Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (9): Abdul Qadir (6)

in Monumental

Last updated on December 23rd, 2018 03:27 pm

Abdul Qadir datang ke Prancis di saat negara ini sedang mengalami turbulensi politik besar-besaran. Puncaknya adalah Raja Louis-Philippe digulingkan dari kekuasaan. Lalu bagaimana nasib Abdul Qadir dan kawan-kawannya?

Daumas tidak pernah memberitahu pemerintah Prancis terkait penolakan Abdul Qadir untuk tinggal di Prancis dengan segala kemewahannya. Sebaliknya, dia memberi saran kepada Abdul Qadir untuk menulis surat langsung kepada Raja Louis-Philippe untuk meminta keadilan dan bertemu dengannya. Abdul Qadir menulis sebuah surat dengan pendekatan yang persuasif, menegaskan bahwa keberadaannya dirinya di Prancis merupakan kehendak Yang Maha Kuasa, dan dia telah merelakan dirinya untuk menjadi “anak sang raja”.[1]

Lebih dari satu bulan Abdul Qadir tidak menerima jawaban. Hingga pada akhir Februari, datang seorang pelukis ternama, dia berkata hendak melukisnya. Abdul Qadir setuju untuk dilukis, namun si pelukis, selain untuk melukis, dia memiliki tujuan lain, dia membawa surat rahasia dari Louis-Philippe. Di dalam suratnya Louis-Philippe berkata bahwa dia akan memenuhi janjinya terhadap Abdul Qadir – untuk diasingkan ke Mesir. Orang-orang Aljazair akan dibebaskan.[2]

 

Revolusi di Eropa

Pada awal tahun 1948, para republikan di Eropa melakukan demonstrasi besar-besaran. Mereka menuntut pergantian sistem negara monarki ke republik. Revolusi dimulai dari Sisilia, dan kemudian menyebar ke Prancis, Jerman, Italia, dan Kekaisaran Austria. Pergerakkan ini kemudian terus menyebar luas sampai ke seluruh wilayah Eropa, terkecuali Rusia, Spanyol, dan negara-negara Skandinavia. Pada umumnya revolusi tersebut berakhir dengan kegagalan, mereka menghadapi represi dari kerajaan, dan pada akhirnya golongan liberal di seluruh Eropa mesti menelan pil pahit kekecewaan. Namun tidak semuanya gagal, di antara semuanya hanya satu yang berhasil, yakni di Prancis.[3]

Pada tahun 1848, masyarakat Prancis mengalami krisis pangan, pengangguran, dan depresi ekonomi. Hal inilah yang kemudian memicu turunnya kelas menengah ke jalan untuk melakukan pemberontakan terhadap penguasa. Sementara itu, sedari awal Louis-Philippe bukanlah seorang raja yang disukai oleh kelas menengah Prancis, secara kolektif dia lebih dikenal sebagai seorang borjuis. Bagi kelas menengah, Louis-Philippe adalah simbol atau perwakilan dari orang-orang kaya, yang tidak mengerti apa-apa dan hanya peduli kepada golongan elit.[4]

Masyarakat kelas menengah, pada waktu itu juga memang telah jengah karena suara mereka tidak pernah diacuhkan oleh pihak kerajaan. Ketika kelas menengah menuntut lebih banyak haknya, kaum aristokrat justru malah mementingkan dirinya sendiri, mereka lebih khawatir terhadap posisi mereka di tampuk kekuasaan. Sementara kaum borjuis tetap ingin mempertahankan status quo, tetapi tidak bagi masyarakat banyak, mereka haus akan sebuah perubahan.[5]

Beberapa tahun sebelumnya,  Prancis mengalami kegagalan panen yang sangat besar, menyebabkan kekurangan pangan dan melonjaknya harga-harga. Beriringan dengan timbulnya bencana kelaparan dan hilangnya pekerjaan, kerusuhan juga mulai terjadi di kota-kota Prancis. Kelas menengah mulai menyerukan reformasi, menuntut upah dan praktik kerja yang adil, serta berakhirnya inflasi harga. Namun, seruan mereka tidak didengar, pergerakan masyarakat yang tadinya hanya sebatas tuntutan ekonomi, kini mulai berkembang ke ranah politik. Gema revolusi telah menggantung di kepala masing-masig orang.[6]

Menghadapi situasi seperti ini, kaum aristokrat Prancis berusaha untuk menekan pemberontakan justru dengan cara melakukan hal yang berkebalikan dengan tuntutan masyarakat. Mereka melakukan lagi pemangkasan hak-hak terhadap kelas menengah dengan lebih besar lagi. Puncaknya terjadi pada 14 Januari 1848 ketika pihak kerajaan melarang kaum liberal kelas menengah untuk menyelenggarakan “pesta jamuan makan” yang merupakan bentuk sindiran untuk kerajaan. Pada waktu itu Prancis memang memiliki hukum yang mengatur hak-hak untuk berserikat, yang mengatakan, barang siapa yang berkumpul lebih dari enam orang, maka mereka harus mengantongi izin terlebih dahulu.[7]

Lukisan karya Félix Philippoteaux yang menggambarkan kerusuhan di Prancis pada Februari 1848. Sumber: Académie of Strasbourg

Pelarangan ini oleh kelas menengah dianggap sebagai puncak dari otoritarianisme penguasa, mulai saat itu setiap demonstrasi selalu diwarnai oleh kekerasan, masyarakat bahkan sampai mengangkat senjata. Pada 28 Januari Louis-Philippe akhirnya menyerah, dia digulingkan dari kekuasaan. Dia dan keluarganya harus rela meninggalkan Prancis dan hidup di pengasingan di Inggris sampai akhir hayatnya. Republik Prancis yang kedua telah berdiri. [8]

Di tengah-tengah situasi seperti inilah Abdul Qadir beserta keluarga dan kawan-kawannya didatangkan ke Prancis. Kini dengan digulingkannya sang raja yang telah berjanji untuk memenuhi permintaan Abdul Qadir situasi menjadi tak menentu. Abdul Qadir yang berasal dari Aljazair berpikir dengan caranya sendiri, dia tidak dapat memahami bagaimana mungkin seorang “sultan” Prancis yang digdaya – maksudnya mengacu kepada raja – tiba-tiba dapat digulingkan begitu saja dan kemudian pemerintahan digantikan oleh suatu komite. Bagaimana mungkin lima orang, ketimbang satu orang dengan otoritas dan kebijaksanaan seperti seorang kepala suku misalnya, dapat membuat keputusan?[9] (PH)

Bersambung ke:

Invasi Prancis ke Aljazair (10): Abdul Qadir (7)

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (8): Abdul Qadir (5)

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 56

[2] Ibid., hlm 57

[3] “Revolutions of 1848”, dari laman https://www.britannica.com/event/Revolutions-of-1848, diakses 19 Desember 2018.

[4] “The French Revolution of 1848: History, Causes & Events”, dari laman https://study.com/academy/lesson/the-french-revolution-of-1848.html, diakses 19 Desember 2018.

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] “The French revolution of 1848”, dari laman https://www.age-of-the-sage.org/history/1848/french_revolution_1848.html, diakses 19 Desember 2018.

[8] “The French Revolution of 1848: History, Causes & Events”, Ibid.

[9] Elsa Marston, Ibid., hlm 58.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*