Mozaik Peradaban Islam

Ilusi Identitas Arab: Sebuah Pengalaman dan Klarifikasi (13): Ibnu Arabi dan Metabahasa Wahyu (1)

in Studi Islam

Last updated on June 12th, 2021 02:46 pm

Sejak saat itulah saya langsung mabuk. Tersungkur rebah di hadapan bahasa ini. Ia langsung terasa menghunjam dada.

Foto: Google/Unknown

Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab

Dulu saya memperlakukan bahasa Arab seperti umumnya bahasa lain. Bahasa Arab waktu itu buat saya tidak keluar rasanya. Tidak ada tendangannya. Sekadar kumpulan memori kosakata, tata bahasa, dan beberapa idiom umum.

Saya pun tidak peduli dan enggan belajar serius bahasa ini. Guru-guru bahasa Arab kala itu agaknya kurang telaten mengeluarkan isi perut dan rahasia bahasa ini kepada saya. Karena itu ia tidak menyentuh saya.

Bahkan, di masa kecil, saya harus akui bahwa saya cenderung acuh tak acuh dengan bahasa Arab, terutama karena saya mengira bahasa itu milik elit yang kebanyakannya tidak mengagumkan.

Tibalah kemudian melewati usia 30 tahun, Penerbit Mizan meminta saya menerjemahkan bab bersuci dari al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibnu Arabi. Meski sudah lama mendengar nama tokoh besar ini, saya tidak pernah benar-benar menyelami karyanya.

Saat itu, dengan perasaan penuh kekhawatiran sekaligus kerendahan hati, saya mulai menggeluti al-Futuhat. Syarah-syarahnya saya coba pahami sambil membandingkan teks aslinya dengan beberapa terjemahannya ke dalam bahasa Inggris, terutama karya Eric Winkel.

Winkel yang berusaha keras patuh setia pada keharfiahan teks Ibnu Arabi lantas banyak mengandalkan Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur untuk memandunya memasuki jagat bahasa mistis dan performatif Ibnu Arabi.

Dalam menjelaskan alasannya mengandalkan Lisan al-‘Arab Ibnu Manzhur, Winkel menulis begini:

“Mengapa dalam terjemahan ini saya mendasarkan pada kamus Lisan al-‘Arab-nya Ibnu Manzhur? Sebab, setelah bertahun-tahun bergumul dengan karya-karya Ibnu Arabi, saya sampai kepada kesimpulan bahwa kunci untuk memahami tulisan-tulisannya adalah bahasa Arab.

“Bahasa ini bukanlah bahasa Arab yang hidup dan dipakai oleh bangsa Arab, melainkan bahasa yang dengannya Alquran diturunkan dan bahasa yang digunakan oleh Rasulullah saw. Ia adalah bahasa yang kosakatanya telah dikumpulkan oleh Ibnu Manzhur dan para penyusun kamus lainnya dalam banyak kamus, yang merupakan wahana untuk melestarikan kata-kata berharga yang menjadi kunci untuk menilik Alquran.”

Ibnu Arabi paling dikenal dengan gaya ungkapnya yang sangat sulit, penggunaan bahasanya yang pelik, dan wacananya yang berlapis-lapis. Setelah melalui banyak kerja keras, saya menyadari bahwa kunci yang dibutuhkan untuk memahami tulisan-tulisannya adalah bahasa Arab.

Setiap contoh kekusutan dapat dipecahkan dengan bahasa ini lantaran Ibnu Arabi, lebih dari penulis-penulis lainnya, mengartikulasikan tilikan-tilikan batinnya terutama sekali dengan memakai kerangka bahasa Arab.

Contoh-contoh langka anekdot dalam al-Futuhat berperan sebagai pembanding untuk menunjukkan betapa mudah dimengertinya gagasan-gagasan yang bersandar pada pengalaman. Pasase-pasase yang paling sulit sekalipun sebetulnya dapat dicuraikan dengan bahasa Arab yang menjelaskan (‘arabiyyin mubin, menurut istilah Alquran), sehingga orang bisa menyadari bahwa kunci membuka suatu pasase terletak pada makna khasnya yang terkandung dalam kosakata Arab.

Gudang makna-makna yang tersimpan dalam bahasa Arab yang saya pergunakan ini semuanya ada dalam Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur. Hal lain yang saya pelajari adalah bahwa terjemahan acapkali merupakan penghalang untuk memahami Alquran dan dengan demikian juga karya-karya Ibnu Arabi.

Apa yang diperlukan bukanlah terjemahan, melainkan penjabaran medan semantik. Sebagai contoh, kata hukumah biasanya diterjemahkan menjadi “pemerintahan” (government). Padahal, dalam tataguna bahasa Arab, hukumah mencakup konsep “menarik tali kekang kuda”. Orang Arab mengatakan bahwa peran hukumah adalah mengekang penindasan si penindas.

Dalam pasase-pasase pengetahuan tentang makna Arab ini sangat penting, terjemahan seperti apapun akan lebih menjadi kendala ketimbang penolong. Sebaliknya, penjabaran medan semantik kata yang seperti itu akan sangat membantu.

Akhirnya, suka tidak suka, saya pun jadi kerap membuka-buka Lisan al-‘Arab. Barangkali waktu itu saya lebih sering mengembara dalam semesta bahasa Arab yang begitu luas ketimbang melakukan hal-hal lain yang lebih membumi.

Dan harus saya akui, hari-hari itu adalah salah satu periode hidup saya yang paling tidak wajar. Meski sering tiba-tiba geli sendiri melihat apa yang sedang saya lakukan, bolak-balik membukai kamus, mencari-cari celah makna yang mungkin bocor halus dari suatu kata atau ungkapan, tapi itulah momen yang sangat membahagiakan.

Kegelian itu juga kerap terjadi saat saya beberapa kali mencoba berbagi kebahagian itu dengan istri, yang terhenyak lalu terbengong tanpa respons. Barangkali dia iba melihat kegilaan yang sedang menimpa suaminya, sambil berpikir apa pentingnya mengurus kata dan makna-maknanya sampai seperti itu.

Sejak saat itulah saya langsung mabuk. Tersungkur rebah di hadapan bahasa ini. Ia langsung terasa menghunjam dada. Saya menemukan bahasa Arab jauh lebih daripada umumnya bahasa lain. Ia adalah bahasa universal, coding, bahkan semacam operating system yang menjembatani makna dengan kata.

Inilah algoritma yang mengurutkan buat kita tangga-tangga menuju alam makna yang tidak terhingga. Atau lebih tepatnya, bahasa Arab adalah metabahasa untuk mengungkap dan menyibak semua rahasia.[]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*