Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (3): Yerusalem

in Travel

Last updated on January 23rd, 2018 09:45 am

“Ibnu Bathuthah bukan sekedar penjelajah biasa, laporan perjalanannya memuat banyak sekali informasi-informasi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu, bahkan sampai saat ini. Di dalamnya di antaranya mengandung informasi-informasi mengenai geografi, teknologi, kependudukan, sosiologi, antropologi, politik, peristiwa, arsitektur, dan bahkan fauna.”

–O–

Lukisan Ibnu Bathuthah karya Intilaq Mohammad Ali. Photo: Fatima Sharafeddine

Selama di Mesir, Ibnu Bathuthah sempat belajar hukum Islam.[1] Dari Mesir dia melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Nil. Sepanjang perjalanan di sisi sungai Nil banyak ditemukan pemondokan-pemondokan dari ulama, hakim (qadi), dan Sufi. Perjalanan yang ditempuh oleh Ibnu Bathuthah di area ini hampir mencapai tiga minggu lamanya.[2]

Di tengah perjalanan Ibnu Bathuthah sempat bertemu orang suci, yang masih keturunan dari Nabi Muhammad SAW, orang tersebut meramalkan bahwa Ibnu Bathuthah tidak akan pernah sampai ke Mekkah kecuali mengambil rute lewat Suriah. Ibnu Bathuthah tidak mengindahkannya, dia tetap melanjutkan perjalanan sesuai dengan rencananya.[3]

Dari sana dia melanjutkan perjalanan menuju gurun pasir yang panas ke arah barat dengan menaiki unta bersama dengan rombongan Arab Badui.  Dia bermaksud menuju laut merah yang kemudian dia akan menggunakan perahu untuk menyebrang ke Mekkah.[4]

Dari Sungai Nil Ibnu Bathuthah hendak menuju Laut Merah dengan melintasi gurun pasir terlebih dahulu. Dari Laut Merah dia berencana untuk menyebrang langsung ke Mekah menggunakan perahu. Photo: worldatlas.com

Ibnu Bathuthah menceritakan bahwa di salah satu tempat di gurun pasir yang bernama Humaythira, terdapat banyak hyena yang lapar dan di malam hari mesti sangat hati-hati terhadap mereka. Benar saja, suatu malam seekor hyena mengambil tas dan semua isinya.[5] Di pagi harinya, dia menemukan tas tersebut sudah hancur berantakan beserta isinya yang sebagian besar sudah dimakan, yaitu kurma bekal Ibnu Bathuthah.[6]

Setelah lima belas hari perjalanan dia bertemu dengan penguasa setempat bersama keluarganya sedang berperang melawan pemerintahan Mamluk. Perlu diketahui, pada saat itu Mesir dan sekitarnya dikuasai oleh dinasti Mamluk.[7] Keluarga tersebut di sana sudah menenggelamkan perahu-perahu dan mengancam akan berbuat kekerasan lainnya.[8] Berikut ini adalah kisahnya:

“Setelah lima belas hari perjalanan kami sampai di kota Aydhab, sebuah kota besar, di sana tersedia banyak susu dan ikan; kurma dan gandum diimpor dari Mesir Atas. Penduduknya adalah orang-orang Bejas. Orang-orang ini berkulit hitam; Mereka membungkus diri mereka dengan selimut kuning dan mengikat ikat kepala di sekeliling kepala mereka. Mereka tidak memberi anak perempuan mereka bagian warisan mereka. Mereka hidup dengan susu unta dan mereka mengendarai Meharis (unta berpunuk satu). Sepertiga dari kota itu milik Sultan Mesir dan dua pertiganya milik Raja Bejas, yang disebut al-Hudrubi. Saat mencapai Aydhab, kami menemukan bahwa al-Hudrubi terlibat peperangan dengan orang-orang Turki (yaitu pasukan Sultan Mesir), dia (al-Hudrubi) telah menenggelamkan kapal-kapal dan orang-orang Turki telah melarikan diri dari hadapannya.”[9]

Artikel terkait:

Ibnu Bathuthah beserta rombongan terpaksa mundur, mereka kembali lagi ke Kairo, kali ini menggunakan perahu, sehingga hanya memakan waktu delapan hari saja. Ramalan orang suci tersebut benar, Ibnu Bathuthah terpaksa harus melalui jalur utara untuk menuju Mekkah, dan mau tidak mau nantinya akan melewati Suriah.[10]

Sampai di Kairo, Ibnu Bathuthah hanya beristirahat semalam,[11] besoknya dia langsung melanjutkan perjalanan menuju Yerusalem. Singkat kata, Ibnu Bathuthah tiba di Yerusalem dan sempat mengunjungi bangunan-bangunan bersejarah di sana. Di antara seluruh bangunan yang dideskripsikan oleh Ibnu Bathuthah, berikut ini adalah salah satunya:

“Qubbat as-Sakhrah (The Dome of the Rock/Kubah Batu) adalah bangunan dengan keindahan, soliditas, keanggunan, dan bentuk singularitas yang luar biasa. Terdapat pasir di bagian tengah masjid yang tinggi, dan dapat dicapai dengan tangga marmer. Dia memiliki empat pintu. Ruang di sekitarnya juga dilapisi oleh marmer, dikerjakan dengan sangat baik, dan interiornya pun demikian. Baik di luar maupun di dalam dekorasinya begitu megah, dan pengerjaannya jauh melebihi apa yang dibayangkan. Bagian terbesarnya ditutupi oleh emas sehingga mata seseorang yang memandang keindahannya akan silau oleh kecemerlangannya, bersinar seperti cahaya, benderang seperti kilat. Di tengah kubah, terdapat batu yang diberkahi, tempat Nabi naik Isra Miraj, sebuah batu seukuran sekitar tinggi manusia, dan di bawahnya terdapat sebuah gua sebesar ruangan kecil, juga dengan ketinggian manusia, dengan tangga yang mengarah sampai ke sana.”[12]

Qubbat as-Sakhrah (The Dome of the Rock/Kubah Batu) di masa kini. Photo: biblewalks.com

Artikel terkait:

Dari Yerusalem Ibnu Bathuthah akan bertolak menuju Damaskus. Perlu diketahui, Ibnu Bathuthah bukan sekedar penjelajah biasa, laporan perjalanannya memuat banyak sekali informasi-informasi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu, bahkan sampai saat ini. Di dalamnya di antaranya mengandung informasi-informasi mengenai geografi, teknologi, kependudukan, sosiologi, antropologi, politik, peristiwa, arsitektur, dan bahkan fauna. (PH)

Bersambung ke:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (4): Bertemu dengan Ibnu Taimiyah di Damaskus

Sebelumnya:

Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (2): Menuju Kairo

Catatan Kaki:

[1] Evan Andrews, “Why Arab Scholar Ibn Battuta is the Greatest Explorer of all Time”, dari laman http://www.history.com/news/why-arab-scholar-ibn-battuta-is-the-greatest-explorer-of-all-time, diakses 21 Januari 2018.

[2] Nick Bartel, “The Travels of Ibn Battuta, In Cairo: 1326”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/cairo-1326, diakses 21 Januari 2018.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Janet Hardy-Gould, The Travels of Ibn Battuta, (New York: Oxford University Press, 2010), hlm 3-4.

[6] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 53.

[7] Lebih lengkap tentang Dinasti Mamluk, lihat “Shajarat al-Durr: Pendiri Dinasti Mamluk”, dari laman https://ganaislamika.com/shajarat-al-durr-pendiri-dinasti-mamluk/, diakses 22 Januari 2018.

[8] Nick Bartel, Ibid.

[9] Ibn Battuta, Ibid., hlm 53-54.

[10] Nick Bartel, Ibid.

[11] Ibid.

[12] Ibn Battuta, Ibid., hlm 56.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*