Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (1): Seorang Diri

in Travel

Last updated on January 21st, 2018 12:12 pm

“Dunia mengenal Marco Polo sebagai penjelajah paling ternama, namun sebenarnya, terdapat seorang penjelajah Muslim yang bernama Ibnu Bathuthah yang daya jelajahnya jauh melampaui Marco Polo. Di masa hidup yang sama dengan Marco Polo, jarak penjalajahan yang ditempuh oleh Ibnu Bathuthah mencapai 120.700 km, dia menjelajah dari Maroko, jazirah Arab, Asia Kecil, anak benua India, ujung pulau Sumatra, China, dan kembali lagi ke Maroko. Selama penjelajahan, Ibnu Bathuthah menemui banyak peristiwa menakjubkan dan aneh bagi orang-orang pada masanya, bahkan untuk masa kini pun beberapa bagian masih terdengar aneh dan juga menakjubkan.”

–O–

Peta daerah penjelajahan Ibnu Bathuthah. Photo: Interfoto/Alamy Stock Photo

Gelar “penjelajah paling ternama sepanjang sejarah” biasanya melekat pada nama Marco Polo, seorang penjelajah dari Venesia yang mengunjungi China pada abad ke-13. Namun, bicara soal jarak tempuh, Marco Polo sebenarnya jauh tertinggal dibanding Ibnu Bathuthah. Meskipun sedikit diketahui di luar dunia Islam, Ibnu Bathuthah menghabiskan separuh hidupnya untuk berjalan melintasi daerah-daerah yang luas dari belahan bumi bagian timur.[1]

Selama penjelajahannya, menurut Ross E. Dunn, Ibnu Bathuthah diperkirakan telah menempuh jarak sepanjang 117.482 km.[2] Versi lain, menurut Henry Yule, jarak yang ditempuhnya adalah sepanjang 120.700 km dengan tanpa menghitung perjalanan-perjalanan selama Ibnu Bathuthah tinggal dan menetap di India.[3]

Melakukan perjalanan melalui laut, berjalan kaki, dan konvoi unta, Ibnu Bathuthah menjelajah ke lebih dari 40 negara yang kita kenal hari ini. Dia seringkali membahayakan dirinya sendiri hanya untuk memuaskan hasrat mengembaranya. Ketika akhirnya kembali ke kampung halamannya setelah 29 tahun, dia mencatat petualangannya yang luar biasa ke dalam sebuah buku yang berjudul Rihlah.[4]

Rihlah, yang berarti Perjalanan, diterbitkan pada tahun 1356 setelah dia melakukan perjalanan yang dimulai dari tanah kelahirannya Maroko–Afrika Utara, ke jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil, wilayah yang disebut para pelancong Barat dengan “Bulan Sabit yang Subur”, kemudian menuju anak benua India, ujung pulau Sumatra, dan bahkan mengunjungi Cina.[5]

Karya Ibnu Bathuthah yang berjudul Rihlah merupakan karya sastra Maroko yang paling produktif karena telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia. Rihlah merupakan catatan perjalanan Ibnu Bathuthah yang berlangsung selama hampir tiga dekade, dan termasuk ke dalam buku perjalanan yang paling terkenal dalam literatur Arab pada abad pertengahan.[6] Berikut ini adalah kisah hidupnya:

 

Penjelajah Kesepian

Ibnu Bathuthah memiliki nama lengkap Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah ibn Bathuthah.[7] Dia Lahir di Tangier, Maroko, pada hari Senin tanggal 17 Rajab tahun 700 H atau pada 14 Februari tahun 1303 M.[8] Ibnu Bathuthah dibesarkan di lingkungan keluarga hakim Islam.[9] Walaupun demikian, buku-buku petualangan dan geografi dari kalangan Arab-Islam selalu menarik perhatiannya. Berita tentang situasi kenegaraan atau kerajaan menjadi minatnya, juga kejadian-kejadian masyarakat dan keajaiban-keajaiban dunia, tak terlewatkan satu pun dari pendengarannya.[10]

Ibnu Bathuthah seringkali mendengarkan sahabat-sahabat ayahnya bercerita. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai pedagang wool yang pernah menjelajah hingga ke seluruh penjuru dunia, mereka bercerita padanya mengenai kabar-kabar dunia dan keanehan-keanehan yang begitu menakjubkan. Informasi-informasi menarik seputar kejadian di dunia dia dapatkan juga dari musafir-musafir yang singgah di pelabuhan Tangier, Ashila, Asfa, atau Fez. Berawal dari mendengarkan cerita-cerita ayahnya, sahabat-sahabat ayahnya, dan ditambah dari kegemarannya membaca pengetahuan tentang tempat-tempat di dunia dan kemudian dia membayangkan pengetahuannya tersebut, semakin bertambah pula keinginannya untuk menjelajahi dunia.[11]

Pada tahun 1325, di usianya yang ke-21, dia meninggalkan tanah airnya menuju Timur Tengah. Dia bermaksud menunaikan ibadah haji ke kota suci Mekkah sambil meneruskan belajar hukum Islam selama perjalanan. “Aku berangkat sendiri,” ujarnya bercerita, “tidak memiliki teman perjalanan untuk bersenda gurau, atau pun rombongan kafilah di mana aku bisa bergabung, tapi terhanyut oleh dorongan dalam diri yang tidak tertahankan dan keinginan di dalam dada yang menggebu untuk mengunjungi tempat suci yang termasyhur itu.” [12]

Ibnu Bathuthah cukup percaya diri melakukan perjalanan sendirian, dia beranggapan bahwa profesi hakim adalah profesi yang dibutuhkan oleh banyak orang. Sambil tersenyum dia berkata, “ayah dan kakekku adalah seorang hakim. Jadi, akupun belajar menjadi hakim juga. Ketika engkau seorang hakim, itu menjadi mudah untuk bepergian. Engkau adalah orang penting.”[13] Maka, semenjak itu, dimulailah petualangannya menjelajahi dunia seorang diri. (PH)

Bersambung ke:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (2): Menuju Kairo

Catatan Kaki:

[1] Evan Andrews, “Why Arab Scholar Ibn Battuta is the Greatest Explorer of all Time”, dari laman http://www.history.com/news/why-arab-scholar-ibn-battuta-is-the-greatest-explorer-of-all-time, diakses 19 Januari 2018.

[2] Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm. Xxxviii, dalam Maretha Widia Putri, Perkembangan Kesusastraan Arab Di Maroko (Studi Kasus: Rihlah Karya Ibnu Bathuthah), (Depok: Makalah Non Seminar Universitas Indonesia, 2016), hlm 12.

[3] Maretha Widia Putri, Ibid.

[4] Evan Andrews, Ibid.

[5] Maretha Widia Putri, Ibid., hlm 6.

[6] Julie Scott Meisami dan Paul Starkey, Encyclopedia of Arabic Literature, London: Routledge, 1998, hlm. 318, dalam Maretha Widia Putri, Ibid.

[7] Julie Scott Meisami dan Paul Starkey, Loc. Cit, dalam Maretha Widia Putri, Ibid., hlm 8.

[8] Sulaiman Fayyadh, Ibnu Bathuthah Penjelajah Dunia, Solo: Pustaka Mantiq, 1993, hlm. 147, dalam Maretha Widia Putri, Ibid.

[9] Evan Andrews, Ibid.

[10] Sulaiman Fayyadh, Loc. Cit., dalam Maretha Widia Putri, Loc. Cit.

[11] Maretha Widia Putri, Ibid., hlm 8-9.

[12] Evan Andrews, Ibid.

[13] Janet Hardy-Gould, The Travels of Ibn Battuta, (New York: Oxford University Press, 2010), hlm 2.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*