Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (5): Abdul Qadir (2)

in Monumental

Last updated on December 14th, 2018 03:10 pm

Pemimpin muda ini awalnya diremehkan, tapi dengan keteguhannya dia menerapkan kebijakan non-rasial, merangkul semua suku dan ulama, menghapus pajak, dan menerapkan sistem pemerintahan dengan corak Marabout, ajaran sufistik khas Afrika Utara.

Lukisan Abdul Qadir, dibuat tahun 1866 oleh
Stanisław Chlebowski (1835–1884).

Segera setelah pengangkatannya menjadi Amirul Mukminin, Abdul Qadir menjadi buah bibir banyak orang. Meski sebelumnya pun dia sudah merupakan orang yang populer karena berwajah sangat tampan dan cerdas, dan berasal dari keluarga terhormat. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, gerak-geriknya terlihat luwes dan elegan, karakteristik wajahnya sederhana dengan jenggot hitamnya, sikapnya sangat lembut, dan gaya hidupnya sederhana. Abdul Qadir sebagai orang yang religius dan terdidik dapat membangkitkan semangat rekan-rekannya melalui puisi dan kefasihannya dalam berbicara.[1]

Meski demikian, tidak semua orang dapat menerima status barunya sebagai Amirul Mukminin, mengingat berbagai kelompok lokal di Aljazair memiliki kepentingannya masing-masing. Bagaimanapun pada waktu itu Abdul Qadir masih sangat muda, beberapa bahkan sempat meremehkannya dan menuduhnya sebagai “pemimpin kecil yang sedang berusaha mencari untung untuk dirinya sendiri”.[2]

Tetapi dengan pendekatan yang konsisten terhadap berbagai komunitas Muslim, aktivitas diplomasi, dan dengan kepemilikannya terhadap kesatuan militer yang energik, pada awal-awal tahun 1834, hanya setahun setelah baiat pertamanya di Mascara, Abdul Qadir telah berhasil mendirikan sebuah negara baru di Aljazair Barat. Melalui berbagai upayanya mewujudkan perdamaian dan pencegahan terhadap perang yang tidak diperlukan, negara ini akan bertahan sampai lebih dari satu dekade kemudian.[3]

Sebagai kepala negara baru (meskipun beberapa pengikutnya telah memberi julukan “Sultan” atau “Amir”), di tengah kekacauan dan serba ketidakpastian di Aljazair, statusnya masih diragukan oleh banyak orang. Hingga suatu waktu, selepas shalat Ashar di masjid utama, Abdul Qadir menyampaikan khutbah panjang, di sana dia berbicara tentang petuah-petuah, janjinya sebagai pemimpin, peringatan-peringatan, menyerukan untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan, dan mendesak semua orang untuk berjihad di jalan Allah SWT.[4]

Selepas khutbah itu, tidak lama kemudian, dewan ulama membuat sebuah deklarasi – entah karena terpengaruh oleh khutbah tersebut, atau memang diminta oleh Abdul Qadir, tidak ada yang tahu pasti – yang menyatakan pengakuan mereka terhadap kepemimpinan Abdul Qadir. Berikut ini adalah isi deklarasi tersebut:

“Kepada komunitas Arab dan Berber (suku asli Afrika Utara): Ketahuilah bahwa urusan otoritas kebangsawanan Islam dan penegakan tugas-tugas keagamaan pengikut Muhammad sekarang telah jatuh ke tangan Pelindung Agama, Sayyidina Abdul Qadir bin Muhyi al-Din. Dan pernyataan kesetiaan telah dibuat kepadanya sebagai pengakuan atas hal itu, oleh ulama, syarif, dan tokoh-tokoh penting di Mascara. Dan dia telah menjadi Amir dan penjamin kita untuk menegakkan batas-batas hukum Allah. Dia tidak mengikuti jejak orang lain, atau meniru contohnya. Dia tidak mengambil harta orang kaya untuk bagiannya sendiri, seperti yang dilakukan orang lain. Dia tidak membebani rakyatnya dalam apa pun kecuali yang di dalamnya diperintahkan oleh syariat yang jelas, dan dia tidak mengatur apa pun (kecuali) dengan cara yang benar. Dan dia telah membentangkan bendera jihad, dan menyingsingkan lengannya untuk tugas itu, demi kesejahteraan para hamba Allah, dan kemakmuran tanah air.”[5]

Beberapa bulan kemudian, Amir baru ini menulis surat kepada Qa’id Ibrahim, mantan pejabat Ustmaniyah (Ottoman) yang mengangkat dirinya sendiri menjadi gubernur di Mostaghanem:

“Adalah kewajibanku untuk mengajak engkau kepada benderaku, karena hanya persatuanlah yang dapat menjadi kekuatan, perpecahan hanya menghasilkan kelemahan. Karena itu marilah kita menghapus semua perbedaan rasial di antara Muslim sejati. Marilah kita orang Arab, Turki, kuluglis, dan Moor hidup sebagai saudara, semua menyembah Tuhan yang benar, dan mari kita bersama-sama dalam satu ikatan untuk melawan musuh.”[6]

Pada dekade-dekade sebelumnya, Bani Hasyim, basis keluarga Abdul Qadir, melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Ottoman karena mereka dianggap telah melakukan praktik korupsi dan juga berlaku tidak adil terhadap penduduk Aljazair. Tapi kini, dia justru merangkul orang-orang bekas pemerintahan Ottoman, karena bagaimanapun, seburuk apapun, mereka telah memiliki sistem birokrasi lebih yang mapan, dan Abdul Qadir membutuhkan itu. Abdul Qadir tahu, bahwa para birokrat Ottoman telah memiliki tata kelola birokrasi yang efektif, serta telah memiliki metode pengelolaan keuangan, dan selain itu, mereka juga sudah terbiasa dalam hubungan luar negeri.[7]

Meskipun Abdul Qadir mengintegrasikan orang-orang Ottoman ke dalam pemerintahannya, namun dia tidak hendak mengadopsi kultur mereka yang olehnya dianggap aristokratis, yang terlalu mengistimewakan orang-orang Turki, sebaliknya dia mencoba menggantinya dengan kultur “rasa Afrika”. Abdul Qadir mencoba menerapkan tradisi Marabout, pendekatan sufistik yang lebih berorientasi spiritual dan memiliki kedekatan emosional yang kuat di antara guru dan murid, tradisi ini berkembang di Afrika Utara, [8] ke dalam pemerintahannya. Hal lainnya yang dia lakukan adalah menegakkan pemerintahan berdasarkan hukum Islam yang ketat, menghapus diskriminasi ras, merangkul banyak suku, dan menghapuskan sistem pajak yang bukan berdasarkan Alquran.[9] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (6): Abdul Qadir (3)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (4): Abdul Qadir

Catatan Kaki:

[1] Marcel Emerit, “Abdelkader”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Abdelkader, diakses 12 Desember 2018.

[2] James McDougall, A History of Algeria, (Cambridge University Press, 2017), hlm 60.

[3] Ibid.

[4] Ibid., hlm 60-61.

[5] Ibid., hlm 61.

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm 62.

[8] “Marabout”, dari laman https://www.britannica.com/topic/marabout, diakses 12 Desember 2018.

[9] James McDougall, Ibid., hlm 61.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*