Pada tahun 120 H, Zaid bin Ali, cucu dari Imam Husein, mengangkat senjata melawan Dinasti Umayyah. Abu Hanifah mendukung di belakangnya dengan dana dan mengeluarkan fatwa. Zaid kalah telak, kepalanya dipenggal dan dipajang di gerbang kota Damaskus. Bagaimana dengan nasib Abu Hanifah?
Pada tahun 120 H / 738 M Hisyam bin Abdul-Malik, khalifah Dinasti Umayyah yang ke-10 (berkuasa 106-125 H / 724-743 M), mengangkat Yusuf bin Umar al-Thaqafi menjadi Gubernur Irak. Dia masih memiliki hubungan saudara dengan al-Hajjaj bin Yusuf al-Thaqafi, Gubernur Irak pada masa sebelumnya yang tiran.
Ayah Yusuf, Umar, adalah sepupu dari al-Hajjaj. Selama menjadi Gubernur Irak, beberapa catatan sejarah menyatakan bahwa Yusuf memerintah dengan cara yang sama dengan pendahuluya, yaitu dengan tangan besi. Dia dilaporkan telah banyak menyiksa lawan-lawan politiknya.
Sebelum diangkat menjadi Gubernur Irak, Yusuf adalah gubernur Yaman. Aktivitas utamanya di sana adalah memberantas pemberontakan Khawarij. Beberapa laporan tradisional mengatakan, dia juga bertanggung jawab atas kematian Wahb bin Munabbih, seorang ulama tabiin dalam bidang sejarah yang tinggal di Yaman.[1]
Pada tahun 120 H / 738 M, di tengah suasana menurunnya simpati masyarakat terhadap Kekhalifahan Bani Umayyah, Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, salah satu pemuka Alawi dan peletak pondasi dasar salah satu mazhab dalam Syiah, yakni Zaidiyah, secara diam-diam menggalang baiat untuk melakukan perlawanan terhadap Dinasti Umayyah.[2]
Zaid memperoleh dukungan yang sangat besar di Kufah, sebanyak 15.000 orang dilaporkan telah berbaiat kepadanya.[3] Pada masa-masa inilah kemudian Abu Hanifah menyatakan dukungannya terhadap Zaid, dia memberikan dukungan moral dan finansial untuk gerakan ini. Tidak berhenti di sana, Abu Hanifah yang sudah menjadi tokoh besar bahkan mengeluarkan fatwa untuk mendukung perjuangan Zaid.[4]
Ketika gerakan Zaid sudah semakin mantap dan konstelasi sudah meruncing ke arah perjuangan bersenjata, sebagian pendukungnya malah berkhianat kepadanya. Mereka mulai berargumen kepada Zaid dan berkata kepadanya, “Pertama, katakan kepada kami tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab?”
Zaid menjawab, “Aku tidak pernah mendengar siapapun di keluargaku menyebut mereka dengan sebutan yang buruk.”
Mereka berkata, “Anggota keluargamu yang berhak atas kekhalifahan, dan mereka tidak merasa tersinggung dengan direbutnya kekhalifahan oleh mereka berdua (Abu Bakar dan Umar), dan sekarang Bani Umayyah, bukankah engkau akan merebutnya? Jadi bagaimana engkau dapat menyebut mereka (Bani Umayyah) tidak adil dan melawan mereka?”
Setelah berkata demikian mereka pergi meninggalkannya, dan Zaid kemudian menyebut mereka dengan sebutan rafidhah (bahasa Arab, artinya adalah “menolak” / “tidak menerima”).
Setelah kejadian ini, kini hanya tinggal tersisa 220 orang yang setia kepada Zaid. Dengan jumlah yang sangat sedikit, mereka mesti berhadapan dengan pasukan Yusuf bin Umar al-Thaqafi yang berjumlah ribuan. Zaid kemudian mendatangi setiap rumah pendukungnya, mengingatkan atas baiat yang pernah mereka berikan sebelumnya, dan meminta dukungan mereka kembali, namun tak seorangpun yang kini bersedia.
Akhirnya, pertempuran tidak terelakkan, dengan jumlah pasukan seadanya Zaid terpaksa menghadapi gempuran pasukan Bani Umayyah. Pada awalnya dia sempat memukul mundur pasukan musuh, namun karena jumlah yang tidak seimbang, pada akhirnya pasukan Zaid dikalahkan. Zaid sendiri tertembak panah di bagian dahinya, dia jatuh tersungkur dan tewas.
Gubernur Yusuf lalu memenggal kepala Zaid dan mengirimkannya kepada khalifah Bani Umayyah, Hisyam bin Abdul-Malik, di Damaskus. Putra Zaid, Yahya bin Zaid berhasil melarikan diri ke Nainawa (sekarang berada di pantai timur Sungai Tigris, di seberang Mosul, Irak), dan untuk sementara bersembunyi di sana sebelum akhirnya dia bertolak ke Khurasan.
Di Damaskus, Khalifah Hisyam melakukan tindakan demonstratif dengan menggantung kepala Zaid di gerbang kota. Sementara itu, Gubernur Yusuf di Kufah, menggantung jenazah para pendukung Zaid dan membiarkannya tergantung di sana selama bertahun-tahun sampai jasad mereka mengering.
Tindakan Bani Umayyah kali ini, semakin membuat mereka dibenci oleh rakyat. Di sisi lain, simpati rakyat terhadap Bani Hasyim (kabilah Arab yang masih memiliki hubungan kekeluargaan yang lebih dekat dengan Nabi Muhammad, Alawi dan Abbasi termasuk di dalamnya) terus bertambah.[5]
Lalu bagaimana dengan Abu Hanifah? Dia sendiri tidak sampai dihukum mati, tapi dia menerima hukuman cambuk yang diberikan kepadanya oleh Gubernur Irak pengganti Yusuf, yakni Yazid bin Hubayrah (wafat 132 H / 750 M). Abu Hanifah kemudian mencari perlindungan politik di Makkah, di mana dia tinggal di sana selama lebih dari sepuluh tahun. Dia baru kembali ke Kufah setelah Dinasti Abbasiyah berkuasa pada tahun 132 H / 750 M.[6] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] G.R. Hawting, al-Thakafi, Yusuf b. Umar, dalam Bearman, P. J.; Bianquis, Th.; Bosworth, C. E.; van Donzel, E. & Heinrichs, W. P. (eds.), The Encyclopaedia of Islam, New Edition, Volume X: T–U (Leiden: Brill, 2000), hlm 431.
[2] Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm 228.
[3] Ibid., hlm 228-229.
[4] Karim D. Crow, Abū Ḥanīfa Nu‘mān ibn Thābit, dalam Alexander Wain dan Mohammad Hashim Kamali (ed), The Architects of Islamic Civilisation (International Institute of Advanced Islamic Studies (IAIS) Malaysia, 2017), hlm 40.
[5] Akbar Shah Najeebabadi, Op.Cit., hlm 229-230.
[6] Karim D. Crow, Op.Cit., hlm 40-41.