pen-syarah Kitab al-‘Ibar. Metode yang dimaksud menunjukkan apa yang dinamai oleh Ibn Khaldun dan sarjana Islam lainnya sebagai Mantiq; yaitu seperangkat aturan yang memungkinkan seseorang membedakan benar/salah, baik dalam hal definisi (hudud), yang memberikan esensi (mahiyah) sesuatu, maupun dalam argumentasi yang membawa kepada penilaian atau pembenaran (tashdiqat). Dengan metode inilah, informasi sejarah seharusnya diperlakukan.

Menurut Ibn Khaldun, metode terbaik untuk memastikan kebenaran adalah dengan metode demonstrasi premis-premis yang pasti, hingga menghasilkan pengetahuan tertentu. Namun demikian, menurut Mahdi, yang dikutip oleh Syed Farid Alatas dalam karyanya, Ibn Khaldun juga tidak sepenuhnya memenuhi kaidah di atas. Dalam muqaddimah, Ibn Khaldun lebih mengedepankan dialektika untuk memperlihatkan kelemahan penulisan sejarah yang tidak merumuskan premis-premis yang benar, swa bukti, dan primer. Tapi menurut Syed Farid Alatas, sebuah argumentasi dialektis dapat dibangun berdasarkan premis-premis yang merupakan opini yang bisa benar atau salah. Tujuan argumentasi adalah menolak atau menerima opini. Hal itu dilakukan dengan cara mengungkap absurditas opini yang tengah dibahas atau dengan menolak opini-opini yang bertentangan. Dengan kata lain, sebuah argumentasi dialektis merupakan logika murni, sehingga tidak perlu berproses dari premis-premis yang benar.

Selama berabad-abad sebelum Ibn Khaldun, para penutur sejarah, khususnya di dunia Islam, tersandera oleh keagungan dan kemuliaan sifat pada pendahulunya. Metode tradisional sangat menitik-beratkan kebenaran suatu informasi pada integritas sang perawi atau penutur, sehingga informasi apapun yang muncul dari mereka, dihadirkan ke khalayak tanpa dikritisi dan tanpa memverifikasi sifat masyarakatnya. Tapi Ibn Khaldun sebaliknya, ia menyarankan agar memeriksa terlebih dahulu informasi yang datang dengan mantiq atau metode demonstrasi. Bila informasi tersebut nyatanya keliru, karena tidak sesuai dengan sifat masyarakat dan kondisi-kondisi lingkungan yang ada pada masa itu, maka siapapun perawinya bisa ditolak.

Dalam kerangka ini, secara metodologis, Ibn Khaldun sebenarnya tidak memperkenalkan sebuah metode baru dalam keilmuannya. Ia adalah ahli waris para filsuf Islam yang mempelajari dan mengembangkan metode-metode argumentasi dari Yunani. Hanya saja, idenya untuk mengaplikasikan metode tersebut di ranah sejarah, merupakan satu hal yang baru pertama kali dilakukan oleh para ilmuwan.[7] Inilah sisi otentik dari karya Ibn Khaldun. (AL)

Bersambung…

Ibn Khaldun (7): Akhir Hayat dan Warisan Intelektual

Sebelumnya:

Ibn Khaldun (5): Otentisitas Karya (1)

Catatan kaki:

[1] Lihat, The Rise And Fall Of Empires: Ibn Khaldun’s Theory Of Social Development, https://qcurtius.com/2015/05/08/the-rise-and-fall-of-empires-ibn-khalduns-theory-of-social-development/, diakses 20 Maret 2018

[2] Lihat, Eamonn Gaeron, “Turning Points in Middle Eastern History”, USA, The Teaching Company, 2016, Hal. 72

[3] Lihat Syed Farid Alatas, “Ibn Khaldun; Biografi Intelektual dan Pemikiran Sang Pelopor Sosiologi”, Bandung, Mizan, 2013, hal. 79

[4] Lihat, The Rise And Fall Of Empires: Ibn Khaldun’s Theory Of Social Development, Op Cit

[5] Ibid

[6] Ibn Khaldun mencontohkan kasus Dinasti Umayyah yang sebelumnya demikian kuat ikatan ashobiyah-nya, hingga dapat menguasai wilayah yang demikian luas. Namun ketika Sulaiman bin Abdul Malik wafat, ikatan ashobiyyah tersebut melemah, sehingga dengan mudah mereka ditaklukkan oleh revolusi Bani Abbasiyah. Hal yang sama juga terjadi kembali ketika Dinasti Abbasiyyah mulai memburu anak keturunan Ali bin Abi Thalib. Kebijakan ini telah secara signifikan menurunkan semangat kelompok di dalam tubuh Dinasti Abbasiyyah, mengingat dinasti ini didirikan atas nama hak Bani Hasyim. Dan Ali beserta anak keturunanya adalah tokoh-tokoh terkemuka Bani Hasyim. Sejak itu, satu persatu wilayah melepaskan diri dari Dinasti Abbasiyyah dan membuat pemerintahan sendiri.  Lihat Syed Farid Alatas, Op Cit, hal. 97

[7] Lihat, Ibid, hal. 103

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*