Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (4): Abdul Qadir

in Monumental

Last updated on December 12th, 2018 02:11 pm

“Abdul Qadir adalah keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis Hasan. Pada usia 24 tahun, berdasarkan mimpi dari Abdul Qadir Jailani (pendiri Tarekat Qadiriyah), dia mulai memimpin pemberontakan terhadap Prancis.”

–O–

Situasi politik yang membingungkan, penuh ketidakpastian, brutal, dan dengan logikanya sendiri yang berubah-ubah dan sulit dipahami yang menjadi warna Aljazair setelah invasi Prancis tahun 1830 sebenarnya hanyalah salah satu dimensi kemasyarakatan yang sedang berkembang, dan mungkin bukan yang paling signifikan. Jauh sebelum invasi Prancis, di dataran luas dan pegunungan, masyarakat Aljazair sudah memiliki dinamika dan kompetisinya tersendiri. Dengan caranya sendiri, hal tersebut mendadak berhamburan keluar sebagai respon terhadap tindakan penjajah.[1]

Invasi Prancis, meskipun memang membuat menderita masyarakat Aljazair, tetapi dalam hal ini hanya merupakan “gelombang kejut” yang memicu pecahnya keseimbangan internal masyarakat Aljazair yang rapuh. Kedatangan Prancis kenyataannya malah membuat kekuatan gerakan sosial dan ekonomi yang telah berjalan secara perlahan dari sejak akhir abad ke-18 menjadi berjalan dengan sangat cepat.[2]

Runtuhnya kekuasaan Aljazair yang telah bertahan selama berabad-abad, bukan hanya mengakibatkan pecahnya anarki politik, tetapi juga menimbulkan gangguan terhadap sektor perdagangan dan komunikasi. Selain itu, hal itu juga mengakibatkan runtuhnya hierarki lokal dan regional yang sebelumnya mapan. Sebagaimana telah dibahas, tujuan dari penjajahan Prancis secara umum mudah ditebak, tetapi tidak bagi masyarakat lokal, pemberontakan mereka yang populer, spontan, dan muncul serentak menghadirkan dinamika yang kompleks karena masing-masing kelompok memiliki motivasinya tersendiri.[3]

Di antara mereka ada yang melanjutkan gerakan perlawanan yang sebelumnya didasari oleh kebencian terhadap Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman); dan sebaliknya, ada juga yang ingin menghidupkan kembali Ottoman yang telah terusir. Lalu ada juga kelompok yang sudah sejak lama mengisolir diri dan mempersenjatai penduduknya untuk melawan siapapun yang hendak mengganggu mereka, namun setelah kedatangan Prancis mereka justru malah membuka diri dan memutuskan untuk beraliansi dengan Prancis; dan selain itu ada juga kelompok-kelompok lainnya yang bergerak atas kepentingannya sendiri yang cakupannya lebih sempit.[4]

 

Aldul Qadir

Di antara seluruh pemberontak tersebut, kita hanya akan membahas Abdul Qadir, seorang tokoh legendaris Aljazair yang jejak langkahnya telah menginspirasi banyak orang meskipun sudah lewat berabad-abad yang lalu. Abdul Qadir adalah putra dari Muhyi al-Din al-Hasani, seorang kepala keluarga bangsawan Bani Hasyim di Aljazair, sekaligus pemimpin Tarekat Qadiriyah, yang sangat dihormati oleh penduduk setempat. Muhyi al-Din merupakan keturunan dari Dinasti Syiah Idrisiyah[5] dari Fez, pendiri Maroko. Bila dilacak lebih jauh lagi, dia masih keturunan dari Nabi Muhammad SAW dari pernikahan putrinya, Fatimah, dengan Ali bin Abi Thalib, khalifah Islam yang ke-4. Ali dan Fatimah memiliki dua orang anak laki-laki, yaitu Hasan dan Husein.[6] Muhyi al-Din berasal dari garis keturunan Hasan, oleh karena itu dia juga menyandang gelar syarif, sebuah gelar yang biasa disematkan kepada para keturunan Nabi.[7]

Di Aljazair, Muhyi al-Din menempati posisi kemasyarakatan dan pengaruh yang amat tinggi, terutama di Aljazair Barat. Dengan kedalaman ilmu agamanya, dia dianggap sebagai pemilik otoritas spiritual tertinggi oleh masyarakat setempat. Rumahnya menjadi tujuan bagi para Muslim dari berbagai tempat yang ingin mendalami ilmu agama. Khawatir akan pengaruhnya yang begitu besar, penguasa Ottoman kemudian menjadikannya sebagai tahanan rumah. Tidak hanya sampai di sana, pada tahun 1826, Ottoman “memaksanya” untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan Madinah. Pada kesempatan inilah Muhyi al-Din membawa serta putranya, Abdul Qadir, untuk ikut serta berziarah.[8]

Setelah naik haji, Muhyi al-Din dan Abdul Qadir melakukan perjalanan lain ke Damaskus dan Baghdad. Bagi Abdul Qadir, perjalanannya telah menginspirasi dia untuk menjalani kehidupan yang lebih religius. Abdul Qadir yang bersemangat dan memiliki energi baru kembali ke rumahnya di Aljazair hanya beberapa bulan sebelum invasi Perancis dimulai, yaitu pada bulan Juni 1830. Dia berusia 22 tahun pada saat itu.[9] Melihat kekejian Prancis, Muhyi al-Din dan keluarganya sempat melakukan beberapa perlawanan kecil terhadap mereka.[10]

Photo Abdul Qadir, diambil tahun 1865. Photo: Etienne Carjat

Pada tanggal 22 November 1832, Muhyi al-Din yang sudah berusia 75 tahun, oleh suku-suku yang paling berpengaruh dari Bani Hasyim dan Bani Amir diminta untuk memimpin pemberontakan terhadap penjajah. Muhyi al-Din kemudian suatu malam bermimpi dengan Abdul Qadir Jailani, pendiri Tarekat Qadiriyah[11] dari Baghdad. Di dalam mimpinya, Muhyi al-Din diminta oleh Abdul Qadir Jailani untuk menerima permintaan dari Bani Hasyim dan Bani Amir dan menyerahkan kepemimpinan kepada putra keduanya, Abdul Qadir. Demikianlah, pada usianya yang ke 24 tahun, akhirnya Abdul Qadir diangkat menjadi Amirul Mukminin untuk memimpin penduduk setempat dan melakukan perlawanan terhadap penjajah asing.[12] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (5): Abdul Qadir (2)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (3): Kekacauan Besar

Catatan Kaki:

[1] James McDougall, A History of Algeria, (Cambridge University Press, 2017), hlm 58.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid., hlm 58-59.

[5] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 77.

[6] James McDougall, Ibid., hlm 59.

[7] Arbi Sumandoyo, “Kita Harus Bisa Memilah antara Sayid dan Habib”, dari laman https://tirto.id/kita-harus-bisa-memilah-antara-sayid-dan-habib-chc8, diakses 3 November 2017.

[8] James McDougall, Ibid., hlm 59-60.

[9] Eamon Gearon, Ibid., hlm 253.

[10] James McDougall, Ibid., hlm 60.

[11] “Qādirīyah”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Qadiriyah, diakses 11 Desember 2018.

[12] James McDougall, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*