Nabi bersabda, “Aku adalah paling fasihnya orang Arab, meski aku dari Quraisy.” Dalam hadis ini Nabi ingin menegaskan bahwa kefasihannya itu tidak ada hubungannya dengan suku tertentu.
Oleh Musa Kazhim al-Habsyi | Penerjemah dan Koresponden TV Arab
Pada bagian sebelumnya saya telah mengutip beberapa hadis yang menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad menggunakan kosakata ‘araba (عرب) beserta berbagai derivatnya dalam arti berbahasa yang jelas.
Salah satu hadis terkenal yang dapat kita jumpai dalam banyak referensi klasik Islam adalah hadis ini: “أنا أفصح العرب بيد أني من قريش”
Artinya: “Aku adalah paling fasihnya orang Arab, meski aku dari Quraisy.”
Para ahli hadis lalu memperdebatkan matan dan sanad hadis ini. Kita tak perlu masuk dalam perdebatan itu, lantaran hampir semua sepakat bahwa sekalipun sanad hadis itu lemah tapi kandungannya pasti benar. Tidak ada yang meragukan bahwa Nabi Muhammad adalah orang paling fasih berbahasa Arab.
Di sini baiknya saya kutip saja pendapat Jawad Ali yang telah bersusah payah menulis puluhan jilid buku seputar sejarah Arab. Menurutnya, hadis ini memiliki susunan kalimat yang unik, khususnya karena ada partikel negatif bayda di dalamnya.
Akibat munculnya partikel negatif itu maka orang dapat memahami banyak makna dari sabda tersebut. Namun begitu, semua sepakat bahwa sabda Nabi itu ingin menafikan klaim suku Quraisy sebagai penutur Arab yang fasih.
Lebih lanjut, Ali memberikan kemungkinan makna hadis itu sebagai berikut: “Aku adalah orang yang paling fasih berbahasa Arab, meskipun aku hanya bagian dari salah satu kaum yang mampu menuturkannya, yakni Quraisy.”[1]
Dalam hadis ini seolah Nabi ingin menegaskan bahwa kefasihannya melampaui semuanya itu tidak ada hubungannya dengan suku tertentu, tapi sebagai bagian dari keistimewaannya sendiri. Dengan kata lain, keistimewaan kefasihan itu tidak terkait dengan Quraisy yang mengira dirinya paling fasihnya suku yang berbahasa Arab.
Jika kita ambil pendapat Ali di atas, maka kita sekali lagi menemukan konfirmasi atas pandangan yang sejak semula sudah kita ajukan. Bahwa Arab dan kearaban itu adalah identitas dan atribut kebahasaan, bukan yang lain-lain. Ia bukan identitas suku, bangsa, dan atau sifat geografis tertentu.
Dan karena itulah dalam matan hadis tadi, Nabi menegaskan bahwa kefasihannya berbahasa Arab tidak terkait dengan suku Quraisy. Malah seolah beliau ingin menegasikan kesan itu dari audiens yang mendengarnya.
Selain itu, ungkapan “Aku adalah paling fasihnya Arab” menunjukkan bahwa Arab dalam terminologi Nabi, yakni di zaman Nabi masih hidup, tidak dianggap sebagai nomenklatur suku atau bangsa.
Jika Arab di zaman Nabi itu merujuk pada bangsa atau suku, maka seharusnya Nabi menyatakan “Aku adalah paling mulianya orang Arab” atau “Aku adalah paling hebatnya orang Arab” dan sebagainya. Tapi di sini, dan juga di hadis-hadis lain, Nabi menyebutnya dengan ungkapan “Aku adalah paling fasihnya Arab”.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa khalifah kedua Umar bin Khattab pernah terheran-heran dan berkata kepada Nabi: “Bagaimana engkau dapat menjadi yang paling fasih di antara kita padahal engkau bukan dari keturunan kami?!”
Lalu dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu kali ada orang Arab yang datang dan mendengar Nabi berbicara. Lalu dia berkata kepada beliau: “Betapa fasihnya engkau, wahai Rasulullah! Kami tidak pernah menyaksikan orang yang lebih Arab (a’rabu=lebih fasih) dibandingkan engkau.”
Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: “أنا أفصح من نطق بالضاد، بيد أني من قريش”
Artinya: “Aku adalah orang yang paling fasih mengucapkan huruf ض (dhad), meskipun aku dari Quraisy.”
Huruf dhad kerap dianggap sebagai simbol bahasa Arah, sehingga bahasa Arab kadang disepadankan dengan bahasa dhad. Para ahli hadis berselisih paham ihwal kalimat hadis ini, lantaran beliau menggunakan partikel negatif bayda.
Kebanyakan ahli hadis juga menolak sanad hadis itu dan melemahkannya. Namun, tidak ada satupun yang meragukan kandungannya, karena kefasihan Nabi tidak memerlukan dukungan sanad hadis atau yang lainnya.
Tapi, hadis yang paling relevan dengan pandangan kita adalah hadis yang telah kita kutip sebelumnya. Yakni hadis Nabi yang menyodok protes a’rab yang mempertanyakan pembelaan Salman al-Farisi, Bilal al-Habasyi, dan Shuhaib al-Rumi terhadap Nabi.
Beliau bersabda, “Wahai sekalian manusia! Tuhan kalian semua satu, Bapak kalian satu, dan agama kalian satu. Dan Kearaban (al-‘arabiyyah) itu bukan ayah atau ibu kalian, melainkan itu adalah bahasa. Siapa saja yang berbahasa Arab maka dia adalah ‘araby…!”
Salah satu bagian dari kalimat hadis di atas kembali Nabi pakai dalam Haji Perpisahan. Beliau bersabda: “…Wahai sekalian manusia! Tuhan kalian satu. Ayah kalian satu. Kalian semua dari Adam dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa. Tidak ada keutamaan ‘araby atas ‘ajamy kecuali dengan ketakwaan…”
Di sini Nabi ingin menghapuskan anggapan Jahiliah bahwa ‘araby dan ‘ajamy itu adalah dua strata atau kelas sosial. Padahal, keduanya merupakan cara berbahasa dan bertutur. Sekiranya dua sebutan itu merujuk pada suku dan kelas, maka tentu kriteria ketakwaan itu menjadi tidak relevan. Dan ini juga yang Allah tegaskan dalam surah Fussilat di bagian lalu.[]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lebih jauh mengenai pembahasan ini, silakan rujuk Jawad Ali, al-Mufashshal fi Tarikh al-‘Arab. Jawad Ali adalah sejarawan asal Irak yang memiliki spesialisasi dalam sejarah Islam dan Arab. Dia menerima gelar doktornya dari Universitas Hamburg pada tahun 1939. Buku karyanya yang jika diterjemahkan kurang lebih berarti Sejarah Arab sebelum Islam, menjadi salah satu karya yang paling banyak dirujuk bagi para peneliti yang ingin mengetahui kondisi Arab sebelum datangnya Islam.