Mozaik Peradaban Islam

Imam Abu Hanifah (6): Pemberontakkan Melawan al-Mansur, Khalifah Abbasiyah

in Tokoh

Last updated on October 10th, 2019 02:37 pm

Abu Hanifah dilaporkan telah menyumbangkan sebanyak 4.000 keping emas untuk mendukung pemberontakan melawan al-Mansur. Murid-murid Abu Hanifah bahkan mulai ketakutan dibunuh oleh orang-orang Dinasti Abbasiyah karena sikap guru mereka.

Lukisan Khalifah al-Mansur. Sumber: Public Domain

Dalam carut marut situasi politik di akhir periode kekuasaan Bani Umayyah, banyak pihak yang menggalang dukungan rakyat untuk melakukan pemberontakan. Mereka memiliki berbagai macam motif dan metodelogi, namun umumnya memiliki satu kesamaan, yaitu dendam politik yang bercampur dengan kekecewaan atas segenap kebijakan yang dikeluarkan oleh para penguasa Dinasti Umayyah.[1]

Hal ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat umum, tapi juga elit di sekitar lingkungan keluarga istana sendiri. Puncaknya terjadi ketika Marwan bin Muhammad naik sebagai khalifah terakhir Bani Umayyah. Marwan memerintah hanya selama sekitar 5 tahun, dan tak seharipun kursi kekuasannya tenang, sebab pemberontakkan terhadap Dinasti Umayyah terus-menerus terjadi di berbagai tempat.[2]

Di antara banyak gerakan pemberontakan tersebut, Bani Abbas adalah salah satu pihak yang paling aktif melakukan gerakan untuk menggulingkan kekuasaan Umayyah. Mereka mengusung isu paling krusial, yaitu mengembalikan daulat keluarga Muhammad (Ahlul Bait). Dan masyarakat percaya. Karena bagaimanapun, Bani Abbas juga berasal dari Bani Hasyim, asal keluarga Rasulullah SAW.[3]

Nama Bani Abbas diambil dari nama al-Abbas bin Abdul-Muththalib (wafat sekitar 32 H / 653 M), paman Nabi Muhammad SAW. Dari sejak sekitar tahun 99 H / 718 M, para keturunannya terus bergerak untuk merebut kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Dengan kemampuan propaganda yang luar biasa, mereka berhasil memenangkan banyak dukungan, terutama dari orang-orang Arab Alawi dan orang-orang Persia di Khurasan.

Baca Juga:

Mereka baru melakukan pemberontakan terbuka pada tahun 129 H / 747 M di bawah kepemimpinan Abu Muslim. Pada tahun 132 H / 750 M, melalui pertempuran besar di Sungai Zab, Mesopotamia, Bani Abbas berhasil mengalahkan Marwan bin Muhammad, khalifah Umayyah terakhir. Tidak lama kemudian mereka mengangkat khalifah Dinasti Abbasiyah yang pertama, yaitu Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad as-Saffah (berkuasa 132-136 H / 750-754 M).[4]

Ketika peristiwa penggulingan, Bani Abbas membantai hampir seluruh keluarga Umayyah, kecuali satu, seorang anak lelaki berusia 19 tahun yang bernama Abdurrahman. Dia lari ke Andalusia (sekarang Spanyol dan Portugis), dan kelak akan menjadi penguasa di sana, yang menjadi cikal bakal dari Dinasti Umayyah II di Cordoba.[5]

Baca Juga:

Abu Hanifah Kembali ke Kufah

Terkait Abu Hanifah, pada tahun kemenangan Abbasiyah inilah dia baru kembali ke Kufah setelah lari dan menetap di Makkah selama lebih dari sepuluh tahun karena dia diburu oleh orang-orang Dinasti Umayyah atas dukungannya terhadap pemberontakkan Zaid bin Ali.

Abu Hanifah terus melanjutkan hidupnya dan mendalami studi-studi Islam sampai khalifah Abbasiyah yang kedua naik takhta, Abu Jafar Abdullah bin Muhammad al-Mansur (berkuasa 136-158 H / 754-775 M).

Namun demikian, berdasarkan prinsip di dalam Islam yang diyakininya, yakni Amar makruf nahi mungkar (menegakkan yang benar dan melarang yang salah), Abu Hanifah bangkit kembali untuk melawan penguasa yang menindas, Khalifah al-Mansur.

Lebih dari dua puluh tahun dari sejak kembalinya Abu Hanifah ke Kufah, pada tahun 145 H / 762–763 M, dia secara terbuka mendukung dua pemberontakan lainnya, yang mana kali ini melawan Dinasti Abbasiyah, yang mana pada awalnya Abu Hanifah mendukung revolusi mereka sebagai bagian dari Bani Alawi yang melawan Dinasti Umayyah.

Pemberontakkan ini dipimpin oleh dua keturunan imam Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) yang berasal dari Bani Hasyim, Muhammad al-Nafs al-Zakiya (93-145 H / 712-762 H) dan adiknya, Ibrahim (97-145 H / 716-763 M).[6]

Pada masa-masa ini terjadi, Zufar bin al-Hudhail (w. 158/774), salah satu murid utama Abu Hanifah, bahkan sampai menyatakan bahwa murid-murid Abu Hanifah mulai ketakutan dibunuh oleh orang-orang Dinasti Abbasiyah. Abu Hanifah dilaporkan telah menyumbangkan kekayaannya, yakni sebanyak 4.000 keping emas, untuk mendukung pemberontakan Ibrahim.

Selain itu, musuh-musuh Abu Hanifah juga mengutuknya, karena dia telah mendorong para pemuda untuk bergabung dengan pemberontakkan Ibrahim, yang mana seringkali menyebabkan kematian bagi mereka. [7] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1]  Lihat The History of al-Tabari, Vol. XXVI., The Waning of the Umayyad Caliphate, Translated by Carole Hillenbrand, State University of New York Press, 1990. Hlm 247-248

[2] Lihat The History of al-Tabari, Vol. XXVII., The `Abbasid Revolution, Translated by John Alden Williams, State University of New York Press, 1990. Hlm 19-27.

[3] Lihat, Abbasid Chalipate, http://www.iranicaonline.org/articles/abbasid-caliphate, diakses 28 Januari 2019

[4] Encyclopaedia Britannica, “ʿAbbāsid caliphate”, dari laman https://www.britannica.com/topic/Abbasid-caliphate, diakses 9 Oktober 2019.

[5] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 93.

[6] Karim D. Crow, Abū Ḥanīfa Nu‘mān ibn Thābit, dalam Alexander Wain dan Mohammad Hashim Kamali (ed), The Architects of Islamic Civilisation (International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia, 2017), hlm 40-41.

[7] U. F. ʿAbd-Allāh, “Abū Ḥanīfa” (Encyclopædia Iranica), dari laman http://www.iranicaonline.org/articles/abu-hanifa-noman-b, diakses 9 Oktober 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*