Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (16): Abdul Qadir (13)

in Monumental

Last updated on January 2nd, 2019 12:28 pm

Pada musim semi tahun 1860, di Gunung Lebanon terjadi ketegangan politik yang berujung kepada kerusuhan besar. Peristiwa ini kemudian menyebar hingga ke Damaskus, dan Abdul Qadir terjebak di tengah situasi ini.

Kerusuhan di Gunung Lebanon

Selama berabad-abad orang-orang di wilayah pegunungan Lebanon dapat menikmati tingkat kebebasan yang besar. Mereka mampu memerintah diri mereka sendiri dengan cukup efektif, dan mereka cukup berhati-hati dengan cara membayar pajak kepada Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman), penguasa Dinasti Islam terbesar pada saat itu. Karena alasan ini, dan karena kontur wilayahnya yang sangat terjal, orang-orang Turki tidak pernah mencoba untuk memaksakan penguasaan mereka atas orang-orang di pegunungan sebagaimana yang mereka lakukan terhadap seluruh tanah Arab lain di sekitarnya. Namun, segalanya berubah pada paruh pertama abad ke-19. Penyebab utamanya adalah perkembangan sosial dan politik di Gunung Lebanon itu sendiri, dan juga diperparah oleh pengaruh dari kekuatan luar.[1]

Di bagian utara pegunungan, hiduplah orang-orang Kristen Maronit, mereka adalah pengikut Katolik Roma dan telah lama didukung oleh Prancis. Selama beberapa dekade mereka telah bermigrasi ke bagian selatan gunung yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang Darzi (Druze) — yang didukung oleh Inggris, yang memiliki motivasi untuk menjaga kesimbangan pengaruh kekuatan Eropa di wilayah tersebut. Orang Maronit, yang jumlahnya lebih banyak, terus berkembang menjadi semakin kuat, dan orang Darzi merasa terancam karenanya. Sementara itu, Ottoman melihat perseteruan yang terus berkembang ini sebagai kesempatan bagi mereka untuk turun tangan dan mendapatkan kendali lebih besar.[2]

Orang-orang Darzi (Druze) di Lebanon pada masa kini. Photo: The Daily Star/Mohammad Azakir

Dalam kondisi seperti ini, kekerasan mungkin menjadi tidak terhindarkan. Pada akhir Mei 1860, ribuan orang dibantai, dan sejumlah desa dan biara dihancurkan. Orang-orang Darzi, meskipun jumlahnya lebih sedikit, adalah petarung yang lebih unggul, oleh karena itu orang-orang Kristen menderita kerugian yang lebih besar. Prajurit Ottoman, yang dikirim untuk mengamankan, malah bergabung untuk melawan orang-orang Kristen, mereka membunuh dan juga menjarah. Sekitar lima ribu orang Kristen, kebanyakan wanita dan anak-anak, berhasil melarikan diri ke Damaskus. Di sana mereka berlindung di rumah-rumah dan gereja-gereja Kristen. Kehadiran mereka mau tidak mau menambah tingkat kepadatan kota itu. Di tengah situasi politik yang memanas, maka segala macam rumor dan isu dapat berkembang ke arah yang buruk.[3]

Orang-orang Kristen Maronit Lebanon pada masa kini. Photo: Total War History

Meskipun situasi di Damaskus dipengaruhi oleh masalah yang terjadi di Gunung Lebanon, tapi para pemain dan penyebabnya berbeda. Akibat tekanan kepentingan Eropa, baik politik dan ekonomi, yang telah tumbuh selama bertahun-tahun, Suriah, khususnya Damaskus, menjadi sangat terpengaruh. Pasar dan industri setempat dengan terpaksa mesti memberi jalan terhadap masuknya barang-barang dari Eropa. Pada pertengahan abad ke-19, orang-orang Suriah merasa terdesak oleh perubahan-perubahan yang terjadi, di antaranya mengenai kepemilikan tanah, perdagangan, manufaktur, perpajakan, perkembangan sosial, dan, tentu saja, kenaikan harga pangan.[4]

Pemerintah Ottoman, yang memiliki kekhawatiran sendiri, tidak dapat membantu memperbaiki kondisi tersebut. Imperium Ottoman yang hampir berusia enam ratus tahun, sedang mengalami proses kemunduran, dan kekuatan-kekuatan besar Eropa dengan sabar sedang menunggu kesempatan untuk mencaplok wilayah Ottoman. Dengan lepasnya kekuasaan Ottoman atas Yunani, Mesir, dan Aljazair, mereka kemudian memperketat cengkeramannya di negara-negara Arab. Dalam situasi seperti ini, Gubernur Ottoman untuk Damaskus, Ahmad Pasha, tampaknya memutuskan untuk menggunakan strategi lama, yaitu dengan cara “memecah belah dan menaklukkan.” Dia memperkuat dukungannya kepada Muslim dan Darzi, dan mendorong mereka untuk melawan orang-orang Kristen.[5]

Di seluruh Suriah dan Palestina, orang-orang Kristen adalah kelompok minoritas yang diberi jaminan dan hak-hak tertentu oleh pemerintahan Ottoman, sepanjang mereka tidak bertingkah macam-macam. Pada tahun-tahun menjelang tahun 1860 status mereka menjadi lebih istimewa, tapi juga sekaligus berbahaya bagi stabilitas yang telah terbentuk, terutama karena perubahan yang mengikuti setelah berakhirnya Perang Krimea pada tahun 1856.[6]

Sebagai imbalan karena telah mendukung Ottoman untuk melawan Rusia dalam Perang Krimea, kekuatan Eropa kemudian menuntut hal-hal tertentu kepada mereka. Dari seluruh tuntutan tersebut, yang paling bermasalah adalah dekrit tentang persamaan hak. Kekuatan Eropa meminta agar orang-orang Kristen di seluruh wilayah kekuasaan Ottoman mendapatkan hak yang setara dengan Muslim, baik itu secara sipil, politik, maupun militer. [7]

Persoalannya adalah, bagi banyak Muslim, gagasan bahwa orang Kristen secara resmi harus setara dengan mereka adalah suatu bentuk penghinaan. Mereka kemudian menjadi lebih membenci keputusan baru ini karena pada dasarnya itu dipaksakan oleh kekuatan Eropa yang oleh mereka dianggap sebagi gangguan dan juga ancaman. Dukungan Eropa untuk komunitas Kristen, diyakini oleh banyak orang, akan membuat negara-negara Arab menjadi lebih terbuka terhadap tekanan asing yang semakin membesar. Dalam masa kemunduran, kelemahan, dan kebingungan di dunia Muslim ini, para pemimpin yang tidak bermoral dapat dengan mudah mempolitisirnya. Mereka memanfaatkan sentimen identitas ini dan lalu membangun opini bahwa orang-orang Kristen lah sumber dari segala permasalahan.[8] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (17): Abdul Qadir (14)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (15): Abdul Qadir (12)

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 82.

[2] Ibid.

[3] Ibid., hlm 82-83.

[4] Ibid., hlm 83.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm 83-84.

[8] Ibid., hlm 84.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*