Mozaik Peradaban Islam

Ibnu Jubair (5): Para Perampok Hijaz

in Tokoh

Last updated on January 6th, 2020 01:26 pm

Sejak jauh hari sebelum kelahiran Islam, jalan-jalan kuno ini telah dipenuhi oleh suku-suku lokal yang beringas, yang hanya memiliki harta benda dari hasil penjarahan para pelancong yang melintas.

Foto Ilustrasi

Segala sesuatunya bertambah buruk ketika Ibnu Jubair tiba di Arabia. Memang, bagian paling berisiko dari perjalanan Ibnu Jubair berada di Hijaz, yakni di sepanjang rute yang menghubungkan pantai ke Makkah dan Madinah. Sejak jauh hari sebelum kelahiran Islam, jalan-jalan kuno ini telah dipenuhi oleh suku-suku lokal yang beringas, yang hanya memiliki harta benda dari hasil penjarahan para pelancong yang melintas.

Pada akhir abad ke-12, karavan tahunan dari Suriah melakukan sebuah penyerangan terhadap klan-klan yang serakah ini, dimulai dari gerbang Damaskus dan melanjutkannya hampir tidak terputus hingga ke Makkah – jaraknya seribu mil (sekitar 1.600 km). Kesucian ziarah (haji) adalah hal terakhir yang ada di benak para perampok ini.

Mereka memandang karavan-karavan haji yang tak dikenai pajak dan melintas di tanah mereka adalah sebagai suatu bentuk undangan untuk dijarah, tidak lebih. Bagi para peziarah yang cukup abai untuk melewati Hijaz tanpa perlindungan, metode yang biasa dilakukan oleh para perampok ini adalah dengan menelanjangi dan mengambil unta mereka. Kita telah menyaksikan bagaimana ini ujungnya nanti sebagaimana yang terjadi terhadap Naser-e Khosraw.

Baca juga:

Umat Islam pada waktu itu selalu memandang perjalanan haji sebagai peluang untuk mengatasi berbagai kesulitan. Perjuangan untuk berpasrah, bersabar, dan saling menjaga terhadap sesama jamaah haji diyakini dapat mendatangkan imbalan spiritual dalam catatan amal perjalanan haji.

Namun, bahkan bagi seorang yang saleh seperti Ibnu Jubair pun tidak dapat mengartikan keinginan Allah lainnya terhadap kekerasan yang dilakukan oleh para perampok Hijazi yang kejam ini. Marah dengan metode mereka, pada satu titik dia merekomendasikan bahwa seluruh wilayah  itu harus “dibersihkan dengan pedang”, kemudian menyimpulkan bahwa perjalanan haji sama sekali tidak layak, bahwa para para ahli hukum yang bijaksana itu, ketika melaksanakan tugas mereka, malah melepas para calon jamaah haji pada waktu yang buruk.

Tidaklah mengejutkan untuk mengamati kemudian bahwa tidak ada seorang khalifah pun yang rela mempertaruhkan lehernya demi mengamankan perjalanan haji dalam empat ratus tahun.

Namun, begitu memasuki gerbang kota Makkah dengan selamat, Ibnu Jubair menulis dengan nada yang sangat berbeda. Sebuah daerah yang secara khusus diatur oleh hukum sakral, kota ini tampak seperti sebuah bagian surga di bumi, sebuah kerajaan yang damai yang penuh dengan spiritualitas dan ketertiban, di mana setiap pengunjung memperhatikan dengan hati-hati larangan terhadap prasangka buruk dan segala bentuk kekerasan.

Kerumunan orang tidak saling menekan atau mendorong; para peziarah dalam melaksanakan ibadah saling menghormati. Waktu-waktu kanonik membagi hari dengan panggilan untuk salat, dan seluruh populasi menjalankan kehidupan dengan tradisi. Keamanan mendalam dari distrik Haram ini lebih menawan, berkebalikan dengan Hijaz. Bahkan pasar dialiri dengan susu dan madu, berkat sedekah dari Muslim Yaman, yang menopang kota dengan barang-barang gratis sepanjang tahun.

Ketika waktu haji akhirnya tiba, Ibnu Jubair mencatatnya dengan cermat, bukan sebagai pengamat luar tetapi sebagai peserta dengan mata yang jeli terhadap detail-detail. Dia memberikan penggambaran yang rinci tentang perkemahan di Arafah dan menyajikan panduan berziarah nomor wahid, memberikan sensasi nyata dari ritual sakral yang jauh kepada para pembacanya di rumah, di Spanyol.

Dia juga penulis perjalanan haji pertama yang mencatat tentang peningkatan pesat pada infrastruktur haji, mulai dari sistem pengairan hingga tangga-tangga yang diukir dengan biaya besar menuju Gunung Arafah.

Sepanjang perjalanan, dia menyampaikan nuansa perjalanan pejalan kaki dan juga tandu unta mewah untuk orang kaya, di mana penunggangnya mengendarai di bawah kanopi pelindung yang tidak terganggu oleh angin dan matahari, tidur di kasur, bermain catur, dan membaca.

Ibnu Jubair kembali ke Spanyol ketika ibadah haji selesai, melakukan perjalanan melalui Mesopotamia, Suriah, dan Sisilia. Dia mencapai Granada pada bulan April 1185, dan bukunya terbit empat tahun kemudian. Disusun dalam bentuk buku harian namun dikonstruksikan dengan cermat, terbagi menjadi dua puluh tujuh bab, setiab babnya adalah catatan perjalanan dalam waktu satu bulan.

Ditujukan untuk orang-orang yang beriman, buku ini adalah karya seorang Muslim yang taat, lengkap dengan pujian atas perlindungan Allah dan pendekatan teologis ketika menghadapi situasi yang sulit. Dia juga jeli dan jujur dalam pandangannya. Jika Naser-e Khosraw menulis dengan ringkas, maka tidak dengan Ibnu Jubair, dia menyampaikan pemikirannya dalam setiap halaman.

Perjalanannya tidak selalu mudah, dan dia tahu kota yang bagus ketika dia melihatnya — sebuah kualitas yang paling penting dalam semua penulisan perjalanan yang baik. Tidak ada dalam catatan perjalanan haji lainnya yang menggambarkan tentang keamanan dan spiritualisme wilayah suci yang dijelaskan secara terperinci.


Demikianlah pemaparan dari Michael Wolfe tentang perjalanan Ibnu Jubair. Pada artikel seri-seri selanjutnya, kami akan menampilkan kutipan perjalanan haji yang ditulis oleh Ibnu Jubair langsung. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*