Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (2): Menuju Kairo

in Travel

Last updated on January 30th, 2018 06:34 pm

“Kairo, tak tertandingi dalam keindahan dan kemegahan.”

~Ibnu Bathuthah, 1326 Masehi

 

–O–

Ibnu Bathuthah memulai perjalanannya yang pertama kali untuk naik haji sendirian dengan mengendarai seekor keledai, “aku naik keledai dan berkata ‘selamat tinggal’ kepada ibu dan ayahku di Tangier saat berusia dua puluh satu tahun. Ibuku menangis,” ujarnya.[1]

Di perjalanan dia bertemu dengan rombongan peziarah lainnya yang mengambil jalur melambung ke arah timur dan melintasi Afrika Utara (Maroko merupakan salah satu wilayah di Afrika Utara), tepatnya di Algiers (sekarang ibu kota Aljazair). Rute yang ditempuh sulit, dan banyak perampok di sepanjang perjalanan.[2]

Dari Algiers, mereka melanjutkan perjalanan ke Konstantin (sekarang berada di Timur Laut Aljazair, dulunya merupakan ibu kota salah satu provinsi kekuasaan Romawi yang bernama Numidia).[3] Di Konstantin Ibnu Bathuthah bertemu dengan penguasa lokal setempat yang kaya raya. “Dia melihatku dengan pakaian tuaku yang kotor, tersenyum, dan memberikan pakaian baru yang indah untukku!”, serunya, “orang baik menolong orang-orang ketika mereka membutuhkannya.”[4]

Setelah beberapa hari tinggal di Konstantin mereka melanjutkan perjalanan. Mereka tidak pernah berhenti berjalan karena khawatir takut bertemu dengan perampok. Ibnu Bathuthah di perjalanan menderita demam yang sangat parah, sehingga dengan terpaksa dia mengikatkan dirinya ke pelana agar tidak terjatuh.[5] “Aku segera sakit, dan aku ingin tidur saja dan mati. Tapi teman-temanku menaikkan diriku ke keledai tuaku, dan memukul binatang itu dari belakang untuk membuatnya melaju dengan cepat di jalan,” ujarnya bercerita.[6]

Meskipun dengan segala kesulitan itu, dia masih sempat menikahi seorang perempuan muda di salah satu persinggahan. Nantinya perempuan muda tersebut menjadi istri pertama dari sepuluh istri Ibnu Bathuthah lainnya yang dia temui di perjalanan dan kemudian diceraikan ketika dia hendak pergi lagi menuju pengembaraan lainnya.[7]

Jangan membayangkan kondisi perjalanan di masa itu seperti perjalanan di masa kini, perjalanan dari Maroko menuju Mekkah pada waktu itu dapat memakan waktu sampai berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Terlebih, Ibnu Bathuthah sendiri selama perjalanan berniat untuk mendalami hukum Islam, sehingga besar kemungkinan dia menetap sementara di suatu tempat dan memperistri perempuan lokal. Salah satu sumber referensi mengatakan perjalanan Ibnu Bathuthah dari Maroko ke Mekkah memakan waktu sampai dengan 1,5 tahun.[8]

Disebutkan di beberapa sumber jika pada persinggahannya menuju Mekkah dia sempat menikah dengan perempuan-perempuan cantik dan baik yang berasal dari tempat persinggahannya, namun tidak diceritakan dengan detail di mana lokasi tepatnya dan bagaimana kehidupan pernikahannya.[9]

Ibnu Bathuthah tiba di Tunisia, di sana dia bertemu dengan serombongan kafilah yang hendak menuju Alexandria (salah satu kota di Mesir). Mengetahui Ibnu Bathuthah seorang hakim mereka memintanya untuk menjadi hakim kafilah. “Bisakah engkau menjadi hakim dalam kafilah kita?” kata mereka. “Ya,” jawab Ibnu Bathuthah. Dia berkata kepada dirinya sendiri, “hakim kafilah! Bukan pekerjaan buruk bagi seorang pemuda!”[10]

Tiba di Alexandria Ibnu Bathuthah sangat gembira, dia ingin melihat Pharos (mercu suar) Alexandria yang sangat terkenal itu. Ibnu Bathuthah kecewa, karena yang tersisa dari Pharos tersebut hanya tinggal puing-puingnya saja. Tapi tidak jauh dari Alexandria, dia bertemu dengan Burhan Al-Din, orang suci setempat. Dia berkata, “engkau akan mengunjungi India dan China, dan dalam perjalananmu, engkau akan bertemu dengan banyak teman lama.” Ibnu Bathuthah sangat bahagia mendengarnya, dia berkata, “aku akan pergi jauh!”[11]

Dari Alexandria dia melanjutkan perjalanannya ke kota besar Kairo, Ibnu Bathuthah menyebutnya “tak tertandingi dalam keindahan dan kemegahan”.[12] “Aku tiba di Kairo delapan bulan setelah meninggalkan rumah. Kota yang sangat besar! Dan sangat banyak orang-orangnya! Dan mereka tidak pernah berhenti berlari kesana kemari siang dan malam! Dan di dekat Kairo ada Piramida—bangunan tua dan besar dari penguasa Mesir di masa lalu,” ujarnya bercerita.[13]

Ibnu Bathuthah di Mesir. Lukisan karya Paul Dumouza. Photo: Fine Art Images/Heritage Images/Getty Images

Di antara semuanya, Ibnu Bathuthah sangat kagum dengan Maristan (rumah sakit) yang indah bangunannya dan para petugasnya melayani pasien dengan sangat baik.[14] Dalam catatan lain, rumah sakit di Kairo pada masa itu digambarkan seperti:

“Bilik-bilik untuk pasien memiliki luas sekitar dua lapangan, dan pada sisi lainnya terdapat bangsal, ruang kuliah, perpustakaan, pemandian, apotik, dan setiap alat yang diperlukan untuk ilmu pembedahan di masa itu. Di sana bahkan disediakan musik untuk menghibur para pasien; pelantun Al-Quran memberikan ketenangan bagi para pengunjung. Orang kaya dan miskin diperlakukan sama, tanpa biaya, dan enam puluh anak yatim dibesarkan dan dididik di sekolah yang tidak jauh dari sana.”[15] (PH)

Bersambung ke:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (3): Yerusalem

Sebelumnya:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (1): Seorang Diri

Catatan Kaki:

[1] Janet Hardy-Gould, The Travels of Ibn Battuta, (New York: Oxford University Press, 2010), hlm 2.

[2] Evan Andrews, “Why Arab Scholar Ibn Battuta is the Greatest Explorer of all Time”, dari laman http://www.history.com/news/why-arab-scholar-ibn-battuta-is-the-greatest-explorer-of-all-time, diakses 21 Januari 2018.

[3] Lebih lengkap tentang sejarah Numidia dan Romawi lihat “Aljazair (1): Pengantar”, dari laman https://ganaislamika.com/aljazair-1-pengantar/, diakses 21 Januari 2018.

[4] Janet Hardy-Gould, Loc. Cit.

[5] Evan Andrews, Ibid.

[6] Janet Hardy-Gould, Loc. Cit.

[7] Evan Andrews, Ibid.

[8] Janet Hardy-Gould, Ibid., hlm 4.

[9] Maretha Widia Putri, Perkembangan Kesusastraan Arab Di Maroko (Studi Kasus: Rihlah Karya Ibnu Bathuthah), (Depok: Makalah Non Seminar Universitas Indonesia, 2016), hlm 10.

[10] Janet Hardy-Gould, Ibid., hlm 2.

[11] Janet Hardy-Gould, Ibid., hlm 2-3.

[12] Evan Andrews, Ibid.

[13] Janet Hardy-Gould, Ibid., hlm 3.

[14] “In Cairo: 1326”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/cairo-1326, diakses 21 Januari 2012.

[15] Ross E. Dunn, The Adventures of Ibn Battuta, A Muslim Traveler of the 14th Century, California: University of California Press, 1986, hlm 50, dalam “In Cairo: 1326”, Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*