Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (8): Abdul Qadir (5)

in Monumental

Last updated on December 19th, 2018 04:22 pm

Oleh Prancis, Abdul Qadir ditawari kehidupan mewah, maka jawabnya, “Jika engkau memasukan ke dalam jubahku semua berlian dan harta dunia, aku akan melemparkannya tanpa ragu ke laut di depan kami.”

Di Prancis

Beberapa sumber sejarah mengatakan bahwa setelah menyerah, Prancis tidak memenuhi janji terhadap Abdul Qadir, dan dia malah dipenjarakan di Prancis selama lima tahun. Namun kenyataannya tidak sesederhana itu, artikel ini akan mengulas gambaran situasi yang terjadi setelah Abdul Qadir tiba di Prancis.

Abdul Qadir bersama 97 orang sahabat dan keluarganya tiba di pelabuhan Toulon, Prancis, pada 29 Desember 1847. Berita kedatangan mereka menjadi berita utama yang menghiasi halaman depan media-media cetak Prancis.[1] Abdul Qadir diberitahu bahwa Prancis sedang bernegosiasi dengan Mesir terkait proses pengasingan mereka di Aleksandria. Hal itu terdengar masuk akal baginya. Namun dia menyadari ada sesuatu yang janggal di sini, kenapa sama sekali tidak ada persiapan untuk menempuh perjalanan yang jauh ke Mesir?[2]

Perkembangan selanjutnya Abdul Qadir dan para sahabatnya dikurung di stasiun karantina dengan alasan untuk mengamati kemungkinan adanya penyakit menular pada mereka. Sepuluh hari berlalu. Abdul Qadir dan keluarganya dipindahkan ke Benteng Lamalgue yang bangunannya mirip dengan penjara, sementara orang Aljazair lainnya dipindahkan ke benteng lainnya.[3]

Abdul Kadir mulai protes, dia berkata bahwa hal ini tidak sesuai dengan yang dijanjikan oleh Jenderal Lamoricière dan Pangeran Duke of Aumale. Abdul Kadir berargumentasi tentang nilai-nilai yang sering digaungkan oleh Prancis: tentang kehormatan, janji-janji, peradaban yang tinggi, dan reputasi Prancis di hadapan bangsa Eropa lainnya. Abdul Kadir berbicara dari semua sisi dengan cara yang terhormat dan pantas, sebagaimana pembawaan dirinya sebagai orang yang terdidik dengan cara-cara marabout.[4]

Apa yang terjadi di luar sana sebenarnya adalah Prancis sendiri sedang kebingungan. Di Parlemen, mereka berdebat tentang “penangkapan” Abdul Qadir dan segala konsekuensinya.[5] Sementara itu media massa terus menekan pemerintah mengenai status Abdul Qadir, mengungkit-ngungkit tentang korban tentara Prancis dalam peperangan. Sementara itu Duke of Aumale malah menekankan ketulusan dan karakter luar biasa dari Abdul Qadir, dan Jenderal Lamoricière berargumentasi, dia mengatakan bahwa janji haruslah dipenuhi.[6]

Di sisi lain, banyak orang yang percaya bahwa Abdul Qadir masih menjadi musuh dan akan tetap berbahaya, meski diberikan kesempatan apa pun. Mereka terkejut dengan janji yang telah diberikan kepadanya. Bahkan keluarga kerajaan pun berbeda pendapat, mereka marah kepada Duke of Aumale yang telah menyetujui janji-janji itu. Dari luar negeri, Inggris yang menjadi kompetitor Prancis dalam hal “kehormatan, kemanusiaan, dan peradaban yang tinggi” sudah bersiap untuk menuduh Prancis sebagai negara pengkhianat apabila perjanjian itu dilanggar.[7]

Di tengah-tengah situasi yang serba tidak menentu seperti ini, sebuah catatan sejarah menggambarkan satir yang berkembang di media dan masyarakat pada waktu itu:

“Telah dikisahkan bahwa Abdul Qadir mempermalukan kita, bahkan saat dia sudah berada di tangan kita. Pada suatu waktu tidak ada yang tahu di mana menemukannya; sekarang tidak ada yang tahu di mana menempatkannya.”[8]

Sambil menunggu kepastian dari pemerintah Prancis, selayaknya seorang komandan lapangan yang harus adaptif dengan segala perubahan dan taktik musuh, Abdul Qadir menyadari bahwa dia tidak bisa berdiam diri, setidaknya dia masih merasa bertanggungjawab terhadap para pengikutnya. Maka Abdul Qadir segera menyelenggarakan pengajian rutin setiap harinya. Pengajian itu diisi dengan do’a-do’a, shalat berjamaah, membaca, dan menulis.[9]

Lukisan Abdil Qadir karya Hocine Ziani, pelukis asal Aljazair.

Para penjaga amat terkesan dengan para tawanan yang disiplin terhadap diri mereka sendiri dalam mengikuti pengajian rutin. Seolah-olah benteng Prancis ini menjadi semacam sekolah Islam, persis seperti tempat di mana Abdul Qadir semasa kecilnya dididik. Pola kehidupan sehari-hari seperti ini, dalam batas tertentu telah membuat orang-orang Aljazair merasa nyaman – kecuali dengan banyaknya tentara Prancis yang menjaga mereka setiap saat.[10]

 

Tawaran Pemerintah

Letnan Jenderal Eugène Daumas, yang sebelumnya sudah dikenali dan dihormati Abdul Qadir pada tahun-tahun awal perjuangannya melawan Prancis, dihadirkan kepadanya. Berbekal pengalamannya selama di Aljazair, Daumas diberi tugas untuk menjadi penerjemah untuk Abdul Qadir. Namun sebenarnya peran Daumas lebih dari itu, secara rahasia dia diberi tugas untuk melaporkan segala tindak-tanduk Abdul Qadir.  Namun yang lebih penting dari itu semua, Daumas memiliki misi membujuk Abdul Qadir agar dia mau mengikuti tawaran pemerintah. Abdul Qadir bukannya tidak menyadari misi rahasia tersebut, tetapi karena sering bertemu, persahabatan tumbuh dengan baik di antara mereka.[11]

Pada pertengahan Januari 1848, berkat protes terus menerus dari Abdul Qadir, para pengikutnya yang sebelumnya dipisahkan di benteng lain dibawa ke Benteng Lamalgue, kini mereka boleh tinggal dengan Abdul Qadir. Sebagaimanapun begitu padatnya benteng, tetapi orang-orang Aljazair ini tetap ingin tinggal bersama.[12]

Hingga suatu waktu pada akhir musim dingin, Daumas membawa kabar dari pemerintah. Mereka diberi dua pilihan, pergi ke pengasingan di Aleksandria, tetapi di sana mereka akan hidup seperti tawanan yang dijaga ketat sepanjang hidupnya; atau, mereka semua dapat tinggal di Prancis. Apabila mereka memilih tawaran yang kedua – yang mana tampak jauh lebih menggiurkan – mereka akan tinggal di sebuah chateau dengan lingkungan yang indah, privasi, dan mendapatkan semua kuda yang mereka inginkan. Dengan cara ini pemerintah berharap Abdul Qadir mau melepaskan semua janji yang telah diberikan sebelumnya.[13]

Perasaan Abdul Qadir bercampur tidak karuan, keduanya bukan pilihan yang baik baginya. Tinggal di Prancis, di mana kultur, orang-orang, dan segala tradisinya berbeda tidak akan pernah cocok baik untuknya maupun orang-orang Aljazair lainnya.  Bagi Abdul Qadir, itu sama saja dengan pembunuhan bagi mereka. Ketimbang hidup di Prancis, Abdul Qadir lebih memilih hidup sebagai tawanan di Mesir. Maka dia berkata kepada Daumas, “Jika engkau memasukan ke dalam jubahku semua berlian dan harta dunia, aku akan melemparkannya tanpa ragu ke laut di depan kami.”[14] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (9): Abdul Qadir (6)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (7): Abdul Qadir (4)

Catatan Kaki:

[1] Ahmed Bouyerdene, Emir Abd El-Kader: Hero and Saint of Islam, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Gustavo Polit (World Wisdom, 2012), hlm 70.

[2] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 53-54.

[3] Ibid., hlm 54

[4] Ibid.

[5] Ahmed Bouyerdene, Ibid., hlm 71.

[6] Elsa Marston, Ibid., hlm 55

[7] Ibid.

[8] Ahmed Bouyerdene, Loc.Cit.

[9] Elsa Marston, Ibid., hlm 54

[10] Ibid.

[11] Ibid., hlm 55

[12] Ibid., hlm 56

[13] Ibid.

[14] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*