“Shiraz (sekarang Iran), selain sebagai kota metropolis yang memukau juga banyak melahirkan generasi orang-orang suci.”
–O–
Dalam bukunya yang berjudul Rihlah¸ Ibnu Bathuthah memberikan porsi yang cukup panjang mengenai kerberadaan orang-orang suci di Shiraz dan sekitarnya. Beberapa nama yang disebut oleh Ibnu Bathuthah di antaranya adalah Ahmad bin Musa Kazhim, Syekh Majd ad-Din Ismail, Syekh Abdallah ibnu Khafif, as-Sa‘di (penyair besar Persia), dan Syekh Abu Ishaq al-Kazaruni (seorang tokoh penyebar Islam dan sangat dihormati oleh orang-orang China dan India).
Artikel kali ini akan membahas dua di antara mereka, yaitu Syekh Majd ad-Din Ismail dan Syekh Abdallah ibn Khafif. Pada waktu itu Syekh Majd ad-Din Ismail masih hidup dan Ibnu Bathuthah sempat menemuinya, sementara Syekh Abdallah ibn Khafif sudah meninggal dan Ibnu Bathuthah hanya berziarah ke makamnya. Berikut ini kisahnya:
Syekh Majd ad-Din Ismail
Penduduk Baghdad, Shiraz, dan Isfahan memiliki kecenderungan untuk membangkang terhadap perintah penguasa setempat. Menyadari hal tersebut, penguasa pada waktu itu, Sultan Khudabanda, hendak memanggil masing-masing Qadi dari ketiga kota tersebut. Oleh Sultan, para Qadi dianggap orang yang berpengaruh terhadap perilaku penduduk kota. Qadi yang pertama kali dipanggil adalah Syekh Majd ad-Din Ismail, Qadi kota Shiraz.
Sultan memelihara anjing-anjing yang sangat buas dan sudah dilatih untuk memangsa manusia. Anjing-anjing tersebut digunakan oleh Sultan untuk mengeksekusi orang-orang yang membangkang kepadanya. Ketika seseorang akan dieksekusi, dia dilepas di sebuah dataran yang luas. Di sana, anjing-anjing buas akan dilepas rantai lehernya, dan mereka berlari memburu mangsanya. Setelah tertangkap, anjing-anjing akan menggigit dan mengoyak orang tersebut sampai mati, dan kemudian mereka menyantapnya.
Tibalah saatnya Syekh Majd ad-Din Ismail dipanggil ke kediaman Sultan di Qarabagh. Ketika Syekh Majd ad-Din Ismail tiba, Sultan memerintahkan agar dia dilempar ke dataran luas di mana anjing-anjing itu sudah siap untuk dilepaskan. Ketika rantai dilepas, anjing-anjing itu mendekat ke Syekh Majd ad-Din Ismail, bukannya memburu dan menyerang dengan buas, mereka malah menggoyangkan ekornya dan menunjukkan sikap yang bersahabat kepadanya.
Mendengar peristiwa tersebut, Sultan kemudian berubah sikap dan menaruh hormat yang begitu besar terhadap Syekh Majd ad-Din Ismail. Sultan memberikan hadiah yang sangat banyak untuknya, termasuk seratus desa di Jamkan, yang merupakan distrik terbaik di Shiraz.
Ketika di Shiraz, Ibnu Bathuthah sempat bertemu dengan Syekh Majd ad-Din Ismail. Ibnu Bathuthah menggambarkan Syekh Majd ad-Din Ismail sebagai “keajaiban zaman”. “Ketika sampai di kediamannya, beliau hendak shalat Ashar; Aku memberi hormat kepadanya dan dia memelukku dan meraih tanganku sampai dia sampai di sajadahnya, dia mengajakku untuk shalat di sisinya. Setelahnya, orang-orang terkemuka di kota mendekat untuk memberi salam kepadanya, tampaknya itu telah menjadi kebiasaan mereka baik di pagi maupun sore hari. Lalu dia bertanya kepadaku tentang perjalanan dan daerah yang telah aku kunjungi, dan memintaku untuk bermalam di madrasahnya. Syekh Majd ad-Din sangat dihormati oleh raja Irak,” kata Ibnu Bathuthah.
Di kemudian hari, sekitar 20 tahun berlalu, ketika Ibnu Bathuthah datang kembali ke Shiraz sepulang dari India tahun 1347, dia bertemu kembali dengan Syekh Majd ad-Din Ismail. Pada saat itu dia sudah tua dan lemah, dan sulit untuk berjalan. Namun dia masih mengenali Ibnu Bathuthah, dia berdiri dan memeluk Ibnu Bathuthah.
Suatu hari Ibnu Bathuthah mengunjunginya kembali, pada saat itu, Sultan Shiraz (Abu Ishaq) sedang ada di hadapan Syekh Majd ad-Din Ismail sambil menutup kedua kupingnya sendiri. Menurut Ibnu Bathuthah, pada masa itu di Shiraz, tindakan menutup kuping adalah suatu bentuk penghormatan untuk orang-orang yang dihormati, sebagaimana yang orang-orang Shiraz lakukan ketika bertemu raja misalnya.
Syekh Abdallah ibnu Khafif
Abdallah ibn Khafif atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Sang Syekh”, menempati posisi yang tinggi di antara orang-orang suci. Sang Syekh sudah meninggal ketika Ibnu Bathuthah berkunjung ke Shiraz, dan dia hanya sempat menziarahi makamnya. Namun kisah hidupnya masih dikenang oleh masyarakat setempat.
Suatu hari Syekh sedang melakukan perjalanan bersama 13 orang Darwish ke gunung Sarandib (Puncak Adam) di pulau Ceylon (sekarang Sri Lanka). Di perjalanan mereka tersesat di sebuah tempat yang sama sekali tidak ada penduduknya. Dilanda kelaparan, mereka meminta izin kepada Syekh untuk menangkap seekor gajah kecil untuk disembelih dan dimakan. Di daerah tersebut, gajah memang ada dalam jumlah yang sangat banyak. Mereka juga merupakan hewan sarana transportasi bagi penduduk setempat.
Syekh tidak mengizinkan, namun karena kelaparan yang amat sangat para Darwish tetap bersikeras untuk melakukannya. Kemudian, dibunuhlah seekor gajah kecil dan mereka menyantapnya, namun Syekh menolak untuk ikut makan. Di malam harinya, ketika mereka sedang terlelap, gajah-gajah mengepung dari berbagai arah. Para gajah tersebut mengendus mereka satu per satu sebelum mereka melakukan pembalasan dan membunuh para Darwish.
Para gajah juga mengendus Syekh, namun mereka tidak melakukan kekerasan apapun kepadanya. Sebaliknya, salah satu gajah meraih Syekh dengan belalainya dan mendudukan dia di atas punggungnya. Lalu para gajah mengantarkan Syekh ke daerah yang ada penduduknya. Setelah sampai, gajah tersebut menurunkan kembali Syekh menggunakan belalainya. Peristiwa tersebut disaksikan oleh banyak orang, dan kisahnya diceratakan kembali turun temurun.
Terhadap penduduk Ceylon, Ibnu Bathuthah memberikan pujian, menurutnya orang-orang Ceylon, walaupun mereka penganut Buddha, mereka sangat bersahabat terhadap Muslim. Mereka mengizinkan para Darwish menginap di rumah mereka, juga berbagi makanan. Lain halnya dengan orang-orang India penganut Hindu, menurutnya mereka kurang bersahabat, tidak pernah mengizinkan para musafir Muslim untuk menginap di rumah mereka apalagi berbagi makanan. (PH)
Bersambung ke:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (13): Imam Mahdi
Sebelumnya:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (11): Isfahan dan Shiraz
Catatan: Artikel ini merupakan adaptasi dan terjemahan bebas dari buku Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 92-97.