Bagi Ibnu Arabi, bahasa Arab bukan sekadar bahasa percakapan, apalagi sekadar bahasa suatu kaum. Dan itulah mengapa dia yang begitu pluralis senang dengan gelar Ibnu al-Arabi (anak Arab).
Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab
Ibnu Arabi memperlakukan bahasa Arab sebagai metabahasa untuk mengungkapkan berlapis-lapis makna dari berjenjang-jenjang realitas yang secara terus-menerus memanifestasikan diri. Ia lebih mirip dengan enkripsi yang menyimpan khazanah penciptaan.
Baginya, bahasa Arab bukan sekadar bahasa percakapan, apalagi sekadar bahasa suatu kaum. Sama sekali tidak. Dan itulah mengapa dia yang begitu pluralis senang dengan gelar Ibnu al-Arabi (anak Arab).
Bahasa ini adalah salinan dari kitab penciptaan yang terungkap dengan kata-kata wahyu Alquran. Dengan demikian, bahasa Arab lebih merupakan praktik, latihan, dan pengalaman menangkap tanda-tanda ilahi yang senantiasa menjelma, bukan sekadar kumpulan kosakata yang tersimpan dalam kamus-kamus semata.
Bagi Ibnu Arabi, bahasa Arab mampu menampung penyingkapan yang dialaminya seperti menceritakan lelucon. Siapapun yang telah mencoba menjelaskan sifat jenaka yang terkandung dalam lelucon secara diskursif dan ilmiah belaka pasti sadar bahwa kejenakaan itu akan segera lenyap sesaat setelah dipindahkan dari seni peragaannya menjadi bahasa visual, oral, ataupun tekstual.
Untuk memahami konteks lelucon (atau pengalaman mistis) yang dihadirkan oleh kata Arabnya, orang harus bisa membayangkannya dalam peragaan dan pertunjukan. Jadi di sini, bahasa muncul sebagai sebuah peragaan dan pertunjukan live, bukan wacana atau data yang sudah direkam dalam kata-kata.
Bagi Ibnu Arabi yang telah diakui lawan maupun kawan sebagai pemikir Islam papan atas, bahasa Arab Alquran itu hidup dan performatif, karena Allah yang mewahyukannya pada Nabi yang menyampaikannya juga hidup abadi azali. Dan bila kita lihat secara harfiah ayat 4 surah an-Najm, maka kita menemukan bahwa wahyu itu terus diwahyukan.
Tiap huruf, kata, kalimat, dan teks serta konteks wahyu terikat dengan keadaan (hal) dan tingkatan (maqam)kita masing-masing, dalam pengalaman dan kejadian yang terus berlangsung, dalam ruang waktu yang berbeda-beda. Dan semua itu hanya mungkin diutarakan oleh bahasa performatif, atau metabahasa yang memberi kejelasan dan petunjuk pada yang membaca dan mengalaminya.
Sebagaimana kekayaan Allah tidak terbatas, begitu pula penyingkapan khazanah-Nya mustahil dibatasi. Tiap makhluk selalu fakir pada curahan rahmat-Nya, selama-lamanya. Dan untuk memasuki ranah pengalaman itu, orang harus menjadi anak Arab (Ibnul ‘Arabi) yang jelas dan awas sekaligus ibnul waqti (anak waktu) yang menyadari perwujudan dan manifestasi yang berganti dan menyempurna tiap saat. Dan bukanlah kebetulan jika Ibnu Arabi yang lahir nun jauh dari Semananjung Arabia itu punya ikatan dan perasaan seperti itu dengan bahasa Arab ini.
Lebih jauh, jika kita baca puisi-puisi Sufi Islam secara umum, maka ikatan dengan bahasa Arab seperti yang dirasakan Ibnu Arabi itu juga jamak dialami. Seakan-akan makna dan kehadiran ilahi itu mengalir dengan fasih dan deras melalui bahasa itu. Rumi dan Hafiz Syirazi sama-sama meminjam bahasa Arab dalam mengungkap syair-syair hikmah mereka.
Sebagian peneliti menyatakan bahwa akibat pengaruh besar bahasa Arab Alquran dan syair-syair tasawuf Persia—barangkali juga tasawuf manapun di belahan lain dunia Islam—maka bahasa Persia pada gilirannya mengalami arabisasi yang serius. Bahasa Persia kuno pun perlahan larut sebagai bahasa objek dan Arab menjadi metabahasanya.
Lebih lanjut, para pemikir Islam sepakat bahwa kita tak bisa memahami Alquran tanpa mengenal bahasa ini. Bagi mereka, bahasa Arab itu adalah metabahasa untuk memahami dan mengenali realitas-realitas yang lebih tinggi.
Atau dengan kata lain, bahasa Arab adalah logika bahasa yang jelas dan terang untuk menemukan tanda-tanda Ilahi. Barangkali itulah sebabnya Alquran berulangkali menjadikan ‘araby sebagai kata sifat bahasa (lisan), bukan sebagai bahasa objek.
Seperti akan saya sampaikan pada bagian lain tulisan ini, agaknya tidak salah jika kita mengatakan si A berbahasa Inggris dengan ‘araby dan si B berbahasa Inggris dengan ‘ajamy untuk membedakan cara berbahasa Inggris yang fasih dan tidak.
Bahasa Arab itu memang bukan sekadar bahasa, tapi metabahasa yang mengantar kita memasuki wilayah wahyu ilahi. Inilah bahasa yang tiap hurufnya punya makna, dan tiap bangunan kosakatanya terdiri atas huruf-huruf yang bermakna itu.
Sesuai kaidahnya, tiap tambahan huruf pada bangunan kata akan menambah maknanya (ziyadatul mabani tadullu ‘ala ziayadatil ma’ani). Makna huruf yang tersusun jadi kosakata akan bertambah lagi bila disusun dalam kalimat dan rangkaian kalimat. Ketika kosakata itu disusun dalam rangkaian kalimat, maka tiap kalimat itu memiliki makna yang bermacam-macam, tembus ke dalam dimensi-dimensi yang tidak terbatas.
Belum lagi bahasa ini juga mengandalkan fonetik. Dari bagian ini saja muncul ilmu qira’ah, tajwid, dan tartil. Satu kata dengan bunyi tertentu, timbul makna tertentu dan dengan bunyi lain timbul makna lain lagi. Dan begitu seterusnya.
Masing-masingnya juga nanti terkait dengan balaghah, bayan, badi’, dan sebagainya. Intinya, inilah bahasa yang nyaris mustahil bisa dipahami semata sebagai teks tanpa mengetahui konteks dan keadaan si penuturnya, dan sebaliknya mustahil orang mengetahui konteks tanpa memperhatikan teksnya.
Apalagi bahasa ini juga punya kemampuan membalik-balik kata untuk menekankan makna yang berbeda, semisal wara’a yang berarti belakang kadang harus dimaknai depan, basysyir yang berarti berita gembira kadang harus dimaknai ancaman, ‘adzab yang semula berarti manis menjadi berarti siksa, dan lain-lain. Tentunya di sini kita tidak akan memasuki detail-detail keistimewaan bahasa Arab, karena topik itu di luar cakupan tulisan ini.[]
Bersambung ke:
Sebelumnya: