Berkata pengikutnya, ‘Engkaulah pemimpin kami. Kami akan mengikutimu ke mana pun.’ Abdul Qadir menjawab, ‘Aku telah memenuhi kewajibanku terhadap Allah. Sekarang aku telah menemukan diriku tidak berdaya…. Aku ingin istirahat dari lelahnya peperangan.’
Menyerah
Setelah perang panjang yang dimulai pada tahun 1939, pada Desember 1843 Abdul Qadir dan pasukannnya terdesak, sehingga mereka memutuskan untuk melarikan diri dan meminta perlindungan ke Maroko. Di Maroko, ide-ide tentang jihad melawan asing telah menyebar luas pada masyarakatnya. Abdurrahman, Sultan Dinasti Alawi Maroko pada saat itu, untuk menjaga popularitasnya – atau karena khawatir popularitasnya akan tersaingi Abdul Qadir – memutuskan untuk mendeklarasikan perang terhadap Prancis.[1]
Dalam perang melawan Prancis, tentara Maroko dihancurkan pada pertempuran sengit di perbatasan di Wadi Isly dekat Oujda pada 14 Agustus 1844. Setelahnya, kapal perang Prancis membombardir pelabuhan Essaouira dan Tangier. Dengan kekalahan ini, Maroko meminta perdamaian kepada Prancis, dan mereka membuat pernyataan, mengatakan bahwa Abdul Qadir bukanlah seorang mujahid (orang yang berperang di jalan Allah), melainkan hanya seorang mufsid (orang yang berbuat kerusakan).[2]
Bahkan salah seorang syekh terkemuka dari tarekat Tayyibiyya, yang pengikutnya tersebar di seluruh Maroko dan Aljazair, memberikan pernyataan yang menyudutkan Abdul Qadir. Dia berkata, “Para Iblis yang menyaru sebagai pejuang perang suci, dengan dalih agama, dan menyesatkan mereka…. siapapun yang mendengarkan kebohongan mereka, dan menyeret mereka ke dalam bahaya, dan meninggalkan mereka.”[3]
Dari sejak tahun 1844 hingga 1847, hubungan antara Abdul Qadir dengan Kesultanan Maroko terus memburuk. Puncaknya adalah terjadinya perang saudara di antara mereka untuk memperebutkan Rif, Maroko Utara, sebuah tempat yang merupakan basis wilayah perjuangan Abdul Qadir beserta para pengikutnya. Bagi Sultan Abdurrahman, keberadaan orang-orang Aljazair di sana membuat seoalah ada negara di dalam negara. Selain itu, popularitas Abdul Qadir di antara rakyat Maroko juga dikhawatirkan dapat menggoyahkan legitimasi kerajaannya. Lalu dikombinasikan dengan tekanan yang terus meningkat dari Prancis, maka Abdurrahman menilai keberadaan Abdul Qadir adalah ancaman besar bagi seluruh kesultanan.[4]
Abdul Qadir diberi peringatan untuk menyerahkan diri ke Fez, atau meninggalkan wilayah Maroko melalui padang pasir Sahara. Dengan tekanan pasukan Maroko yang terus menyerang, maka Abdul Qadir pergi menyebrangi sungai Muluwiyya. Sampai di perbatasan, Abdul Qadir menemukan pertahanan Prancis terlalu ketat, dia dan pasukannya tidak mungkin dapat menembusnya.[5]
Di tengah situasi seperti itu, Abdul Qadir mengumpulkan para kepala suku, mereka berbicara kepadanya, “Biarkan para wanita dan anak-anak binasa, milik kami dan juga engkau, selama engkau baik-baik saja dan mampu melanjutkan pertempuran Allah. Engkaulah pemimpin kami, sultan kami; bertarung atau meletakkan senjata, apapun yang engkau inginkan. Kami akan mengikutimu ke mana pun itu terlihat baik bagimu untuk memimpin kami.”[6]
Abdul Qadir kemudian menjawab, “Aku telah memenuhi kewajibanku terhadap Allah. Sekarang aku telah menemukan diriku tidak berdaya…. Aku ingin istirahat dari lelahnya peperangan.”[7]
Pada 20 Desember 1847, Abdul Qadir menulis surat kepada Jenderal Prancis Lamoricière, menyatakan menyerah, dan sebagai gantinya dia meminta jaminan kemanan bagi para pengikutnya untuk kembali ke Aljazair; keselamatan bagi budak-budak, unta-unta, dan kuda-kuda milik para pengikut dan suku-suku pendukungnya; pembebasan Bu Hamedi, utusannya yang dipenjarakan oleh Sultan Abdurrahman di Fez; dan jaminan keamanan bagi pengikutnya yang hendak ikut dengannya ke pengasingan. “Kami ingin Anda memberi kami kabar…. yang tidak dapat dikurangi atau diubah, untuk menjamin (keamanan) kami bahwa Anda akan membawa kami ke Alexandria (Mesir) atau Acre (Yerusalem), dan bukan ke tempat lainnya,” kata Abdul Qadir dalam suratnya.[8]
Lamoricière membalas, “Aku mendapat perintah…. untuk memberimu jaminan keamanan seperti yang Anda minta, dan memberimu izin…. ke Aleksandria atau Acre; Anda dijamin tidak akan dibawa ke tempat lain. Datanglah sedapatnya, baik siang ataupun malam, dan jangan meragukan kata-kata ini, yang mana sudah pasti…. Anda dapat yakin bahwa Anda akan diperlakukan sebagaimana layaknya kedudukan Anda.”[9]
Tiga hari kemudian, Abdul Qadir beserta pengikutnya tiba di kota pelabuhan Jam, markas tentara Prancis. Sambil menunggu Lamoricière tiba, Abdul Qadir meminta untuk dibiarkan sendiri di makam Sidi Ibrahim, salah satu Imam besar Aljazair. Jam 6 sore, Henri d’Orléans, Duke of Aumale, anak dari raja Prancis yang bertugas sebagai Gubernur Jenderal Aljazair, tiba. Mereka dipertemukan, sebagai simbol telah menyerah, Abdul Qadir kemudian menyerahkan kuda perangnya kepada Duke of Aumale. Dalam tradisi Aljazair, penyerahan kuda perang merupakan simbol dari telah menyerahnya seseorang.[10]
Kepada ayahnya, Raja Louis Philippe I, Duke of Aumale menulis surat, “Abdul Qadir datang untuk mengucapkan selamat tinggal kepadaku. Aku tidak bisa menyembunyikan dari Yang Mulia, emosi yang aku alami terhadap kehormatan dan kesederhanaan orang ini yang telah memainkan peran besar dan yang baru saja mengalami kekalahan besar. Tidak mengeluh sedikitpun! Tidak ada kata-kata penyesalan! Dia hanya berkata kepadaku tentang pujian terhadap mereka yang telah menjadi pengikutnya, untuk meyakinkanku bahwa dia tidak lagi memikirkan apa pun kecuali untuk beristirahat. Aku memberinya jaminan bahwa apa yang telah terjadi benar-benar akan dilupakan (diampuni).”[11]
Duke of Aumale sama sekali tidak membayangkan, bahwa dalam waktu dekat dia akan mengalami nasib yang sama dengan Abdul Qadir. Pada Februari 1848, kerajaan Prancis akan digulingkan oleh rakyatnya sendiri. Dia dan kelurganya akan diasingkan ke Inggris.[12] Sementara itu, Abdul Qadir sendiri, alih-alih diasingkan ke Alexandria atau Acre, dia dan beberapa pengikutnya malah dikapalkan ke Prancis.[13] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] James McDougall, A History of Algeria, (Cambridge University Press, 2017), hlm 71.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ahmed Bouyerdene, Emir Abd El-Kader: Hero and Saint of Islam, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Gustavo Polit (World Wisdom, 2012), hlm 65.
[7] James McDougall, Loc.Cit.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm 71-72
[10] Ahmed Bouyerdene, Ibid., hlm 67
[11] Ibid., hlm 69.
[12] “Louis-Philippe”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Louis-Philippe, diakses 15 Desember 2018.
[13] Ahmed Bouyerdene, Ibid., hlm 71.