Mozaik Peradaban Islam

Invasi Napoleon ke Mesir (1): Sang Ambisius

in Monumental

Last updated on June 18th, 2018 12:43 pm

“Napoleon bermimpi untuk dapat menyamai prestasi Alexander Agung sebagai pahlawan, bahkan dengan harapan dapat melebihinya. Maka bersama 400 armada kapal lautnya, Napoleon berangkat dari Prancis untuk menaklukan Mesir.”

–O–

Lukisan Napoleon Bonaparte karya Jacques Louis David (1748-1825), sekarang menjadi koleksi milik Musée national des châteaux de Malmaison et de Bois-Préau.

Pada 1 Juli 1798, di pagi hari, 400 kapal laut berlayar ke pelabuhan Mesir di Alexandria. Tak tertandingi oleh pasukan lokal, armada Prancis ini dengan cepat menurunkan muatan tentaranya: 36.000 pasukan, termasuk 3.000 kavaleri, 2.000 artileri, dan ribuan staf pendukung. Pasukan besar invasi ini dipimpin oleh seorang jenderal berusia 28 tahun: Napoleon Bonaparte. Dalam invasi dan penaklukan Mesir, Napoleon memulai tantangan yang paling ambisius dari kehidupannya yang sudah dramatis. Apabila menang, maka reputasi dan nama besarnya akan semakin melambung tinggi, sedangkan apabila dia kalah, namanya dengan mudah akan terhapus dari halaman-halaman sejarah.[1]

 

Ambisi Napoleon

Bagi Napoleon — seorang yang percaya pada takdir pribadi — menyerang Mesir akan memberinya peluang untuk menapaki jejak Alexander Agung, atau bahkan sampai melampaui kepahlawanannya. Napoleon menguraikan rencana invasi terhadap Mesir dalam sebuah surat yang disampaikan kepada Direktorat Prancis (le Directoire), sebuah pemerintahan Prancis yang terdiri dari lima orang eksekutif, mereka terbentuk setelah revolusi Prancis, ditunjuk oleh badan legislatif.[2]

Di dalam suratnya, Napoleon menguraikan tiga argumentasi. Pertama, invasi akan mengacaukan kepentingan Inggris di Mediterania Timur dan sekitarnya. Kedua, invasi terhadap Mesir akan mempromosikan kepentingan komersial Prancis dan membantu ekspansi imperial. Ketiga, permintaan Napoleon agar rencana invasinya ini didukung merupakan sesuatu yang masuk akal dan sudah diperhitungkan, bahwa pada saat itu Prancis tidak cukup kuat untuk berhadapan langsung dengan Inggris.

Namun terlepas dari tiga alasan Napoleon untuk melakukan invasi ke Mesir, Direktorat sebenarnya memiliki alasan rahasia yang keempat. Napoleon telah menjadi pahlawan nasional di Prancis, dan, karenanya, itu merupakan ancaman bagi Direktorat. Ada desas-desus yang berkembang di tengah masyarakat bahwa Napoleon berencana untuk merebut kekuasaan.

Untuk mencegah kudeta yang mungkin terjadi, Direktorat memberikan restu kepada rencana invasi Napoleon, yang, bagaimanapun juga, akan berlangsung sangat jauh dari Paris, dan dapat dengan mudah berakhir dengan kegagalan. Ketika Napoleon akhirnya kembali ke Paris dari Mesir, benar saja dia melakukan kudeta. Dia memenuhi ketakutan terburuk Direktorat pada tahun 1799. Untuk sementara, pada saat ini, bagaimanapun, pada 19 Mei 1798, dia berlayar dari Toulon menuju Mesir, dengan armada 400 kapal.[3]

 

Status Mesir

Mesir telah menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman sejak tahun 1517, tetapi pada tahun 1798 tidak lagi di bawah kendali Selim III, Sultan Ottoman pada saat itu. Mesir sebaliknya, pada saat itu diperintah oleh prajurit lokal yang dikenal sebagai Mamluk. Mereka hanya membayar kesetiaan nominal kepada sultan yang berada jauh di Konstantinopel.[4]

Orang-orang Mamluk dulunya adalah budak yang diperkerjakan untuk menjadi tentara. Namun seiring dengan berjalannya waktu mereka berhasil memenangkan kendali politik di beberapa negara Muslim selama Abad Pertengahan. Ketika di bawah pemerintahan Kesultanan Ayyubiyah, para jenderal Mamluk menggunakan kekuatan mereka untuk mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Mesir dan Suriah dari tahun 1250 hingga 1517. Nama Mamluk berasal dari bahasa Arab yang berarti “budak”.[5]

Orang-orang Mamluk terkenal akan keberanian dan keterampilan mereka dalam menggunakan senjata. Secara turun-temurun orang-orang Mamluk mewarisi kemampuan militer, dan mereka terbiasa hidup dengan tradisi-tradisi militeristik. Di Mesir yang tengah menjadi negara semi permanen, orang-orang Mamluk bertarung satu sama lain dalam pertarungan yang mematikan. Situasi ini benar-benar merusak kemampuan mereka untuk memerintah, karena satu demi satu penguasa Mamluk dibunuh oleh pesaing lainnya.

Pertikaian yang terjadi terus-menerus telah menyebabkan kenaikan pajak yang tinggi, yang sebagian besar ditanggung oleh para pedagang. Akibatnya, volume perdagangan menurun, dan sudah pasti laba juga ikut turun. Seakan itu tidak cukup buruk, Mesir kemudian dilanda wabah penyakit pes. Atas situasi tersebut, pedagang Prancis yang berada di Mesir meminta bantuan kepada siapapun yang dapat membantu mereka, mereka menulis surat baik kepada Direktorat di Prancis maupun Selim III di Konstantinopel.

Napoleon berharap, dengan sedikit pesimis, bahwa setelah beberapa dekade kekacauan dan ketidakamanan, orang Mesir akan menyambutnya sebagai pembebas mereka. Para pedagang Prancis di Mesir melihat kedatangan Napoleon sebagai jawaban atas doa-doa mereka, sementara itu, penduduk setempat justru kurang terkesan.[6] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Napoleon ke Mesir (2): Pertempuran Piramida

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 232.

[2] M. Lyons, “France under the Directory (1975)”, The Columbia Electronic Encyclopedia, 6th ed. Copyright © 2012, Columbia University Press. All rights reserved., dari laman https://www.infoplease.com/encyclopedia/history/modern-europe/french-history/directory, diakses 16 Juni 2018.

[3] Eamon Gearon, Ibid., hlm 232-234.

[4] Ibid., hlm 234.

[5] “Mamlūk”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Mamluk, diakses 16 Juni 2018.

[6] Eamon Gearon, Loc. Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*