Surat Abdul Qadir untuk raja Prancis: ‘Orang-orang Arab…. tidak lagi memiliki keyakinan, atau keinginan, untuk bernegosiasi dengan Anda. Kami tidak memiliki kebencian terhadap perdamaian….’.
Perang dan Damai
Pada Februari 1834, Prancis yang diwakili oleh Jenderal Desmichels, akhirnya mengakui kedaulatan negara yang didirikan oleh Abdul Qadir. Kedua belah pihak sepakat untuk menandatangi perjanjian yang isinya tentang gencatan senjata, pertukaran tawanan perang, dan pendirian konsulat di wilayah masing-masing. Konsulat Prancis didirikan di wilayah Abdul Qadir di Mascara, dan Konsulat Abdul Qadir didirikan di wilayah Prancis di Oran, Mostaghanem, dan Arzew. Selain itu, pihak Prancis berjanji untuk melindungi agama Islam beserta tradisinya di wilayahnya. Sebaliknya, Abdul Qadir memberikan izin (dengan visa khusus yang diatur melalui konsulat) dan jaminan keamanan bagi setiap warga Eropa (di dalam perjanjian dituliskan dengan “setiap orang Kristen”) untuk dapat memasuki wilayahnya. Dan di luar itu semua, kesepakatan lainnya adalah tentang kebebasan dalam berniaga bagi kedua belah pihak. [1] Namun, sesungguhnya Prancis tidak pernah berniat melaksanakan perjanjian ini untuk selamanya.
Di masa damai ini, Abdul Qadir memanfaatkan waktu untuk memperkuat kemampuan militernya, dan memperluas wilayah pengakuan dari suku-suku lainnya. Hingga pada musim semi tahun 1835, beberapa suku yang sebelumnya telah ber-baiat kepada Abdul Qadir, membelot kepada Prancis dan meminta jaminan perlindungan kepada mereka. Jenderal baru Prancis, Trézel, mengabulkan permintaan mereka, dan dia cukup senang mendapatkan sekutu militer baru yang signifikan. Kejadian ini membuat hubungan Abdul Qadir dan Prancis retak, maka pada 28 Juni, Abdul Qadir dan Prancis kembali berperang.[2]
Dari sejak tahun 1835 hingga 1837, kedua belah pihak terus terlibat dalam beberapa peperangan. Perang ini bukan perang panjang yang tanpa henti, terkadang berhenti dan suatu waktu berlanjut kembali. Baik kedua belah pihak sama-sama mengalami pasang surut kemenangan. Pada tahun 1837, Jenderal baru Prancis lainnya, Thomas-Robert Bugeaud, oleh negaranya diberi tugas untuk membuat perjanjian damai yang baru dengan Abdul Qadir. Melalui serangkaian negosiasi, kedua belah pihak sepakat untuk menandatangi perjanjian damai pada 30 Mei 1837, perjanjian ini disebut dengan Perjanjian Tafna.[3]
Tidak seperti perjanjian sebelumnya, perjanjian Tafna menawarkan klausul yang lebih rumit, yang mana sebenarnya sama-sama menyulitkan kedua belah pihak. Kebebasan tentang perniagaan dan keluar masuk wilayah bagi warga kedua belah pihak menjadi ketat dan sulit. Alhasil, keduanya pada akhirnya tidak ada yang benar-benar berkomitmen untuk melaksanakan perjanjian ini. Seringkali mereka sama-sama melanggar perjanjian yang telah disepakati.[4]
Pada masa damai ini, baik Prancis dan Abdul Qadir sama-sama tidak tingal diam, keduanya sibuk dalam usaha perluasan teritori. Meskipun secara kemampuan militer berada di bawah Prancis, tetapi tidak dalam diplomasi, dalam hal ini Abdul Qadir lebih unggul. Selepas tahun 1837, Abdul Qadir telah menguasai lebih dari dua per tiga wilayah Aljazair.[5]
Meskipun seolah terdesak, tetapi Prancis tidak pernah berniat untuk meninggalkan Aljazair, sebaliknya, mereka berpikir dalam kerangka yang lebih luas. Pada Juli 1939, Marshal Soult, salah seorang Jenderal tertinggi di Prancis – yang kelak akan menjadi Perdana Menteri Prancis yang ke-10, menulis surat kepada Valée, Gubernur Jenderal Prancis di Aljazair. Surat yang ditandatangani pada Februari 1838 itu, di antaranya berisi: “Majulah secara perlahan dan jangan pernah mundur …. satu-satunya tujuan …. adalah menegakkan dominasi Prancis dari Maroko sampai ke Tunis, dan dari Mediterania sampai ke padang pasir.” Hal ini bukan omong kosong, sebab dari sejak tahun 1830, penduduk Eropa terus bermigrasi ke Aljir, ibu kota Aljazair. Pada akhir tahun 1830-an, populasi penduduk Aljir sudah terdiri dari lebih dari 14.000 orang Eropa, dan sekitar 12.000 Muslim dan 6.000 Yahudi.[6]
Pada Oktober 1939, Valée, bersama 4.000 pasukannya, berdasarkan perintah dari pusat, sudah dalam keputusan bulat untuk memulai perang untuk merebut seluruh Aljazair. Mereka memasuki wilayah timur Algérois yang merupakan wilayah Abdul Qadir. Melihat pergerakkan itu, Abdul Qadir kemudian menulis surat yang langsung ditujukan kepada Louis-Philippe, raja Prancis pada waktu itu, mengatakan bahwa tindakan tersebut telah melanggar Perjanjian Tafna, dan dapat dianggap sebagai tindakan inisiatif untuk memulai perang. Abdul Qadir dalam suratnya memberi peringatan dan menyatakan siap untuk berperang, “Orang-orang Arab…. tidak lagi memiliki keyakinan, atau keinginan, untuk bernegosiasi dengan Anda. Kami tidak memiliki kebencian terhadap perdamaian, tetapi pendapat dari para penasihat saya dan tokoh-tokoh (Aljazair), akan menyambut hari itu (perang).”[7]
Apa yang luput dari pengamatan Abdul Qadir adalah bahwa dia tidak mengetahui kekuatan militer Prancis yang sesungguhnya. Selama ini Abdul Qadir hanya berhadapan dengan orang-orang Prancis di Aljazair. Abdul Qadir tidak tahu bahwa visi Prancis adalah dominasi terhadap wilayah-wilayah Afrika dan Timur Tengah. Sudah dari jauh hari mereka telah merencanakan untuk menaklukannya. Dan mereka telah memiliki alat untuk dapat mewujudkannya, yaitu teknologi militer yang lebih maju, jumlah pasukan, industrialisasi, dan juga dana. Aljazair hanyalah salah satu tempat yang hendak ditaklukan Prancis. Demikianlah, dari sejak tahun 1939, Abdul Qadir dan Prancis akan terlibat dalam perang berkepanjangan selama delapan tahun ke depan.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] James McDougall, A History of Algeria, (Cambridge University Press, 2017), hlm 63-64.
[2] Ibid., hlm 65
[3] Ibid., hlm 66
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm 67-68
[6] Ibid., hlm 68
[7] Ibid., hlm 69
[8] Ibid., hlm 67, 69