Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (15): Abdul Qadir (12)

in Monumental

Last updated on December 29th, 2018 01:35 pm

Di Damaskus, Abdul Qadir mengajari para ulama tentang karya Ibnu Arabi. Namun otoritas keagamaan setempat tidak menyukainya. Peristiwa yang terjadi kepada Ibnu Arabi enam abad sebelumnya terulang kembali.

Abdul Qadir di Damaskus. Photo diambil oleh Francis Bedford pada musim panas tahun 1862.

Guru Spiritual

Di Damaskus, Abdul Qadir membeli tiga rumah yang sangat besar. Rumah-rumah itu kemudian disatukan sehingga luasnya seperti lapangan sepak bola. Rumah itu tidak hanya cukup luas bagi keluarga, pengikut, serta orang-orang yang mengunjunginya, tetapi itu sudah seperti zawiyah, yaitu pusat keagamaan yang terbuka untuk semua orang. Orang-orang bisa datang ke sana untuk berbicara, mencari bantuan, atau menyelesaikan perselisihan. Setiap hari Jumat, Abdul Qadir membagikan roti kepada orang-orang miskin Damaskus, yang akan mengantri di depan rumahnya. Rumah besar Abdul Qadir adalah investasi yang sangat bijak — mungkin lebih dari yang dia perkirakan — karena sebuah peristiwa besar yang akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang akan memperlihatkan manfaat lain dari rumah ini.[1]

Pada akhirnya Abdul Qadir mampu melangkah menuju ke apa yang dianggapnya sebagai peran dia yang sesungguhnya, yakni sebagai guru spiritual, bukan lagi sebagai jenderal perang. Kelas hariannya di Masjid Agung sangat diminati oleh banyak orang. Secara khusus dia juga mengajar sekelompok ulama tentang karya-karya Ibnu Arabi, yang mana sangat membantu dalam pelestarian tulisan-tulisan penting ini untuk generasi mendatang. Abdul Qadir sendiri sebenarnya tidak menganggap dirinya sebagai guru spiritual, tetapi sebagai peziarah yang masih mencari kebenaran dan pemahaman. Dia menganggap murid-muridnya bukan sebagai murid atau pengikut, tetapi lebih seperti sesama pencari.[2]

Yang pasti, benih-benih ketidaksukaan mulai bermunculan di Damaskus. Sama seperti halnya yang terjadi kepada Ibnu Arabi enam abad sebelumnya, mufti dan pejabat Islam lainnya di Damaskus tidak menyukai pendatang baru ini, yang pengetahuan dan karakternya telah melampaui mereka. Tetapi bagi sebagian besar Muslim Suriah, Abdul Qadir dianggap telah menghadirkan tiga peran yang sangat dihargai dalam budaya Islam, yaitu sebagai: Marabout dan keturunan Nabi Muhammad, seorang ulama dan guru, dan yang paling penting, pembela Islam dan pemimpin jihad.[3]

Meskipun Abdul Qadir mensyukuri peran intelektual dan spiritual yang dia pikir telah ditujukan untuknya oleh Tuhannya, namun bukan berarti dia menjadi abai terhadap dinamika yang terjadi di sekitarnya. Dia terus mengikuti berita melalui pers Arab, dan terlibat dalam korespondensi dan percakapan dengan banyak orang. Selain itu, sekarang dia juga dapat berbuat banyak untuk meningkatkan kualitas kehidupan orang-orang melalui metode dan teknik modern yang diketahuinya. Dia membeli tanah, melakukan proyek pertanian, mempromosikan pembangunan jalan, dan membangun jembatan. Berkat dana santunan yang terus disediakan pemerintah Prancis, dia dan keluarganya bisa hidup nyaman dan pada saat yang sama dia juga dapat bermurah hati kepada orang lain.[4]

Sebagai pemimpin komunitas, Abdul Qadir memainkan peran penting lain di lingkungannya. Sebelum Adul Qadir datang, di Damaskus sudah ada sekelompok orang Aljazair. Mereka adalah mantan para pejuang yang berperang melawan penjajahan Prancis, dan beberapa pria yang mengabdi kepada Prancis dalam Perang Krimea. Ketimbang kembali ke Aljazair, mereka lebih memilih untuk tinggal di Damaskus. Abdul Qadir kemudian membeli lebih banyak properti, sebagian besar di pusat kota di dekat rumah besarnya, yang difungsikan untuk menjadi rumah tinggal untuk keluarganya dan orang-orang lain yang membutuhkan. Orang-orang Aljazair itu berkembang menjadi komunitas yang dekat dengan Abdul Qadir karena kepemimpinan dan nasihatnya.[5]

Orang-orang Aljazair ini, terutama para laki-lakinya, karena mereka dapat aktif dalam kehidupan publik, dalam catatan sejarah sering disebut sebagai orang-orangnya “Abdul Qadir al-Jaziri”. Namun, keberadaan mereka dalam sistem sosial dan politik Suriah, menghadirkan masalah, dan penguasa Turki Ustmani (Ottoman) punya alasan untuk mempertanyakan mereka. Karena sebagian kegiatan mereka didukung oleh dana dari Perancis, apakah itu menjadikan mereka sebagai warga negara Prancis? Atau mungkinkah mereka adalah kepanjangan tangan kerajaan Perancis, yang selalu meraih lebih banyak pengaruh di daerah itu? Atau mungkinkah mereka sedang berusaha untuk menghidupkan ide-ide tentang nasionalisme bangsa Arab?[6]

Setidaknya orang-orang Aljazair ini dulunya adalah simbol perlawanan bangsa Arab terhadap dominasi asing, dalam konteks ini Ottoman pun termasuk dalam kategori orang asing. Dengan situasi seperti ini, bahkan di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, orang-orang Aljazair masih merasakan kegelisahan dengan statusnya sebagai kelompok minoritas.[7]

Pada saat yang bersamaan, sering kali urusannya dengan pejabat mengingatkan Abdul Qadir bahwa dia masih belum cukup bebas. Ketika dia ingin melakukan kunjungan ke Yerusalem, Hebron, dan Betlehem, kota-kota yang memiliki makna religius yang mendalam bagi umat Islam dan juga bagi orang Yahudi dan Kristen, dia menemukan beberapa hambatan. Untuk pergi ke sana, dia membutuhkan izin khusus — bukan dari Ottoman tetapi dari otoritas Prancis, yang masih ragu dengan komitmennya untuk tidak lagi mengangkat senjata. Pada tahun 1857 Abdul Qadir berhasil melakukan kunjungan singkat ke Yerusalem dan situs-situs terdekat, tetapi dengan syarat Georges Bullad, penerjemahnya, harus selalu menemaninya dan melapor secara teratur kepada menteri luar negeri Prancis.[8]

Pada akhir tahun 1859, Kolonel Charles Henry Churchill, seorang purnawirawan tentara Inggris yang menetap di Lebanon, datang menemui Abdul Qadir. Churchill telah menjadi sahabat Abdul Qadir ketika dia masih tinggal di Bursa. Churchill berkeinginan untuk menuliskan tentang detail kehidupan Abdul Qadir. Di antara selepasnya kelas siang dan sebelum dimulainya kelas sore, di mana Abdul Qadir biasa mengajar, setiap harinya Abdul Qadir meluangkan waktunya untuk berbicara dengan Churchill. Upaya mereka menghasilkan satu-satunya karya tentang biografi Abdul Qadir yang dituliskan dalam bahasa Inggris pada abad ke-19.[9] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (16): Abdul Qadir (13)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (14): Abdul Qadir (11)

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 79.

[2] 80

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ibid., hlm 80-81.

[7] Ibid., hlm 81.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*