Mozaik Peradaban Islam

Imam Abu Hanifah (7): Tewas di Tangan Khalifah

in Tokoh

Al-Mansur menawari Abu Hanifah jabatan sebagai kepala pengadilan negara, namun dia menolaknya. Ketika ditanya alasannya, dia berkata, “Jika aku mengatakan yang sebenarnya, itu baik untuk jabatan tersebut, dan jika aku berbohong, aku tidak cocok untuk jabatan tersebut, karena aku seorang pembohong.”

Foto Ilustrasi: World Anvil

Pemberontakkan atas nama Alawi yang dilakukan oleh Muhammad al-Nafs al-Zakiya dan adiknya, Ibrahim, hampir-hampir saja dapat mengalahkan Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Abu Jafar Abdullah bin Muhammad al-Mansur. Namun pada akhirnya Khalifah al-Mansur dapat mempertahankan posisinya dan menghancurkan pemberontakkan tersebut.

Setelahnya, mengingat Abu Hanifah sangat berpengaruh dan begitu populer, al-Mansur berusaha meraihnya untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan Abbasiyah. Al-Mansur meminta Abu Hanifah untuk menjadi pejabat administratif tingkat tinggi di ibu kota Abbasiyah yang baru dibangun, yakni Baghdad – beberapa informasi lain mengatakan dia hendak diangkat menjadi qazi, kepala bendahara harta negara, atau jabatan lain yang sejenis, hal ini akan diceritakan kemudian.

Namun karena Abu Hanifah memiliki sifat wara, maka secara berkali-kali dia menolak posisi yang diamanatkan kepadanya – yang mana pada dasarnya oleh banyak orang dinilai sebagai suatu bentuk penolakan atas legitimasi dan otoritas al-Mansur.[1]

Ulama besar Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, atau terkenal dengan sebutan Imam al-Ghazali, dalam kitabnya, Ihya Ulum al-Din, meriwayatkan beberapa riwayat terkait penolakkan Abu Hanifah tersebut. Berikut ini adalah pemaparannya:

Ibnul Mubarak meriwayatkan tentang Abu Hanifah, “Apakah engkau mengatakan tentang seseorang yang diberikan harta dunia tetapi melarikan diri darinya?”

Muhammad bin Shuja meriwayatkan:

Khalifah Abul Mansur memerintahkan 10.000 dirham untuk diberikan kepada sang Imam, tetapi dia menolak tawaran itu. Pada hari ketika kekayaan itu akan dikirimkan kepadanya, dia menutupi tubuhnya dengan kain setelah salat, dan tidak berbicara dengan siapa pun. Orang suruhan khalifah datang kepadanya dengan (membawa) Dirham tetapi sang Imam tidak mau berbicara dengannya.

Salah satu orang yang hadir berkata, “Ini adalah kebiasaannya. Taruh itu di sudut kamarnya.” Ini kemudian dilakukan.

Setelah itu Abu Hanifah mewasiatkan pesan kematian sehubungan dengan kekayaan ini dan berkata kepada putranya, “Ketika aku mati dan engkau menyelesaikan pemakamanku, bawalah kantung uang ini kepada khalifah dan katakan padanya, ‘Ini adalah kepercayaanmu yang telah engkau titipkan kepada Abu Hanifah.’.”

Putranya berkata, “Aku melakukan sesuai (permintaan Abu Hanifah).”

Khalifah (al-Mansur) berkata, “Semoga Allah mengampuni ayahmu.”

Al-Ghazali meriwayatkan:

Diriwayatkan bahwa dia (Abu Hanifah) pernah ditawari jabatan sebagai kepala pengadilan negara, tetapi dia berkata, “Aku tidak cocok untuk jabatan ini.”

Ketika dia ditanya tentang alasannya, dia berkata, “Jika aku mengatakan yang sebenarnya, itu baik untuk jabatan tersebut, dan jika aku berbohong, aku tidak cocok untuk jabatan tersebut, karena aku seorang pembohong.”[2]

Penolakan Abu Hanifah terhadap al-Mansur merupakan wujud dari keberanian dan integritasnya. Sikapnya yang konsisten dalam menolak hadiah dan imbalan harta dari para penguasa dan raja menggambarkan tingkat kesalehan pribadinya.

Namun, adalah sebuah kesalahan jika menilai penolakkan Abu Hanifah terhadap al-Mansur, atau orang-orang Dinasti Umayyah pada masa sebelumnya, tidak terkait dengan keyakinan politiknya. Émile Tyan (1901-1977), seorang ahli hukum kelahiran Lebanon,  di dalam bukunya Histoire de l’organisation judiciaire en pays d’Islam (Sejarah Organisasi Yudisial di Negara-negara Islam) (1938), mengatakan bahwa penunjukkan hakim dan administrator pemerintah lainnya dalam sejarah awal Islam, lebih dari segalanya, seringkali lebih bernuansa politis.

Para penguasa, dalam tradisi monarki pra-Islam, menganggap dirinya memiliki mandat penuh untuk mengangkat rakyatnya ke dalam posisi administratif. Penerimaan mereka atas jabatan yang diamanatkan tersebut sesungguhnya tidak penting bagi penegakkan hukum itu sendiri (dalam kasus pengangkatan hakim).

Namun, penolakan seseorang atas sebuah jabatan dapat diartikan sebagai penolakan terhadap otoritas raja, dan akibatnya, dia dapat, dan biasanya, akan dipenjarakan, mendapatkan hukuman tertentu, atau bahkan dieksekusi mati. Sebaliknya, penerimaan atas penunjukan tersebut, dapat dianggap sebagai kesetiaan politik.

Dengan demikian, sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Abu Zahra, seorang ulama Hanafi asal Mesir, penolakkan Abu Hanifah terhadap jabatan dari Dinasti Umayyah mungkin merupakan cerminan dukungan atas revolusi Abbasiyah. Dan jabatan yang ditawarkan oleh al-Mansur, merupakan ujian atas kesetiaan Abu Hanifah terhadap Abbasiyah, yang mana sebelumnya Abu Hanifah secara terang-terangan telah menunjukkan dukungan terhadap pemberontakkan al-Nafs al-Zakiya.[3]

Setelah penolakkan Abu Hanifah, al-Mansur memang tidak menjatuhkan hukuman cambuk kepadanya, mengingat dia sudah tua pada waktu itu, meskipun dia sempat mengancam akan melakukannya.[4] Pada akhirnya al-Mansur memerintahkan Abu Hanifah untuk dipenjarakan, di mana dia menghabiskan dua tahun sisa hidupnya di sana.[5] Beberapa laporan lain mengindikasikan bahwa al-Mansur telah meracuni Abu Hanifah di dalam penjara.[6]

Dilaporkan, bahwa ketika Abu Hanifah meninggal, dia meninggalkan sebuah wasiat yang menyatakan bahwa dia tidak ingin dimakamkan di pemakaman di Baghdad, yang mana menurutnya adalah tanah hasil rampasan al-Mansur yang diambil secara semena-mena dari rakyat.[7] Ibnu Katsir mengatakan, bahwa ketika Abu Hanifah meninggal di Baghdad, salat jenazah harus dilakukan sebanyak enam kali secara berturut-turut karena saking banyaknya orang yang hadir dalam ritual tersebut.[8] (PH)

Bersambung….

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Karim D. Crow, Abū Ḥanīfa Nu‘mān ibn Thābit, dalam Alexander Wain dan Mohammad Hashim Kamali (ed), The Architects of Islamic Civilisation (International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia, 2017), hlm 40-41.

[2] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din Vol.1 (Karachi: Darul-Ishaat, 1993), hlm 39.

[3] U. F. ʿAbd-Allāh, “Abū Ḥanīfa” (Encyclopædia Iranica), dari laman http://www.iranicaonline.org/articles/abu-hanifa-noman-b, diakses 10 Oktober 2019.

[4] Ibid.

[5] Karim D. Crow, Loc.Cit.

[6] U. F. ʿAbd-Allāh, Loc.Cit.

[7] Ibid.

[8] Karim D. Crow, Loc.Cit.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*