“Hussein Dey, Gubernur Ustmaniyah Aljazair, terlibat perdebatan panas dengan konsul Prancis tentang piutang negara. Emosi, dia memukulkan kipasnya kepada sang konsul. Raja Prancis Charles X merasa terhina dan mendeklarasikan perang.”
–O–
Sebelum diinvasi Prancis, Aljazair adalah wilayah yang sangat kaya akan agrikultur. Tradisi kekayaan agrikultur ini sudah ada dari sejak masa Kekaisaran Romawi berkuasa di wilayah ini – dulunya tempat ini bernama Numidia – pada tahun 106 SM. Perkebunan besar di Numidia menghasilkan begitu banyak biji-bijian dan minyak zaitun, sehingga kawasan ini dikenal sebagai lumbung Romawi.[1] Hal ini jugalah yang membuat Prancis tertarik untuk menginvasinya pada tahun 1830, terutama terhadap wilayah Aljazair Utara yang terkenal sangat subur, meskipun sebenarnya ada akar permasalahan lain yang juga turut memberikan kontribusi – terhadap terwujudnya invasi.[2]
Pada tahun 1796, dalam ekspedisi penyerangan ke Italia, Jenderal Prancis Napoleon membawa 40.000 prajuritnya yang kekurangan persenjataan dan kelaparan karena kekurangan bahan makanan.[3] Untuk menyiasati kondisi ini, salah satu hal yang dilakukan oleh Napoleon adalah dengan membeli gandum dalam jumlah yang sangat besar kepada dua pedagang Aljazair, yang dia janjikan akan dibayar secara kredit. Pada tahun 1820-an, lama setelah Napoleon tidak lagi berkuasa, pemerintah Prancis masih belum selesai melunasi hutangnya kepada para pedagang tersebut. Namun pada saat itu Prancis protes, menurut mereka tagihannya terlampau besar – sebuah protes yang sangat terlambat dikemukakan, mengingat kesepakatan jual beli telah terjadi lebih dari 30 tahun sebelumnya. Ujung-ujungnya, Prancis malah menolak untuk menyelesaikan hutangnya.[4]
Malang bagi dua pedagang ini — dan, ternyata juga bagi Aljazair – mereka, pada gilirannya, berhutang uang kepada Gubernur Ottoman di Aljazair, Hussein Dey. Pada April 1827, Hussein Dey meminta konsul Prancis untuk menjelaskan duduk perkaranya. Dalam pertemuan tersebut, keduanya terlibat dalam adu argumen yang memanas, sehingga akhirnya Hussein Dey emosi, dia menepuk – beberapa sumber mengatakan bahwa dia memukulkannya – sang konsul dengan kipasnya. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Perkara Kipas (Fan Affair), dan karenanya, Raja Charles X dari Perancis merasa terhina dan menuntut permintaan maaf – yang disertai dengan upaya pemblokadean Aljir.[5] Peristiwa ini menjadi dalih bagi Prancis untuk menggiring situasi menuju dimulainya peperangan di Aljazair.[6]
Invasi Prancis
Raja Charles Prancis, di rumahnya sendiri memiliki persoalan, dia tidak disukai oleh rakyatnya dan sangat tidak populer. Charles melihat bahwa invasi ke Aljazair adalah sebuah peluang untuk memperbaiki popularitasnya di Prancis. Dalam usaha untuk memulihkan kehormatan pribadinya, dengan lantang dia menuntut permintaan maaf dari Aljazair dan memerintahkan pemblokadean kepada pasukannya. Bukan hanya itu, kepada Ottoman dan Aljazair dia juga menyampaikan pesan, memberikan peringatan tentang kekuatan Angkatan Laut Prancis yang digdaya.[7] Dan memang itu bukan omong kosong, saat itu Ottoman sebagai imperium sudah tertinggal dibandingkan imperium-imperium Eropa dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, dan teknologi militer.[8]
Sayangnya, upaya Prancis untuk menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Aljazair malah menjadi bumerang, dan memiliki efek yang jauh lebih buruk bagi para pedagang Prancis ketimbang orang-orang Aljazairnya sendiri. Pada tahun 1829, para pedagang Prancis protes keras, Charles kemudian memutuskan untuk mengirimkan negosiatornya ke Aljazair untuk memperbaiki situasi. Sebagai tanggapan, warga Aljazair malah menembakkan panah peringatan ke salah satu kapal Prancis yang memblokade pelabuhan. Bagi Prancis, peristiwa itu sudah cukup dapat dianggap sebagai provokasi.[9]
Pada bulan Juni 1830, Perancis mulai menginvasi Aljazair. Langkah yang menentukan ini akan menyebabkan Prancis menduduki Aljazair sampai selama 132 tahun ke depan, hingga mereka baru memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1962. Menggunakan strategi penyerangan yang semula dirancang oleh Napoleon, sekitar 600 kapal armada Prancis mulai mendekati pantai Aljazair. Pada tanggal 14 Juni 1830, sebanyak 34.000 pasukan Prancis didaratkan di sekitar 30 km sebelah barat Aljazair. Sebagai tanggapannya, Ottoman dengan cepat mengirimkan pasukan bantuannya. Jumlah total pasukan Ottoman dan Aljazair mencapai 40.000 orang, jumlah yang cukup besar dan relatif seimbang. Meski demikian, mereka tetap tidak dapat mengimbangi superioritas pasukan artileri Prancis yang memiliki teknologi lebih maju dan terlatih dengan konsep militer modern. Pasukan Ottoman-Aljazair dengan cepat dapat dikalahkan.[10]
Hanya dalam kurun waktu tiga minggu, Prancis telah berhasil menduduki Aljazair, dan Hussein Dey dipaksa untuk menyerah, meskipun pada akhirnya dia dibebaskan – juga tetap diberi hak untuk mengamankan kekayaan pribadinya.[11] Sumber lain mengatakan bahwa Hussein Dey ditangkap dan menghilang selamanya.[12] Hussein Dey kemudian diasingkan ke Naples, Italia, dikabarkan dia hidup nyaman di sana bersama keluarganya. Sementara itu para prajurit Turki yang selamat juga diizinkan pergi dan berlayar kembali ke Konstantinopel. Dengan ini, 313 tahun pemerintahan Ottoman di Aljazair resmi telah berakhir.[13] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] “Algeria.” Microsoft® Encarta® 2009 [DVD]. Redmond, WA: Microsoft Corporation, 2008.
[2] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 250.
[3] Robert Wilde, “Napoleon and the Italian Campaign of 1796–7”, dari laman https://www.thoughtco.com/napoleon-and-the-italian-campaign-1221692, diakses 6 Desember 2018.
[4] Eamon Gearon, Loc.Cit.
[5] Ibid.
[6] Deniz Renkveren, “How French colonization shaped Algeria’s future”, dari laman https://www.dailysabah.com/feature/2016/06/18/how-french-colonization-shaped-algerias-future, diakses 6 Desember 2018.
[7] Eamon Gearon, Ibid., hlm 251.
[8] Deniz Renkveren, Ibid.
[9] Eamon Gearon, Loc.Cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Deniz Renkveren, Ibid.
[13] Eamon Gearon, Ibid., hlm 250-251.