Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (3): Kekacauan Besar

in Monumental

Last updated on December 11th, 2018 02:15 pm

“Penduduk Aljazair, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak semuanya dibakar hidup-hidup oleh pasukan Prancis. Menurut perkiraan, antara tahun 1830 sampai 1870, 850.000 orang Aljazair telah tewas akibat invasi Perancis.”

–O–

Satu bulan setelah kemenangan Prancis atas Ustmaniyah (Ottoman) di Aljazair, di dalam negeri Prancis sendiri, terjadi pergolakan politik. Pada Juli 1830, rakyat Prancis melakukan pemberontakan untuk menggulingkan Raja Charles X, peristiwa ini terkenal dengan sebutan Revolusi Juli. Pemerintah baru yang berhaluan liberal, terkait pendudukan Prancis di Aljazair, justru menganggap bahwa pendudukan itu merupakan hal yang memalukan.[1] Pemerintah baru merasa bahwa mereka hanya mewarisi kebijakan dari pemerintahan Charles, dan kini mereka sendiri tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan terhadap Aljazair.[2]

Sementara itu, dengan terputusnya jalur komando dari pemerintahan lama, situasi di lapangan berkembang menjadi liar.  Para prajurit Prancis, meskipun oleh Louis Auguste Victor de Ghaisne de Bourmont, Jenderal pasukan darat Prancis, telah diperintahkan untuk menghormati properti, perdagangan, industri, dan agama penduduk, namun mereka tetap menjarahnya. Pada 10 Agustus, lebih dari sebulan setelah penaklukan Aljir, lima kapal telah mengangkut emas dan perak dari Qasba (harta-harta yang sangat berharga dari peradaban lama) yang nilainya berjumlah sebesar 43 juta franc. Setelah biaya ekspedisi militer tertutupi dari harta tersebut, namun sebagian besar harta itu justru menghilang. Di Prancis, peristiwa ini dengan segera menjadi skandal publik, para perwira senior diduga ada di balik penjarahan ini. Demam pencarian “harta tersembunyi” ini terus berlanjut sampai bulan September di Aljazair.[3]

Ilustrasi penghancuran kota di Aljazair oleh pasukan Prancis. Lukisan ini berjudul “La prise de Constantine. 13 octobre 1837”, dibuat tahun 1838 oleh Horace Vernet (1789–1863). Sekarang koleksi milik Palace of Versailles.

Malang bagi para penduduk Aljazair, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak semuanya dibakar hidup-hidup oleh pasukan Prancis. Kepala-kepala yang terpenggal juga dijadikan semacam tropi bagi para prajurit. Menurut beberapa perkiraan, antara tahun 1830 sampai 1870, 850.000 orang Aljazair telah tewas akibat dari invasi Perancis. Tidak semua dari mereka dibunuh secara langsung, karena tanah pertanian diambil alih oleh Perancis secara paksa, banyak penduduk yang terusir. Dengan hilangnya lahan tani, kelaparan merajalela, dan banyak sekali di antara mereka yang mati kerena kelaparan.[4]

Kemudian untuk mengurai jalanan di kota Aljir yang padat, para insinyur Prancis membuka jalan baru yang ditarik secara garis lurus, dan itu mesti melewati dua kompleks pemakaman.  Mereka menghancurkan pemakaman tersebut, menggali para jenazah, dan bersama batu-batu nisan yang telah mereka rusak, material dari pemakaman tersebut mereka gunakan sebagai bahan untuk memadatkan konstruksi jalan baru. Bukan hanya itu, mereka juga melukai martabat agama yang dianut penduduk, salah satu masjid paling indah peninggalan Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) disita oleh Prancis, dan mereka mengubahnya menjadi Gereja Katedral. Perilaku ini jelas-jelas telah menyulut kemarahan yang amat sangat dari penduduk Aljazair yang tersisa.[5]

Salah satu akibat langsung dari perilaku orang-orang Perancis ini, ditambah dengan penghapusan secara tiba-tiba struktur pemerintahan dan kekuasaan Ottoman sebelumnya, adalah terciptanya kekosongan struktur kekuasaan. Hal ini menyebabkan lebih banyak kekacauan dan anarki di seluruh negeri. Di berbagai tempat di Aljazair, beberapa kelompok mengobarkan pemberontakan. Meningkatnya kekerasan dan kerusuhan juga menyebabkan Prancis harus menugaskan lebih banyak lagi pasukannya untuk memadamkan turbulensi ini.[6]

Peristiwa kelam lainnya terjadi pada musim semi tahun 1832, yaitu ketika Farhat bin Said, salah satu bangsawan Aljazair yang bersekutu dengan Prancis untuk melawan pemberontakan, mengunjungi Aljir, salah satu barang berharganya dicuri. Atas pencurian ini, tanpa bukti mereka menuduh bahwa pelakunya adalah orang dari suku Ouffias, salah satu suku kecil di sana. Untuk membalas pencurian ini, Prancis menyita ternak mereka. Tidak hanya sampai di sana, suku kecil ini pun dibantai sampai habis. Pellissier de Reynaud, salah seorang tentara perwira Prancis yang ada di sana, yang belakangan menulis sejarah awal penaklukan Aljazair, menggambarkan bagaimana peristiwa genosida ini, “Tanpa berusaha membela diri sedikitpun, semua yang hidup dihukum mati, dan semua yang bisa diambil disita; semua usia atau jenis kelamin tidak dibeda-bedakan. Hanya kemanusiaan dari beberapa petugas saja yang menyelamatkan beberapa wanita dan anak-anak.”[7]

Pada tahun 1834, komisi parlemen Prancis – yang berhaluan liberal – membuat laporan tentang pendudukan Aljazair, “Kita (Prancis) telah mengirim (penduduk Aljazair) ke tiang gantungan, dengan kecurigaan murni dan tanpa pengadilan, orang-orang yang kesalahannya masih diragukan, dan harta warisan dan barang-barang mereka telah dirampas; kita telah membunuh orang-orang yang berjanji untuk berperilaku baik, seluruh populasi dibantai hanya dengan kecurigaan yang setelahnya malah terbukti tidak bersalah; kita telah menyeret orang-orang yang dihormati dan dianggap suci di negara itu tanpa pengadilan hanya karena mereka memiliki cukup keberanian untuk…. berhadapan dengan kita demi teman-teman mereka yang menderita…. Dengan kata lain, kita telah melakukan tindakan barbarisme terhadap orang-orang barbar yang akan kita buat beradab, dan sekarang kita mengeluh karena tidak berhasil membuat mereka beradab.”[8] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (4): Abdul Qadir

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (2): Tragedi Kipas

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 252.

[2] James McDougall, A History of Algeria, (Cambridge University Press, 2017), hlm 51-52.

[3] Ibid., hlm 51.

[4] Eamon Gearon, Loc.Cit.

[5] James McDougall, Ibid., hlm 55

[6] Eamon Gearon, Loc.Cit.

[7] James McDougall, Ibid., hlm 55-56

[8] Ibid., hlm 57.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*