Fenomena kearab-araban itu artifisial dan superfisial, agaknya tidak salah jika saya menyimpulkan bahwa ini akibat krisis identitas yang akut.
Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab
Saya punya banyak teman dari kalangan yang disebut keturunan Arab yang berbicara fasih dalam bahasa daerah di Nusantara ini. Para habib itu dapat hidup nyaman, damai, melebur, dan lincah dalam suatu komunitas di Nusantara ini sekalipun wajah dan rupa mereka sangat berbeda.
Di Tempel, Sleman ada Habib Ahmad Bafagih yang hidup sepenuhnya sebagai orang Jawa. Demikian pula di Pekalongan dengan sosok Habib Luthfi. Di luar Jawa juga fenomena seperti ini sangat umum ditemui. Di Madura, habib yang mampu berbahasa Madura dengan fasih pastilah akan diterima melebihi habib yang tak mampu berbahasa Madura.
Lalu ada pula Almarhum Habib Hasan Syueb yang tinggal di Purwakarta. Walaupun tampak jelas wajahnya berbeda dengan kebanyakan orang Sunda, tapi dia sudah sepenuhnya jadi Sunda. Begitu halus dalam bertutur kata sampai Almarhum Kang Jalal (Jalaluddin Rakhmat, cendekiawan Muslim dan pakar Ilmu Komunikasi-red) pernah menyampaikan kepada saya bahwa Habib Hasan lebih Sunda daripada dirinya. Dan saya kira penilaian Kang Jalal bukan tanpa dasar, karena bahasa itu memang kunci asimilasi paling cepat sekaligus paling menukik.
Hal yang sama juga dapat kita saksikan dengan semua kelompok lain. Begitu ada anggota kelompok yang terampil berbahasa daerah tertentu, betapapun unik wajah dan warna kulitnya, mancung atau pesek hidungnya, tetap dia akan dianggap bagian integral kelompok tersebut.
Malah kita sering menyaksikan formasi kelompok sosial terwujud hanya karena mereka memiliki bahasa sandi atau bahasa gaul sendiri.
Jadi, sekali lagi, kesimpulan bahwa bahasa adalah perekat dan pembentuk utama kelompok sosial bukan tanpa dasar. Dan jika kesimpulan ini tidak bisa kita generalisasi karena satu dan lain alasan, maka pastilah kesimpulan ini dapat kita aplikasikan pada kasus Arab dan kearaban.
Yang menarik dalam kasus Arab, Arabisasi yang berlangsung bersamaan dengan meluasnya dinasti-dinasti Arab tidak lebih dari proses menyebarnya bahasa Arab dalam berbagai belahan dunia dan suku-suku bangsa lain.
Arabisasi, dalam beberapa kasus, berlangsung sebagai bagian penyebaran Islam. Bahasa Arab pun mendominasi unsur-unsur serapan dalam banyak bahasa daerah di dunia. Apalagi karena bahasa ini juga merupakan bahasa wahyu ilahi yang sakral maka Arabisasi itu terjadi secara alamiah. Siapa saja yang beragama Islam pasti akan menggunakan bahasa ini dalam ibadah sehari-hari.
Oleh karena itu, sebagaimana terbukti dalam sejarah Islam, para pengembang dan pengguna bahasa ini sudah melampaui berbagai unsur pembentuk identitas Arab lain seperti lokasi geografis dan budaya. Begitu banyak kalimat Arab yang menyusup dan menyisip dalam kesadaran berpikir, bersikap, dan bertutur kata mayoritas umat Muslim yang jumlahnya begitu banyak.
Di samping itu, mereka yang mempelajari dan berinteraksi dengan umat Muslim di seluruh dunia yang jumlahnya berkali-kali lipat tak pelak mengenali dan menggunakan kalimat-kalimat bahasa ini.
Jika hari-hari setelah pandemi nanti Anda berkesempatan mengunjungi negeri-negeri Arab, Anda akan terheran-heran. Ada yang hitam legam, dan ada pula yang nyaris seperti londo. Ada yang mata coklat dan ada pula yang mata biru.
Satu negeri Arab memiliki adat istiadat yang berbeda dengan negeri lain. Ada yang memiliki ideologi kiri dan ada yang kanan. Ada yang pro Barat dan ada yang melawan Barat. Ada yang mayoritas Islam dan dipimpin Muslim dan ada yang tidak.
Walhasil, penanda kearaban mereka nyaris tinggal bahasa. Jika bukan karena bahasa, barangkali tidak lagi mereka bisa disebut dalam satu himpunan nama yang sama.
Makanya tak heran bila kita melihat para pengarang kamus Arab, pengembang ilmu-ilmu bahasa Arab, sastrawan Arab, pemikir Arab, pengarang Arab, penafsir kitab-kitab Arab, dan sebagainya tidak pernah tinggal dan menetap di Jazirah Arab.
Malah secara historis para ulama Islam terdahulu sebetulnya memang bukan orang Arab dalam arti geografis dan adat istiadat. Bahkan, sebagian besar mereka tetap memiliki identitas kebangsaan khas mereka. Tapi tidak pula mereka dapat dianggap non-Arab, malah banyak yang oleh para sarjana dimasukkan sebagai para filosof dan pemikir Arab.
Dan fenomena ini semuanya terjadi karena turunnya wahyu itu dalam bahasa Arab. Maka itu, entah apapun alasannya, bisa saja terjadi ada masanya ketika orang-orang Arab per definisi geografis punah, seperti yang pernah terjadi, lalu muncul orang-orang Arab dalam arti pengguna bahasa ini di wilayah lain.
Jika dahulu kala saja bahasa adalah unsur sentral untuk mengidentifikasi Arab, baik sebagai badui ataupun bukan, apatah lagi di masa-masa kini dan selanjutnya yang interaksi manusia berlangsung secara lebih intens dan mutual.
Kembali ke fenomena kearab-araban yang beberapa dekade lalu muncul. Selain jelas fenomena itu artifisial dan superfisial, agaknya tidak salah jika saya menyimpulkan bahwa fenomena ini juga akibat krisis identitas yang akut. Boleh jadi malah akibat dari perasaan tidak memiliki apa-apa.
Tapi yang berbahaya dan patut diwaspadai jika ternyata fenomena ini bersumber dari ilusi keunggulan ras, yang jelas-jelas sepanjang sejarah telah dipergunakan oleh para penguasa untuk mendominasi dan menghegemoni.
Kita patut mencurigainya karena kebanyakan orang yang tampil kearab-araban itu ternyata tidak mengerti dan mengenali bahasa Arab, apatah lagi menghayati kekayaan makna yang terkandung di dalam Alquran.
Tampak sekali gairah itu sebagai semangat yang mendongkrak konflik dengan yang lain-lain. Dan saya tentu akan berlepas diri dari identitas yang demikian tidak bermutu dan tidak otentik itu.[]
Bersambung ke:
Sebelumnya: