Mozaik Peradaban Islam

Ibrahim bin Adham (4): Hijrah ke Makkah

in Tasawuf

Last updated on February 10th, 2021 02:51 pm

Di padang gurun dia bertemu seseorang yang mengajarinya Nama-nama Allah. Tidak lama kemudian dia bertemu Nabi Khidr yang berkata, “Ibrahim, tadi itu adalah saudaraku Daud yang mengajarimu.”

Foto ilustrasi: Ancient Origin

Farid al-Din Attar menuturkan:

Ketika apa yang dilakukan oleh Ibrahim bin Adham diketahui oleh banyak orang, dia menjadi terkenal karenanya. Oleh karena itu dia memutuskan untuk meninggalkan gua yang selama ini ditinggalinya (di Nishapur) dan pergi ke Makkah.

Di padang gurun dia bertemu dengan salah satu tokoh besar dalam keimanan, yang mengajarinya Nama-nama Yang Maha Besar dan kemudian berangkat. Ibrahim menyebut Allah dengan Nama itu, dan segera dia melihat Khidr alaihi salam.

“Ibrahim,” kata Khidr, “tadi itu adalah saudaraku Daud yang mengajarimu Nama-nama Yang Maha Besar.”

Kemudian Khidr dan Ibrahim berbicara banyak hal. Khidr adalah orang pertama yang menarik Ibrahim keluar (untuk mendapat pencerahan spiritual), dengan izin Allah. Ibrahim menceritakan sebagai berikut tentang tahapan perjalanan haji selanjutnya:

Saat mencapai Dhat al-’Erq, aku melihat tujuh puluh orang yang mengenakan jubah yang terbuat dari kain gombal. Mereka terbaring mati di sana, darah mengucur dari hidung dan telinga mereka. Mengitari mereka, aku menemukan seseorang yang masih memiliki percikan kehidupan dalam dirinya.

“Anak muda!” seruku, “apa yang terjadi di sini?”

“Putra Adham,” jawabnya, “tetaplah di dekat air dan tempat salat. Jangan pergi jauh-jauh, jika tidak engkau akan terusir; dan datanglah jangan terlalu dekat, jika tidak engkau akan menderita. Janganlah ada orang yang bersikap berlebihan di hadapan Sultan.

“Milikilah ketakutan yang nyata terhadap Sang Sahabat yang telah membunuh para peziarah seolah-olah mereka adalah orang kafir Yunani dan menabuh perang kepada para peziarah.

“Kami adalah kelompok sufi yang berangkat ke padang gurun dengan beriman kepada Allah, bertekad untuk tidak mengucapkan sepatah kata pun, untuk tidak memikirkan apa pun selain Allah, untuk berbuat dan teguh hanya berpandangan kepada Allah dan tidak mengindahkan apapun selain Dia.

“Ketika kami telah menyeberangi gurun dan tiba di tempat para peziarah mengganti pakaian ihram, Khidr alaihi salam mendatangi kami.

“Kami mengucapkan salam kepadanya, dan dia membalas salam kami, dan kami sangat bahagia, berkata, ‘Alhamdulillah, perjalanan ini diberkahi, para pencari Allah telah mencapai pencariannya, karena manusia suci telah datang untuk menemui kami.’

“Tiba-tiba sebuah suara berseru dalam diri kami, ‘Kalian pembohong dan pemain sandiwara, begitukah kata-kata dan perjanjianmu?! Kalian melupakan Aku, dan menyibukkan diri kalian dengan yang lainnya. Pergilah! Aku tidak akan berdamai dengan kalian sampai Aku merebut jiwa kalian sebagai pembalasan dan menumpahkan darah kalian dengan pedang kemarahan.’

“Orang-orang pemberani yang engkau lihat terbaring di sini adalah korban dari pembalasan ini. Waspadalah, Ibrahim! Engkau pun memiliki ambisi yang sama (dengan kami). Berhentilah, atau pergi jauh!”

“Lalu mengapa mereka mengampunimu?” tanyaku, yang sangat kebingungan dengan kata-katanya.

“Mereka mengatakan kepadaku, ‘Mereka sudah matang, sedangkan engkau masih mentah. Hiduplah sebentar lagi, dan engkau juga akan matang. Ketika engkau matang, engkau juga akan tiba setelah mereka.’ Setelah berkata demikian, dia meninggal.

Farid al-Din Attar melanjutkan narasinya:

Selama empat belas tahun Ibrahim melintasi gurun, berdoa dan merendahkan diri di sepanjang perjalanan. Ketika dia mendekati Makkah, para sesepuh Haram yang mendengar tentang kedatangannya keluar untuk untuk menemuinya.

Dia pergi duluan meninggalkan karavan agar tidak ada orang yang mengenalinya. Para pelayan tiba terlebih dahulu ketimbang para sesepuh, dan mereka melihat Ibrahim berjalan di depan karavan. Namun karena belum pernah melihat Ibrahim sebelumnya, mereka tidak mengenalinya.

Mendekatinya, mereka berteriak, “Ibrahim bin Adham sudah dekat. Para sesepuh Haram telah keluar untuk menemuinya.”

“Apa yang kalian inginkan dari zindik itu (yaitu Ibrahim bin Adham sendiri)?” tanya Ibrahim.

Mereka langsung menyerang dan menghajarnya.

“Para sesepuh Makkah keluar untuk menemuinya, dan engkau menyebutnya sebagai seorang zindik!?” mereka berteriak.

“Menurutku dia zindik,” ulang Ibrahim.

Ketika mereka meninggalkannya, Ibrahim tidak berpura-pura lagi menjadi orang lain.

“Hah!” serunya. Dia berbicara kepada dirinya sendiri, “Engkau menginginkan para sesepuh keluar untuk menemuimu. Baiklah, engkau telah mendapatkan beberapa pukulan. Alhamdulillah, karena aku telah melihat keinginanmu!”

Ibrahim kemudian tinggal di Makkah. Lingkaran pertemanan terbentuk di sekitarnya, dan dia mendapatkan rotinya dengan mendayagunakan tangannya, bekerja sebagai tukang kayu.[1] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 70-73.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*